Pages

Thursday, November 10, 2011

Kamu dan Spion

Rasa yang sama terselip, namun sama-sama tak ingin mengejar. Harap yang sama tersimpan, namun sama-sama mengelak. Berjalan pada jalan yang sama, namun bertahan untuk tetap berseberangan. Kita pernah satu meski tak kasat mata. Dan kita mengakui dalam hati.


Coba ingat ada berapa malam kita menyatu satu. Coba hitung berapa kali kita jatuh, kemudian bersikeras bangun kembali. Menyulam hangat untuk hati yang mulai dingin. Kita pernah tenggelam dalam aliran detik yang sama. Tapi sama-sama mencoba mengelak.


"Mau sampai kapan seperti ini?" Tanyamu.
"Apanya?"
"Kamu dan ketidakjelasanmu."
"Aku? Kenapa aku?"
"Sudahlah. Kamu tahu persis apa maksudku, tapi pura-pura tidak tahu." Ucapmu sedikit gusar. "Kamu tahu? Aku hanya menunggu waktu dimana aku jatuh, dan tidak lagi berusaha untuk bangkit. Itu saja." Ucapmu lirih.


***

"Nanti sore bisa anter aku?" Tanyamu ditelepon.
"Bisa. Jam berapa?"
"Seperti biasa."

Biasanya aku akan menjemput dan mengantarmu pulang. Bukan bagian itu yang penting. Bagian pentingnya adalah ketika mobilku melaju meninggalkan kamu didepan rumahmu, aku akan melihat ke spion. Ya. Spion sebelah kiri. Dan aku akan melihatmu menatap mobilku yang semakin lama semakin jauh. Tatapan itu. Tatapan yang menahanku untuk tetap pada ketidakjelasan seperti ini. Tatapan menguatkan yang membuatku merasa sedikit berarti dan tidak mampu melepaskan sosokmu. Sosok yang ada dalam bayangan kesalahan.

Hingga pada akhirnya disatu sore,
"Aku mau kamu pergi." Katamu saat didalam mobil.
"Maksudnya?"
"Mungkin ini waktunya. Waktu untuk aku jatuh dan tidak lagi mencoba bangkit. Aku sudah di akhir. Jadi ini waktu untukmu pergi."
"Jadi kita hanya sampai disini?" Ujarku sedikit gusar.
Kamu menggelengkan kepala. "Bukan. Dari awal ini bukan tentang kita. Dari awal, ini tentang aku, kamu dan wanita yang kamu pertahankan untuk tetap disisimu entah dengan cinta atau dengan perasaan terbiasa. Bukan tentang kita. Kita menyatu dalam fana. Tak ada yang nyata kecuali kita salah."
"Kalau begitu, silahkan kamu yang pergi. Karena aku nggak akan kemana-mana." Tantangku.
"Aku nggak pernah bisa pergi kalau kamu tetap ada diposisi ini. Kamu tahu persis itu. Jadi tolong bantu aku! Pergilah, dan aku percaya aku bisa mencoba merelakan!" Tuturmu dengan sedikit tangis.
Aku luluh. "Gimana caranya aku bantu kamu?"
"Pergi. Kamu cukup pergi dan jangan pernah berbalik atau bahkan menengok kebelakang." Katamu, dan akupun mengangguk mengiyakan.


Aku sadar. Sudah terlalu lama kita saling menahan tanpa bisa benar-benar berada disisi masing-masing. Sudah terlalu lama kita ada, tanpa bisa saling mengakui. Sudah terlalu lama kita menggoreskan asa, tanpa benar-benar bisa menggambar.

"Sudah sampai." Ucapku lirih disusul dengan anggukanmu.
"Makasih. Selamat tinggal."

Aku menuruti permintaanmu. Melajukan mobil, pergi tanpa mengucap apapun, tanpa menengok kebelakang apalagi berbalik. Satu yang aku lakukan. Melihat spion. Spion sebelah kiri. Seperti kebiasaanku. Tapi tak ada lagi sosokmu didepan rumah. Tak ada lagi tatapan itu. Dan saat itu, aku tahu aku benar-benar harus pergi.

Thursday, October 13, 2011

Petak Umpet


"Takdir itu hobinya main petak umpet. Dan selalu sekongkolan sama waktu."
"Maksudnya?"
"Suatu saat kamu akan tahu. Mungkin saja besok kita berada didalam permainannya."
"Petak umpet?"
"Ya. Petak umpet."

Kita benar berada dalam permainannya. Sudut yang sama, ruang yang sama, waktu yang berbeda. Waktu yang sama, harap yang sama, ruang yang berbeda. Begitu saja takdir memperlakukan kita. Menyembunyikan masing-masing dari kita. Meminta waktu sedikit mengecoh kita. Agar kita tidak bertemu. Kadang, takdir bermain sedikit lebih baik. Ruang yang sama. Waktu yang sama. Pandangan yang berbeda. Dan tetap saja tidak dipertemukan.

"Suatu saat kita harus bertemu lagi."
"Kapan?"
"Kalau takdir sudah lelah bermain petak umpet."

Mungkin ini yang kamu sebut petak umpet. Tapi menurutku, ini sama sekali berbeda. Bagaimana bisa kamu menyamakan dua hal tersebut? Bagaimana bisa dua manusia yang saling mencari, tidak juga dipertemukan? Bagaimana bisa dua manusia yang saling berharap bertemu, tidak juga dipertemukan? Ini bukan petak umpet. Kita bukan dua insan yang bersembunyi satu sama lain. Kita bukan dua insan yang mencari tempat ter-aman untuk tidak saling bertemu. Kita dua insan yang saling mencari. Ini sama sekali bukan petak umpet.

"Kenapa harus menunggu takdir lelah bermain? Bukankah kata janji ada untuk menciptakan pertemuan?" Protesku.
"Aku ingin semuanya alami. Se-alami kita yang saat ini dipertemukan."

Takdir tetap saja bermain. Hingga hari menelan harap. Senja di ufuk barat tak lagi jingga dalam pandangan. Aku sudah lelah. Entah bagaimana denganmu. Aku ingin pulang, tak ingin lagi mencari. Sudah cukup aku bermain. Biarkan saja takdir menyembunyikan kita dalam balutan waktu dan ruang masing-masing. Sampai kita habis terbalut.

