Pages

Thursday, November 10, 2011

Kamu dan Spion

Rasa yang sama terselip, namun sama-sama tak ingin mengejar. Harap yang sama tersimpan, namun sama-sama mengelak. Berjalan pada jalan yang sama, namun bertahan untuk tetap berseberangan. Kita pernah satu meski tak kasat mata. Dan kita mengakui dalam hati.


Coba ingat ada berapa malam kita menyatu satu. Coba hitung berapa kali kita jatuh, kemudian bersikeras bangun kembali. Menyulam hangat untuk hati yang mulai dingin. Kita pernah tenggelam dalam aliran detik yang sama. Tapi sama-sama mencoba mengelak.


"Mau sampai kapan seperti ini?" Tanyamu.
"Apanya?"
"Kamu dan ketidakjelasanmu."
"Aku? Kenapa aku?"
"Sudahlah. Kamu tahu persis apa maksudku, tapi pura-pura tidak tahu." Ucapmu sedikit gusar. "Kamu tahu? Aku hanya menunggu waktu dimana aku jatuh, dan tidak lagi berusaha untuk bangkit. Itu saja." Ucapmu lirih.


***

"Nanti sore bisa anter aku?" Tanyamu ditelepon.
"Bisa. Jam berapa?"
"Seperti biasa."

Biasanya aku akan menjemput dan mengantarmu pulang. Bukan bagian itu yang penting. Bagian pentingnya adalah ketika mobilku melaju meninggalkan kamu didepan rumahmu, aku akan melihat ke spion. Ya. Spion sebelah kiri. Dan aku akan melihatmu menatap mobilku yang semakin lama semakin jauh. Tatapan itu. Tatapan yang menahanku untuk tetap pada ketidakjelasan seperti ini. Tatapan menguatkan yang membuatku merasa sedikit berarti dan tidak mampu melepaskan sosokmu. Sosok yang ada dalam bayangan kesalahan.

Hingga pada akhirnya disatu sore,
"Aku mau kamu pergi." Katamu saat didalam mobil.
"Maksudnya?"
"Mungkin ini waktunya. Waktu untuk aku jatuh dan tidak lagi mencoba bangkit. Aku sudah di akhir. Jadi ini waktu untukmu pergi."
"Jadi kita hanya sampai disini?" Ujarku sedikit gusar.
Kamu menggelengkan kepala. "Bukan. Dari awal ini bukan tentang kita. Dari awal, ini tentang aku, kamu dan wanita yang kamu pertahankan untuk tetap disisimu entah dengan cinta atau dengan perasaan terbiasa. Bukan tentang kita. Kita menyatu dalam fana. Tak ada yang nyata kecuali kita salah."
"Kalau begitu, silahkan kamu yang pergi. Karena aku nggak akan kemana-mana." Tantangku.
"Aku nggak pernah bisa pergi kalau kamu tetap ada diposisi ini. Kamu tahu persis itu. Jadi tolong bantu aku! Pergilah, dan aku percaya aku bisa mencoba merelakan!" Tuturmu dengan sedikit tangis.
Aku luluh. "Gimana caranya aku bantu kamu?"
"Pergi. Kamu cukup pergi dan jangan pernah berbalik atau bahkan menengok kebelakang." Katamu, dan akupun mengangguk mengiyakan.


Aku sadar. Sudah terlalu lama kita saling menahan tanpa bisa benar-benar berada disisi masing-masing. Sudah terlalu lama kita ada, tanpa bisa saling mengakui. Sudah terlalu lama kita menggoreskan asa, tanpa benar-benar bisa menggambar.

"Sudah sampai." Ucapku lirih disusul dengan anggukanmu.
"Makasih. Selamat tinggal."

Aku menuruti permintaanmu. Melajukan mobil, pergi tanpa mengucap apapun, tanpa menengok kebelakang apalagi berbalik. Satu yang aku lakukan. Melihat spion. Spion sebelah kiri. Seperti kebiasaanku. Tapi tak ada lagi sosokmu didepan rumah. Tak ada lagi tatapan itu. Dan saat itu, aku tahu aku benar-benar harus pergi.