Pages

Monday, September 30, 2013

AHSENA

Mereka bilang, duniaku ini riuh. Banyak celoteh lalu lalang di sekitar. Banyak kisah berhamburan di pinggir jalan. Bahkan katanya, rumah-rumah di sekitarku juga berbicara. Tak jarang ada yang mengeluh dengan ramainya duniaku. Namun ibu bilang, aku ini spesial. Menurut ibu, sejak dulu aku mempunyai gelembung. Gelembung dimana tak banyak orang bisa masuk ke dalamnya. Gelembung ini membuat aku harus menikmati hingar-bingar kesunyian. Mendengar sepi yang berteriak.

Seperti biasa, aku menjaga warung milik ibu. Sejak awal, sudah kubilang bukan kalau tak banyak orang bisa masuk ke dalam gelembungku? Maka, ibu sengaja selalu menyuruhku menjaga warung. "Tak apa nak kalau tak ada yang bisa berada dalam gelembungmu, tapi setidaknya biarkan orang mendekati. Dipinggiran saja tak apa." Begitu menurut ibu.

Begitulah. Warung kami memang satu-satunya di sekitar daerahku. Banyak orang mampir untuk membeli sesuatu. Ya, mampir. Kalaupun ada yang bertahan cukup lama di warung, itu karena bertemu ibu dan mengobrol. Bukan bertemu aku. Tak ada seorangpun yang pernah mengobrol denganku selain ibu. Kecuali kalau kalian menghitung "Berapa mbak?" atau "Warungnya lagi ramai ya mbak?" dengan mulut dibesar-besarkan sebagai obrolan.

Setiap malam aku punya singgasana tersendiri di depan warung. Kursi tua dari bambu yang bentuknya saja sudah tidak jelas. Malam memang mempunyai nikmatnya sendiri bukan? Sunyi dan damainya membuat banyak orang jatuh cinta dengan malam. Kujamin tak hanya aku yang mencintai malam. Kalian mungkin akan tertawa, aku, orang yang sudah ada dalam gelembung sunyi masih juga mencari kesunyian. Aku sendiri juga kurang mengerti alasannya. Hanya saja, setiap malam banyak percakapan di kepalaku. Banyak sekali. Mereka berkeliaran.

Tak lama, seorang laki-laki dengan pakaian kantor yang tidak lagi terlihat rapi datang dan menunjuk sebuah rokok. Dia salah satu pelanggan warung kami. Maka dengan sigap, aku mengambil rokok yang diminta dan mengambil uang yang diulurkannya. Begitu setiap hari. Laki-laki itu selalu datang, lebih sering membeli sebungkus rokok saja meski kadang ditambah dengan sebotol air mineral. Tapi kali ini, setelah mengulurkan uang, dia duduk di singgasanaku dan dengan bahasa isyarat dia meminta kertas dan pulpen. Dengan segera aku mengambil yang diminta.

-Boleh saya duduk disini dulu?- Begitu tulisnya dan hanya saya balas dengan anggukan.

Sejak hari itu, setiap hari laki-laki tersebut selalu membeli sebungkus rokok terkadang dengan sebotol air mineral dan duduk di kursi yang aku anggap singgasanaku. Diam saja dan hanya berbicara dengan rokoknya. Barangkali saat ini dia sudah mengubah kepemilikan dari singgasana itu. Karena jelas aku menjadi tersingkir. Namun, setelah beberapa saat duduk, dia kembali berdiri dan mengulurkan selembar kertas padaku yang berada di belakang meja kaca.

-Saya sedang butuh teman cerita. Keberatan kalau kamu menemani?-

Dia memberi isyarat memintaku duduk di sebelahnya dan akupun mengikuti. Sepertinya dia sudah mulai bercerita. Aku tak tahu tentang apa. Gelembungku membisukan segalanya. Tapi raut wajahnya menggambar sesuatu. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Sesuatu yang sedih. Entah apa itu. Begitupun hari-hari selanjutnya. Seperti kebiasaan baru, dia akan bercerita tentang entah apapun itu dan aku mencoba mendengar raut-raut wajahnya sembari menerka. Sedih, kesal, gembira, bahkan kosong. Ya. Raut wajah kosong yang sampai saat ini  tidak pernah aku mengerti artinya.

Oh iya, namanya Ahsena. Nama laki-laki itu. Dia menuliskannya sewaktu pertama kali dia memintaku menjadi teman bercerita. Ah-se-na. Kalian tahu? Diam-diam aku sering menyebut namanya. Terlebih saat dia bercerita. Membaca raut wajah dan menyebut namanya, kemudian membayangkan ketika aku menyebut namanya, pemilik wajah yang lebih sering menatap lurus ke depan tersebut akan membalikkan wajahnya padaku. Tepat setelah aku menyebut namanya. Ahsena. Tapi tentu saja kalian tahu, hal itu tak pernah terjadi. Sesering apapun aku memanggil namanya, sesering itu pula gelembungku membungkam segalanya. Ahsena hanya terus bercerita tentang hal yang tidak juga aku ketahui.

Hari ini, Ahsena datang dengan membawa sesuatu. Sesuatu berbentuk undangan. Dia mengulurkannya padaku kemudian berbicara dengan ibu yang kebetulan berada di sampingku. Raut wajahnya berbicara kebahagiaan namun raut wajah ibu mendung. Mendung yang terlihat dipaksa bahagia. Kau tahu? Seperti tangis langit yang tetap mencoba menghadirkan matahari. Seperti itu. Tak lama, Ahsena pamit dan ibu memandang undangan yang kupegang. Sesegera kubuka undangan itu dan tak berapa lama muncul nama Ahsena di atas nama seorang wanita. Aku limbung, gemetar hebat. Ibu memelukku. Punggung Ahsena masih terlihat di seberang sana. Menjauh. Air mataku berteriak.

Ibu, sekali saja bu! Sekali saja pecahkan gelembungku! Sekali saja. Biar aku memanggilnya. Memanggil namanya dan dia berbalik. Itu saja, bu. Itu saja.

Tubuhku memanggil. Air mataku berteriak. Raut wajahku menyebut. 

"Ahsena."

Tapi gelembungku jauh lebih tebal dari yang kukira. Ahsena. Laki-laki itu sama sekali tak pernah berbalik.


Memanggil nama itu menjelma menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang membiasakan diri untuk tidak didengar.

Sunday, September 22, 2013

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan. 
Banyak.
Tetapi bibirku tersulam.
Tanganku mengejang.
Aksaraku kabur, berlarian ke segala arah.
Otakku sibuk mengumpulkan aksara, kemudian lupa mengingat.
Aku kaku.
Mati.