Hingga akhirnya, di satu deras hujan yang menjadi penutup kemarau, ada sosok yang dulu pernah aku cari. Kamu. Diseberang jalan sana. Kita bertemu. Keadaan yang sama, ruang yang sama dan waktu yang sama. Sudah tak ada yang sembunyi. Sudah tak ada yang mencari. Kita sudah saling menemukan. Takdir sudah mempertemukan.

"Hai." Kamu membuka percakapan.
"Hai."
"Sudah lama aku mencarimu."
"Sudah lama aku berhenti mencarimu. Hanya berharap segera ditemukan."
"Pantas kita bertemu. Begitulah peraturan petak umpet. Sisi yang mencari harus menemukan sisi yang dicari." Ucapmu dengan segaris senyum.

Takdir sudah lelah bermain.

Sunday, October 2, 2011


"Katakan padaku. Adakah kita telah sampai pada perbatasan? Dimana hilir airmata menyekat ruang. Bagaimana tentang peraduan yang pernah menjadi tujuan? Bagaimana tentang pagi yang dulu kunanti?"

Kita. Habis. Sebelum fajar.

Sunday, September 25, 2011

Setidaknya Kau ..........

Kita tahu bentangan jalan ini tidak layak untuk dilewati. Jalan ini terlalu tandus, nyaris tak ada tumbuhan untuk sekedar menjadi tumpuan ditengah tapak setiap langkah. Nyaris tak ada bangunan untuk menjadi tempat persinggahan, atau paling tidak menjadi tempat bersandar untuk melepas sedikit lelah dan peluh yang terus menerus mengeluh. Aku hampir kehilangan akal. Aku hampir kehilangan arah. Dan tak tau apa-apa lagi selain ingin duduk diam dan berhenti.

Sudah terlalu banyak pagi kita lewati. Dari pagi yang sekedar biasa saja sampai pagi yang menurutku luar biasa. Sudah terlalu banyak senja yang kita arungi. Dan kita selalu tahu, perjalanan ini akan panjang. Hanya saja kita kurang paham. Terlebih aku. Ah, memang banyak yang aku tahu. Tapi semuanya mengerucut ketika dalam proses memahami. Kita, terlebih aku, tahu persis bahwa harus berjuang, tapi tak paham bagaimana harus berjuang. Kita tahu jalan yang harus ditempuh, tapi tak paham bagaimana cara menempuhnya. Begitulah. Sedangkan jalan ini menuntut kita untuk memiliki pemahaman yang tinggi.

Menyerah. Seharusnya begitu. Ketika kita tak paham apapun, maka sebaiknya menyerah sebelum akhirnya menyiksa diri sendiri. Mungkin akan lebih banyak jalan untuk tidak bertahan, hanya saja aku masih ingin bertahan. Lebih tepatnya, aku ingin kita bertahan. Ya. Aku bertahan untuk tetap sampai di seberang jalan. Tempat kau berdiri tegak. Dan kau bertahan untuk menanti, menatap, tetap berada disana. Setidaknya kau hanya perlu berkata "semua akan baik-baik saja". Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya kau hanya perlu tersenyum. Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya kau hanya perlu terus menatap. Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya tetaplah berada di seberang jalan sana. Tetaplah berada dalam pandanganku. Maka aku rasa aku mampu untuk tetap menelan jingga senja ditengah bentangan jalan ini, untuk bertahan.

Setidaknya aku tahu, kita punya jingga senja untuk dinikmati bersama. Nanti.

Wednesday, September 14, 2011

BATAS

Batas itu samar. Tipis. Dan hampir transparan. Batas antara ruang, ruang benar dan salah. Batas antar dua dunia, dunia waras dan tidak waras. Kau mungkin takkan pernah tahu bahwa dua hal yang jauh berbeda bisa saja tertukar atau mungkin sulit untuk kau bedakan. Ketika kau selalu berusaha mencari pembenaran dari kesalahan. Atau ketika segala hal yang benar mampu kau putar menjadi salah. Ketika hidup dalam ketidakwarasan ternyata menjadi mudah dan hidup dalam kewarasan menjadi hal yang menyiksa. Kau takkan pernah tahu.


Kenapa tidak batas itu setegas dinding? Hingga aku tak perlu meraba untuk memahami keberadaannya. Kenapa tidak batas itu sejelas fisik? Hingga aku mampu membedakan dengan pasti. Kenapa harus batas itu sehalus selaput? Mengecoh langkah kemudian menipu pandangan.


Dunia ini tidak waras dan sudah seharusnya aku berbalik. Tapi hidup dalam ketidakwarasan ternyata menjadi lebih mudah. Tak perlu rasionalisasi. Tak ada menganalisis. Dan yang terpenting, tak perlu memikirkan orang lain. Hanya aku. Cukup. Ruang ini salah dan sudah seharusnya aku keluar. Tak urung keluar, aku justru mencari pembenaran untuk tetap berada disini.


Kau takkan pernah tahu hati terkadang mengaburkan realita, memperjelas mimpi, dan mampu tetap bertahan hidup seperti itu. Kau takkan pernah tahu aku tak memahami apapun lagi untuk tetap mencinta.

Thursday, August 4, 2011

Datang. Jatuh Cinta. Pergi.

Hangat peluk hadir mencairkan beku.
Tawa terurai sebagai melodi.
Rasa tersirat menyulam kisah.
Lelaki datang mengucap bahagia.

Dingin. Embun. Kicau burung.
Pagi hadir sebagai awal.
Membentuk kisah mengawali ritme hati.
Kemudian pergi menyisakan sinar.

Hangat. Riuh ramai. Celoteh riang.
Siang menghampiri dengan sinar terang.
Menari mengikuti ritme hati.
Lalu beranjak meninggalkan sepi.

Gelap. Sepi. Bersama.
Malam datang membawa bintang.
Rasa meluapkan kisah disana.
Mengeja tawa dan kisah pada satu hari.
Kemudian hilang menelan kebersamaan.

Datang. Jatuh cinta. Pergi.

Tuesday, August 2, 2011

Tentang Yang Merasa dan Yang Dirasa

"Ini tentang yang merasa dan tentang yang dirasa."

Pada akhirnya semua akan tiba pada waktunya di satu garis batas penentu akhir. Ruang ini menjadi akhir sebelum masing-masing dari kita saling melepaskan kepergian satu sama lain. Disinilah kita berdua, bersandingan dan menatap satu lekungan jam pasir yang mentransfer zat secara perlahan. Mengalirkan butir pasir secara berurutan. Membawa alur detik waktu ikut serta di dalamnya.

"Sudah hampir tiba waktunya." Ucapmu membuka tali percakapan.
"Iya." Jawabku singkat.
"Itu artinya semua akan kembali di posisi semula. Posisi awal seharusnya berada."
"Aku tahu."

Saat bulan berpindah untuk menyinari bagian dunia yang lain, saat matahari memunculkan sinarnya besok, itu berarti kamu takkan lagi berada disini. Takkan lagi ada di posisi ini. Itu berarti keadaan akan kembali di jalannya semula. Jalan sebelum aku dan kamu dipertemukan dalam garis takdir.

"Jadi, yakin nggak ada usaha buat nahan aku tetap disini?" Ucapmu sedikit ragu.
Aku mengangguk pelan. Berat. 
"Yakin nggak akan meminta aku kembali?"
Aku mengangguk pelan sekali lagi.
"Nggak ada alasan buat kamu tetap disini. Nggak ada alasan memintamu kembali." Ucapku.
Kamu diam. Datar.

Kita tahu pasti, kedatanganmu memang bukan untuk menetap. Kedatanganmu adalah untuk pergi. Kita tahu pasti, ada waktu yang mengejar. Menyita habis kebersamaan kita. Habis dan tanpa sisa.

"Dari awal kita tahu posisi masing-masing. Bukankan sudah seharusnya kita bisa meletakkan diri di posisi masing-masing?"
Sunyi. Detik waktu terdengar berjalan. Perlahan dan pasti. Jam pasir tetap bergulir. Kamu akan pergi. Pasti.

"Sudah jam 5. Aku harus siap-siap." Kamu berkata.
Aku mengangguk.
"Nggak ada yang mau kamu omongin dulu? Terakhir, sebelum aku pergi?" Tanyamu.
"Nggak. Lebih baik seperti ini. Tersimpan rapi tanpa perlu diucap."
"Bahkan ucapan selamat tinggal mungkin?" Tanyamu bersikeras.
Aku menggeleng. "Aku sudah mengucapkan selamat tinggal saat kamu datang pertama kali."
Kamu mengangguk tanda mengerti. "Lebih baik seperti ini, daripada saling memberatkan."

"Tio!" Panggilku. Kamu berbalik. "Semoga bahagia." Lanjutku.

Aku berucap lirih.
"Ini tentang hati yang merasa dan tentang cinta yang dirasa. Namun kemudian menetapkan diri untuk saling melepaskan."


Monday, June 20, 2011

Satu Rasa Tunggal

Anggaplah dulu aku tak pernah tahu bagaimana caranya untuk mencintai. Dulu, yang aku tahu adalah mencari bahagia. Mencari rasa puas yang kupikir dapat dengan mudah kutemukan. Dapat dengan mudah kuganti ketika bosan menyergap. Dulu, kisahku dihias dengan berbagai macam nama wanita dan kutuliskan dalam lembarku. Dulu, begitulah caraku. Menutup pintu ketika bosan didepan mata. Mengakhiri ketika hati tak lagi terusik rasa. Memiliki ketika memang diingini. Selalu begitu dan selalu dengan mudahnya.

Kemudian, entah bagaimana dia hadir. Menjadi yang tunggal diantara yang jamak. Menjadi yang tetap diantara yang hanya berganti. Wanita ini, hadir dalam satu sosok yang tak pernah terpikirkan. Dia penggelitik tawa meski sedih memeluk diri. Pendengar yang baik ketika tak ada seorangpun yang bersedia mendengarkan. Begitulah dia. Begitulah wanita itu. Sesederhana itu.

"Kenapa?" Ia bertanya.
"Hah? Nggak apa-apa."
"Kok ngeliatinnya gitu?" Herannya.
"Nggak apa-apa." Ucapku dengan singkat.
"Ya udah." Ucapnya sedikit kesal tanpa menuntut jawaban lagi. Aku tersenyum.

Memang dia. Dia wanita yang menjadi objek indera penglihatan ku dan membuat hati maupun otak tak bersedia mengalihkan perhatian dari segala tentangnya. Dia orangnya yang aku cintai tanpa tahu alasannya. Dan mencari tahu seperti apapun, aku tak mampu mendapatkan jawabannya.

Namanya, kutuliskan pada satu buku bersampul rapi dan kusimpan baik-baik. Aku tahu bagaimana caranya mencintai. Aku tahu bagaimana seharusnya aku menjatuhkan rasa. Membiarkannya menjadi tunggal dan menetap meski hanya dalam pandangan. Meski hati belum bersedia menyatakan. Meski cinta masih menyembunyikan diri darinya. 


"Aku tahu, dia yang ingin ku jaga." 

Thursday, June 9, 2011

Selamat Ulang Tahun, Yurie Widjayanto!

Malam ini sebenarnya bukan lagi menjadi hari mu. Tapi setidaknya, aku ingin mengabadikanmu. Disini. Pada tahun mu yang ke 19. Ini kado untukmu. Kado yang sengaja memang tidak ku bungkus dengan indah. Jangankan indah, bahkan rapi pun tidak. Ini kado untukmu. Sebagai pengganti barang yang biasanya ku bungkus dengan kertas warna-warni dan kuletakkan di kamar mu setiap tahun belakangan ini. Ini kado yang tulus. 

Bagaimana kabar 19 tahun mu? Baikkah dia memperlakukan mu? Kuharap begitu, dan akan selalu seperti itu. 19 bukan angka yang sedikit. Kau tahu itu. Dan kuharap kau tahu pula bagaimana menyikapi segala hal yang terjadi pada tahun ke 19 mu menapakkan jejak kaki di dunia. Disini, aku tak menyebutkan doa ku untuk mu. Aku sudah mengirimkannya langsung pada Tuhan, dan berharap untuk segera dikabulkan. Disini, aku ingin mengatakan banyak hal yang belum sempat atau mungkin sengaja tak  kukatakan secara langsung.

19 tahun, jika dikatakan, angka tersebut terdengar menakutkan. Terasa berjalan begitu cepat. Padahal aku masih ingat bagaimana kita dulu sering sekali bertengkar dan akhirnya membuat mama kewalahan. Bagaimana dulu kita tak bisa membiarkan satu sama lain untuk sedikit tenang. Bagaimana dulu aku memarahi siapa saja orang yang mengejek mu tanpa peduli jenis kelamin mereka. Atau ketika bagaimana dulu kau selalu mencari ku jika aku tak ada di rumah. Semua masih terasa nyata. Dan tanpa sadar ternyata kau telah menggenggam angka 19 pada dirimu.

Banggalah pada dirimu sendiri. Karena aku atau kami, bangga memiliki sosok seperti mu. Sosok yang selalu terlihat apa adanya. Yang menerima keadaan seperti apapun yang diberikan. Yang memiliki kemampuan menjalin hubungan pertemanan dengan sangat baiknya. Yang selalu mampu terlihat baik-baik saja. Yang sangat peduli dengan apa yang terjadi disekitar mu. Yang sering bersedia atau mungkin lebih tepatnya pasrah dijadikan kambing hitam atas kesalahanku di waktu kecil dulu.

Untuk 19 tahun ini, benar aku sangat berterimakasih. Untuk menjadi lelaki selain papa yang akan melindungi ku. Untuk tidak membiarkan ku hidup sendiri menjadi yang tunggal dan satu-satunya. Untuk mengajari ku berbagi, meskipun  sebenarnya kau lebih sering mengalah daripada aku. Untuk bersedia menjadi teman bermain ku dulu, walaupun aku selalu meminta mu bermain rumah-rumahan dan lain hal yang sebenarnya adalah permainan kaum ku.

Selamat Ulang Tahun, adik ku. Protes seperti apapun, aku tetap saja kakak mu. Meski kau selalu menganggap aku lebih pantas menjadi adik daripada kakak. Terima saja kodrat mu. Bahagialah dalam hidup mu. Dan tetaplah menjadi sosok yang mampu membuat kami bangga padamu. Diucapkan ataupun tidak, kami memang selalu menyayangi segala tentang mu.

Tuhan, terimakasih untuk kehadiran lelaki ini. Terimakasih untuk penciptaan sosok seperti dia.



Wednesday, May 25, 2011

Buku Pertanyaan Hidup

Aku sedang berhadapan dengan sebuah buku yang sudah cukup tua. Mencoba membukanya tanpa merusak sampulnya yang juga sudah cukup tua dan sedikit rapuh. Buku itu, tiap lembarnya dihiasi tulisan-tulisan pertanyaan hidup. Beberapa telah terjawab dengan baik, detail dan jelas. Beberapa hanya terjawab singkat. Beberapa terihat seperti jawaban yang belum sempat terselesaikan. Beberapa justru tidak memiliki jawaban apapun. Kosong. Terakhir, masih banyak terdapat halaman yang bahkan belum tersentuh oleh goresan apapun. Seperti telah disiapkan untuk hari esok.

Aku mencoba membaca lembar demi lembar, baris demi baris, kalimat demi kalimat. Mencerna dan mencoba untuk tidak sekedar melihat, namun juga mengamati. Di bagian awal buku ini terdapat banyak pertanyaan, pertanyaan-pertanyaan sederhana dan lebih banyak sudah dijawab dengan baik dan detail. Semakin bergerak ke tengah pertanyaan yang ada sedikit semakin rumit. Kadang jawabannya pun terlihat tidak tuntas. Menjelang akhir dari lembar buku yang sudah dituliskan, semakin banyak pertanyaan yang tidak terjawab dengan baik. Dan bahkan tidak memiliki jawaban apapun.

Banyak orang bilang semuanya akan terjawab seiring dengan waktu. Hanya biarkan saja waktu yang menjawab segalanya. Tapi pada nyatanya, ada bagian-bagian yang sepertinya tidak juga dijawab oleh waktu. Mungkin belum saatnya. Atau mungkin memang waktu tidak bersedia membagi jawabannya. Buku pertanyaan ini seperti memiliki mekanisme kerja tersendiri. Bukan hanya sebagai buku tempat pertanyaan dan tempat segala jawaban, namun juga buku pertanyaan yang diciptakannya sengaja dengan teka-teki. Tak terjawab.

Semakin lama, semakin banyak nama yang tercantum dalam buku pertanyaan itu. Semakin banyak frame cerita yang menjadi pertanyaan. Semakin detail pertanyaannya, namun semakin tak jelas jawabnya. Terkadang seperti itu. Bagian-bagian kosong yang terkadang mengapit pertanyaan-pertanyaan tersebut terkadang membuat ku tergelitik mencari tahu jawabnya. Memutar kaset masa lalu yang tersimpan. Mengingat hal-hal kecil yang aku pikir telah dilewatkan. Atau justru memperhatikan hal besar yang telah terjadi. Namun, tetap saja belum terjawab. Atau mungkin tidak akan terjawab. Banyak orang mengatakan hidup memang memiliki teka-teki. Yang mungkin tidak terjawab, maka biarkan saja. Karena mungkin, hidup tak menyediakan jawaban atas pertanyaan yang ada. Atau hidup menyimpan jawaban tersebut, sebagai arsip pribadinya.

Tidak semua kalimat akan berakhir dengan titik pada ujungnya. Terkadang ada yang tetap bertahan dengan tanda koma pada akhirnya. Bahkan mungkin tetap berdiri sebagai pertanyaan dengan tanda tanya disampingnya.

Tuesday, May 24, 2011

Jodohku Sedang Berlari!

"Dia sedang berlari-lari, sebelum akhirnya menjadikanku tempat pemberhentian."

Kata orang kalau jodoh tak lari kemana. Mungkin karena sebelumnya dia sudah terlebih dulu berlari sebelum akhirnya menemukanku. Dia berlari, seolah berlari kemana-mana, ke arah yang sepertinya tidak akan menuju padaku, padahal sebenarnya ada pada satu jalan yang sama, ada pada satu frame yang sama. Memang yang terlihat belum tentu adalah sebuah kenyataan. Kenyataan kadang mengecoh, mungkin demi satu dan lain hal yang memang harus disembunyikan sebelum akhirnya terungkap.

Bila berbicara tentang jodoh, maka tak lepas dari membicarakan masa depan, dan bila membicarakan masa depan maka sudah seharusnya membicarakan kemisteriusan. Dan (lagi-lagi) menggelitik hampir semua makhluk yang disebut manusia untuk dapat mengetahui lebih awal tentangnya. Dalam bahasa halus, mereka atau mungkin aku, meminta haknya untuk diberikan lebih cepat. Hak akan jodoh kita.

Lalu, bagaimana jika benar untuk dipercepat pertemuannya? Apakah kita telah layak disandingkan? Apakah dia telah layak disandingkan? Kami belum tentu akan layak untuk satu sama lain. Maka, bukankah sudah seharusnya membiarkan segalanya tetap berjalan sesuai dengan waktu yang telah dituliskan? Membiarkan dia dan kita berlari, demi satu pemberhentian pasti.

Tuesday, May 17, 2011

"... Lalu bagaimana jika aku tak bisa menghentikan tangisku?"
"Apa lagi yang pantas kau tangisi? Ketika bahagia mu melebihi batas kesedihanmu?"

Monday, April 25, 2011

Rasa Nyata Padamu

Ada pilihan sebenarnya untuk tidak menjatuhkan hati padamu. Rasa nyata pada sosokmu adalah rasa yang memang ku pupuk dengan sempurna hingga mampu menumbuhkan rasa seindah ini. Memang kau tak tumbuh alami. Bukan yang dibesarkan oleh air hujan. Bukan yang terpupuk dengan alami. Bukan. Kau tumbuh karena rasa inginku. Meski tanpa sadar. Aku yang menyirami, aku yang memupuk, aku yang menunggumu tumbuh dan aku tahu persis akan seperti apa kau tumbuh pada akhirnya.

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Istimewa. Selalu diam, selalu hening dan selalu terlihat menjadi pendengar yang baik, pendengar keluhan yang tangguh dan menyediakan tempat mengenang atau mengkhayal yang cukup. Tidak besar memang, namun selalu mencukupi. Aku jatuh cinta pada malam. Jatuh cinta dengan segala yang dimiliki. Cahaya yang tak pernah menyilaukan. Ramai bintang yang tak pernah membisingkan. Malam selalu adil membagi yang gelap dan yang bercahaya. Yang hitam dan yang putih. Tak ada warna lain. Sehingga tak ada yang lebih indah, hanya ada saling mengindahkan. Dan ini seperti malam-malam sebelumnya. Aku terpaku pada malam.

Terpaku pada malam dan kemudian memulai memupukmu setiap malam. Selalu malam, karena kau tak butuh proses fotosintesis. Aku mampu mengolahmu agar berfotosintesis tanpa bantuan sinar matahari. Aku tak perlu persetujuanmu. Karena ini semua memang tentang aku. Tentang aku yang meluruh pada sosokmu. Ini sama sekali bukan tentangmu.

"Kau gila." Begitu kata sahabatku.
"Kenapa?"
"Kau menjatuhkan pilihan yang salah."
"Cinta tak pernah salah, kau ingat?" Jawabku menolak mentah-mentah katanya.
"Memang. Tapi bukannya tempat jatuhnya bisa saja salah? Dan kau salah dalam memilih tempat."
"Hahaha. Jikapun begitu, aku tak berkeberatan melakukan kesalahan."
"Kau benar gila. Bukankah kau tahu dia mengejar wanita lain? Tak ada kesempatan untukmu."
"Aku tahu. Tapi aku tak mengejar kesempatan apapun. Aku hanya jatuh cinta. Dan jatuh cinta tak membutuhkan kesempatan." Aku masih bersikeras dengan pendapatku.
"Kau akan sakit. Dia mungkin tak akan menyadari apapun tentangmu."
"Memang. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia. Maka untuk sakit esok hari yang menunggu, aku tak berkeberatan."

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Mengingatmu. Memupuk tentangmu. Hanya saja malam ini ada tetes air yang kupasrahkan pada bumi. Sebabnya melihatmu dengan wanita lain. Aku tahu malam ini akan datang. Bahwa pada saatnya aku tak akan selamanya tertawa ketika memupukmu. Ada kalanya aku akan menyiraminya dengan airmata. Lagi-lagi aku tak berkeberatan. Memang inilah jalan yang kupilih. Mencintaimu dalam diam.

"Sudah kubilang kau akan menangis. Kau akan sakit." Ceramah sahabatku. Aku diam dan dia melanjutkan, "Ungkapkan saja padanya. Hingga kau takkan merasa sesakit ini."
Aku menggeleng. "Ada hal yang tidak harus dikatakan. Lebih baik tidak dikatakan."
"Kalau begitu berhenti memikirkannya. Berhenti menumbuhkannya."

Aku sudah berhenti. Sudah tak memupuk. Sudah tak menyirami. Namun, kau sudah terlanjur tumbuh. Terlanjur ada dan berarti sulit dihilangkan, kecuali dengan mencabut paksa kau dan akar-akarmu yang memang telah mengakar dalam.

"Kalau begitu cabut saja. Cabut sampai akar. Agar kau tak lagi sakit." Ujar sahabatku.
"Mencabut sampai akar sama saja akan merusak hati." Jawabku pasrah.
"Lalu bagaimana?"
"Biarkan saja. Aku akan menunggu hingga layu. Hingga hilang menjelma menjadi pupuk dengan sendirinya. Biarkan saja."

Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Aku yang berbeda. Tak lagi memupuk atau menyirami. Aku hanya mengamati, menunggu kau layu dalam duniaku. Dunia aku mengindahkanmu.

Sunday, April 24, 2011

2008 Yang Ber-Ulang Tahun


"Blood enters the heart and flows out,
but friends enters the heart and stay inside."

Anggaplah hari ini adalah hari ulang tahun kami. Kami 2008. Meski sebenarnya hari ini bukan hari pertama kami dipertemukan. Dan bukan juga tahun pertama kami bersama, karena pada nyatanya kami telah bersama selama hampir 3 tahun. Tapi, ini adalah hari dimana sebagian dari kami mencoba menyatukan yang dulu masih terpecah belah. Hari ini adalah tahun pertama dimana kami menjadi bagian dari satu sama lain dengan totalitas.

Tahun ini memang tak ada lagi sepetak taman yang menjadi tempat kami bercengkrama menjadi satu. Tak ada lagu-lagu yang membuat kami bernyanyi bersama dalam satu lagu. Tak ada film berdurasi 15 menit yang membuat kami tertawa bersama. Tak ada hujan ketika kami merangkul satu sama lain. Tak ada lagi daun-daun berguguran diusik angin. Tak ada lagi lagu kemesraan yang dinyanyikan dengan hikmat oleh semua dari kami meski dengan nada yang mungkin tak bisa disebut sebagai irama, namun percayalah lagu itu tetap terdengar indah. Entah karena telinga kami yang telah berubah orientasi. Atau mungkin karena kami mendengarkan dengan hati. Entah.

Tahun ini tak ada perayaan. Berkumpulpun tidak. Namun kami akan tetap mengingat, bahwa hari ini pernah menjadi sejarah di catatan kami. Kami tetap satu. Kami tetap menjadikan lagu kemesraan sebagai lagu sakral kami. Terimakasih untuk hari ini di tahun lalu. Terimakasih untuk 1 tahun ini. Dan terimakasih untuk kita semua.

Let's make a wish .......

HAPPY ANNIVERSARY "TO BE UNIFIED" ..
HAPPY ANNIVERSARY 2008 ..


Saturday, April 23, 2011

Yang Tertinggal dan Membekas

"Tinggalkan saja jika memang harus. Jika memang tak mampu. Namun jangan tinggalkan jejak. Karena aku tak bersedia diingatkan dengan semua hal tentangmu."

3 bulan berlalu. Kau memang benar-benar telah meninggalkan. Klise alasanmu, karena tak ada lagi kecocokan antar kita. Sampai sekarang aku masih ingin menertawakan alasanmu. Karena itu bukan hal yang pantas dijadikan alasan. Ada banyak hal yang bisa disebut sebagai ketidakcocokan kita. Namun nyatanya kita mampu bertahan hampir 3 tahun lamanya dengan macam-macam ketidakcocokan itu. Sampai akhirnya 3 bulan lalu kau menyerah. Kurasa karena kau menemukan yang kau rasa lebih mudah kau temui kecocokannya pada dirimu hingga akhirnya kau merasa tak terlalu merugi jika harus melepaskan kisah 3 tahun kita. Aku tak mungkin menahan laju hati. Kau mengakhiri sedang aku meratapi.

Kau memenuhi inginku. Kau memang benar berusaha menghapus jejak. Jejak foto kita, jejak kisah yang kau tulis, jejak benda yang kau berikan dan jejak-jejak lain yang ada. Ada yang hanya kau hapus, namun ada juga yang kau hancurkan. Dengan begitu kukira akan lebih mudah menghilangkanmu. Setelah jejak terhapus, seharusnya memang sudah tak ada lagi ragamu yang terlihat. Apalagi yang mampu diingat ketika jejak sudah tak ada. Namun, ada yang terlupakan. Ada yang masih tertinggal. Kenangan. Kau lupa membawa pergi kenangan bersamamu dulu. Kau tinggalkan begitu saja dalam memori. Berserakan menyebar pada setiap sudut. Jangankan dibawa, kau sentuhpun tidak.

Hujan hari ini, aku melihatnya dari jendela kamar. Melihat air-air jatuh pasrah pada tanah. Beberapa menjatuhkan diri pada kaca jendelaku. Hujan hari ini, lagi-lagi memenjarakan kebersamaan, menajamkan kesendirian. Namun, ada yang merasa ditemani. Ada yang merasa senang dengan hadirnya hujan. Airmata. Menjadi merasa bukan satu-satu nya air yang pasrah dijatuhkan ke bumi. Merasa bukan satu-satunya yg mengalir. Benar, aku terkulai tanpa daya. Kenanganmu yang tertinggal menjadi jejak yang dalam membekas. 

Friday, April 22, 2011

Takdir

"Apa yang menungguku didepan sana?" Tanyaku, dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan. Penasaran atau takut, entahlah.
"Kau tak perlu tahu. Kau hanya perlu berjalan saja kesana." Takdir menjawab, kukuh dengan rahasianya.
"Aku perlu tahu tujuanku untuk tahu kemana aku harus berjalan bukan? Dan sepantasnya kau memberitahu. Bukankah tidak sulit? Jangan merahasiakan hal yang memang menjadi hakku." Ucapku dengan keras.
"Tanpa tahu tujuanmu pun, kau akan tetap sampai disana. Aku tetap mengiringi. Ingat, aku bukan hanya sekedar tujuan atau akhirmu. Aku juga prosesmu. Hakmu adalah keputusanku untuk saat ini. Untuk esok dan seterusnya adalah hal-hal yang masih menjadi calon hakmu. Belum hakmu." Takdir tetap berdiri pada tiang kepercayaannya. Tak bersedia bergeser sedikitpun.

Takdir, begitulah Tuhan menciptakan hal yang mampu merahasiakan segala hal yang ingin diketahui semua orang.  Yang mampu tetap terbungkam meski banyak orang bertanya padanya. Yang tetap yakin pada jalannya meski banyak orang meragu. Begitulah dia.

Awalnya aku meletakkan jalan hidup padanya. Tak mempermasalahkan arah hidup yang harus dituju. Namun kemudian nyatanya ada yang melekat, menetap dan tak kunjung hilang. Sayangnya aku tak melihatnya sebagai bagian dari takdir, yang memang menjadi akhirku. Entah bagaimana, rasa seperti berucap dia hanya akan terlewati. Aku takkan berhenti padanya. Rasanya begitu. Ada rasa tak terima dengan semua itu yang akhirnya mendorongku berkeinginan memegang kemudi hidup. Tapi bagaimana caranya mengendalikan kemudi yang bahkan tak bisa disentuh olehku?

"Bisakah lelaki itu yang menjadi takdir ku?"
"Kau selalu lupa tentang satu hal. Bahwa proses juga bagian dari diriku. Lelaki itu sudah menjadi takdirmu tanpa kau minta." Jawab takdir.
"Tapi aku tak ingin dia hanya terlewati. Aku ingin dia menjadi tempatku berhenti."
"Benarkah? Kau mungkin takkan berkata hal yang sama di waktu esok. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan." Takdir berkata dan aku terbungkam.

Takdir benar. Aku tak pernah tahu akan seperti apa esok hari. Pun dengan yang kurasakan. Jadi aku tak mungkin mampu mengambil alih kemudi ketika aku bahkan tak benar-benar tahu jalanku. Lelaki itu, entah akan terlewati atau menjadi tempat pemberhentian. Jikapun terlewati, biarlah menjadi bagian takdir yang pantas untuk dikenang. Dan jikapun menjadi pemberhentian, jadilah pemberhentian yang layak yang telah dilayakkan oleh waktu.

Tuesday, April 12, 2011

Jeda Untuk Tawa



Tawa mu. Tawa ku. Tawa kita. Seperti menjadi satu pengikat antara kamu dan aku. Entah bagaimana caranya tawa selalu menjadi bagian perjalanan nada yang kita mainkan. Seperti tak habis kehilangan ide, tawa selalu saja dapat menemukan alasan untuk muncul dihadapan kita. Seperti pengikat kemudian menguat. Menertawakan kebodohanmu, kebodohanku dan terkadang menertawakan kesedihan kita. Kepemilikan atas kita adalah kepemilikan yang disebut-sebut sebagai kepemilikan abadi. Kepemilikan suci. Kepemilikan murni. Sahabat.

Nada kita selalu riuh, selalu ramai. Terkadang berjeda dan kemudian kembali bernada. Seringkali bernada lebih riuh dari sebelumnya. Tawa. Memang begitulah sifatnya. Tak pernah hening.  Jikapun hening menghadiri, percayalah dia hanya mampu menjadi sebagai penjeda. Dan takkan bertahan lebih lama dari itu. Tidakkah kita lelah? Tidak. Bahagia tak pernah mengenal lelah. Menyapa pun tak sudi. Kita terasa seperti terperangkap dalam hipnotis sang tawa.

Kemudian, ada yang mengendap masuk. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Tujuannya adalah hati. Mencari jalan. Pelan. Mengambil kunci. Dan sampailah dia pada tujuan. Tak hanya hatiku yang menjadi tujuannya. Tapi juga hatimu. Entah hati siapa yang lebih dulu dia temukan, yang jelas dia yang ada dalam hatimu lebih memiliki keberanian untuk menyatakan. Ya. Menyatakan. Sepertinya dia tak puas dengan keberadaannya yang hanya sebagai lukisan abstrak dalam hati. Dia sedang berusaha mengkongkritkan dirinya.

"Rasanya sudah berbeda. Tak lagi sama." Ucapmu pada satu waktu.

Aku mengerti arah pembicaraanmu. Aku mengerti. Dia memang pandai bersembunyi hingga lolos dari perhatian kita. Tak ada kesempatan untuk menghalau. Namun kemudian, pandai muncul dan menjadi pusat perhatian bahkan saat kita berusaha untuk tidak memperhatikan. Segala hal yang mampu mencapai hati memang selalu menang dalam mengambil perhatian.

"Ya. Aku tahu." Balasku.
"Bukankah kau juga merasakannya?"
"Begitulah."
"Kemudian?" Kau memberi jeda cukup lama dalam pembicaraanmu. Memberi nafas cukup dalam untuk dirimu. "Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk merubah arah kita? Merubah orientasi kita?"

Tak ada jawaban. Hening. Berjeda. Tak ingin menjawab. Karena segala jawaban untuk saat ini adalah salah. Tak ada yang berani memulai kembali. Hanya menunggu keberanian memecah hening.

Masih hening. Masih tak ingin menjawab. Namun, nafas yang cukup dalam mempersiapkan untuk memulai kembali percakapan kita.

"Aku ingin tetap mengingatmu seperti ini. Sebahagia ini." Ucapku memulai memecah hening. "Aku ingin kau hidup dalam frame cerita ini. Memainkan peran ini. Tak berubah ataupun pergi. Ada hal-hal yang tak perlu diubah. Dan kurasa kau lah salah satunya. Aku bukan tak berani, hanya saja tak mampu." Kali ini terlalu banyak jeda pada kita. Kau terlihat lebih mencintai diam. Lama. Dan pada akhirnya kau mengangguk. Tersenyum. Tulus. Mengerti.

Kita memang kembali terperangkap dalam hipnotis tawa. Riuh. Ramai. Bahagia.
Yang datang diam-diam, biarkan saja diam. Karena kita tak membutuhkan jeda.

Ada yang mengendap keluar. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Menyerah pada keputusan kita. Mengembalikan kunci hati pada tempat semula. Membiarkan kepemilikan kita, abadi.

Monday, April 11, 2011

Gadis Kecil dan Mama

Cinta untukmu bukanlah seperti cinta pada orang lain. Cinta untukmu itu berarti mencintai dalam diam dan bukan dengan kata. Cinta untukmu itu berarti berbentuk tindakan. Cinta untukmu itu akan selalu berbentuk cinta dari anak kecil. Sederhana. Sesederhana Kau mengekspresikan segalanya. Sesederhana aku membuktikannya.

Sebenarnya aku tak ingin melawan kodrat. Melawan kodrat untuk menjadi wanita sepenuhnya seperti dirimu. Aku pun ingin mencurahkan cinta yang sama seperti caramu melakukannya. Tapi menjalani kodrat berarti terlepas separuh darimu. Menjalani kodrat berarti mengurangi waktu denganmu. Ada rasa tak mampu menjalani kodrat seiring dengan berdetaknya waktu. Ada dorongan kuat untuk tak terlepas darimu sama sekali. Tak ingin melawan kodrat, namun seperti tak rela melepas posisiku saat ini. Posisi yang selalu terlihat mampu melindungi, seperti tempat melepaskan lelah dunia.

Kau selalu berlawanan dengan papa. Kau mampu melihatku sebagai wanita dewasa bahkan ketika aku masih menunjukkan sikap kanak-kanak ku. Kau percaya dengan segala pilihanku. Apapun kepercayaanku, kau akan percaya bahwa itu baik. Kau adalah pendukung nomer satu untuk setiap jalan yang kutempuh. Kau yang pertama sadar bahwa aku telah mendekati tahap untuk menjalani hidup sepertimu. Dan kau memiliki penerimaan yang baik untuk hal itu. Seperti telah menyiapkan diri menghadapinya. Masih ingat bagaimana ketika satu orang dokter memvonismu menderita tumor? Dan bukannya mengkhawatirkan dirimu, kau justru takut akan tak memiliki kesempatan untuk melihat anak-anakmu lulus dan menikah. Benar saat itu aku ingin marah, tapi bagaimana bisa aku marah dengan orang yang memiliki cinta berlebih untukku?

Terkadang ada rasa marah terlintas ketika kau menyembunyikan keadaan bahwa kau sakit dan beberapa kali terpaksa menginap di rumah dengan bau obat-obatan menyengat itu. Sebab kau tak mengatakan hanya karena kau tahu banyak tugas menumpuk yang berteriak memintaku menyesaikannya, dan kau takut pikiran ku akan terkuras jika tahu kau sakit. Bagaimana bisa kau justru lebih memikirkan tugasku? Saat itu merasa sangat tak berguna hidup disampingmu selama ini. Seperti tak ada yang mampu kulakukan.

Benar-benar seperti tak rela meninggalkan posisi ini. Haruskah siklus hidup berjalan seperti ini? Kau mencurahkan segala cinta untukku, dan aku justru harus separuh meninggalkanmu untuk membagikan cinta pada yang lain? Haruskah siklus hidup berjalan seperti ini? Ketika pengabdianmu tertanam padaku tapi aku justru akan mengabdi kepada yang lain?

Aku butuh keyakinan, Ma. Keyakinan bahwa kau akan lebih bahagia jika aku menjalani kodratku. Keyakinan bahwa takkan ada yang berubah dalam cintamu atau cintaku. Keyakinan bahwa abdiku padamu akan mampu kulakukan  meski aku menjalani kehidupan baru. Sungguh aku tak ingin melawan kodrat. Yakinkan aku bahwa kau akan bahagia melihatku menjalani kodrat. Jadilah penguatku. Seperti yang selama ini kau lakukan.

Salam cinta untukmu, Mama.
Sehatlah selalu.

Sunday, April 10, 2011

Hentikan Waktunya

"Iya, disini rame banget. Anak-anak kecil pada rebutan tiup lilin kue ulang tahun. Udah lama nggak ngerasain kayak gini. Kangen rasanya." Ucap mereka.

Tak ada ucap balasan, hanya doa terpanjat.
"TUHAN, hentikan saja waktunya disini. Aku tek rela pergi kemanapun."

Lelah

Memang kita yang lelah. Lelah menjejakkan tapak kaki pada jalan yang seperti tak memiliki ujung. Lelah memandang sepanjang pemandangan yang tak habis ditelan pandangan. Lelah mendengar suara-suara yang selalu bergantian. Lelah berucap tanya akan kemana setelah ini. Lelah merasakan buaian lembut dingin atau sentuhan kesadaran panas yang bergilir mendatangi. Lelah memvisualisasikan masa depan dalam pikiran.

Memang kita yang lelah. Kamu. Aku. Tapi setidaknya tetaplah ada. Ada dalam genggaman atau menggenggam. Hingga tetap menguatkan ketika tapak kaki kelelahan. Hingga tetap menerangi ketika memandang kegelapan. Hingga tetap menenangkan ketika bising mendera. Hingga tetap menjadi jawaban untuk segala pertanyaan yang tumbuh perlahan. Hingga tetap menghangatkan ketika dingin menyapa atau menyejukkan ketika panas menghampiri.

Memang kita yang lelah. Takdir tak pernah bersedia membagi teka-tekinya. Masa depan tak lelah menyimpan rahasia misterinya.  Tapi tetaplah dalam genggaman, menjadi penahan agar kita tak terjatuh ketika melangkahkan kaki pada arah kita. Pun jika tetap terjatuh, dapat menjadi pegangan untuk bangkit. Biarkan tetap menggenggam. Untuk saling menguatkan.

Suatu saat, kita akan berhenti. Pada satu tempat yang pantas. Pada masa yang seharusnya. Kita akan berhenti pada takdir yang telah dituliskan. Maka, tetaplah berjalan dalam genggaman. Untuk banyak hal yang harus diperjuangkan.

Friday, April 8, 2011

Mencintaimu, Sulit

"...Ini sulit."
"Tinggalkan saja aku kalau memang sulit."

"Mencintaimu itu sulit, tapi meninggalkanmu akan jauh lebih sulit."

Terbaik Tidak Mampu Menjadi Baik

Lelaki itu duduk ditemani kopi di sebuah resto. Mengenakan setelan kemeja flanel berwarna biru tua dengan celana jins yang setia melekat melapisi kakinya. Rapi, bersahaja. Tak perlu waktu yang lama untuk menilai bahwa dia adalah lelaki pintar dengan pekerjaan mapan yang sudah dimiliki. Aku berani bertaruh ada banyak wanita yang tak rela hanya meliriknya bahkan mungkin mereka akan berlomba mendapatkannya. Aku sedang memandangnya. Melihatnya yang secara tidak sengaja berada pada satu resto yang sama dengan ku. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Beruntung bagi wanita yang mampu berada disisinya.

Akulah wanita beruntung itu. Akulah yang mendampingi lelaki itu. Akulah yang mampu menghalau dan memupuskan harapan wanita-wanita lain yang ada disekitarnya. Akulah yang membuat wanita-wanita itu hanya mampu memandang tanpa mendekati. Akulah yang beruntung. Tyo, namanya. Entah bagaimana caranya dia memutuskan menghadirkan ku dalam hidupnya. Entah apa yang membuatnya meyakini akulah yang pantas mendampingi. Mungkin saat itu dewi fortuna sedang mengasianiku, hingga akhirnya memutuskan untuk menumpahkan segala keberuntungan yang dia miliki untuk dijatuhkan padaku. Untuk akhirnya menghadiahi ku lelaki yang bahkan melebihi khayalanku. Seperti menghadirkan kandidat terbaik yang dimilikinya. Banyak ucapan selamat teruntai. Banyak pujian terajut. Aku memang beruntung.


Melepas keberadaannya akan dianggap sebagai hal bodoh yang dilakukan. Bagaimana mungkin melepas lelaki yang menjadi kandidat terbaik? Bagaimana mungkin menghapus lelaki yang bahkan berpegang kepercayaan bahwa segalanya adalah aku? Benar bodoh jika melepasnya. Kemana lagi akan ada lelaki yang bersedia mengedepankan segala urusanku? Tapi nyatanya aku memilih untuk bodoh. Pikiranku melayang pada 1,5 tahun yang lalu.


"Tyo, maaf. Aku sudah tak bisa."
"Kenapa? Ada yang salah denganku?" Lelaki itu menuntut.
"Bukan. Kesalahan bukan ada padamu."
"Jadi? Kenapa kamu justru memilih lepas?"
"Karena kamu terlalu baik. Memaksa diri disampingmu seperti menuntut ku menjaga segala hal. Menjaga agar semuanya baik."
"Aku tak pernah memintamu untuk melakukan semua itu."
"Aku tahu. Aku benar tahu. Akulah yang menuntut diriku sendiri. 2 tahun mencoba segala hal agar tetap sempurna. Sekarang aku lelah. Kehabisan tenaga."
"Apa lagi yang kau cari? Segalanya telah coba kuberikan. Apa lagi yang kau minta?"
"Aku tak membutuhkan segalanya. Nyatanya aku membutuhkan seadanya. Maaf." Aku bersegera meninggalkan dia. Sebelum lebih banyak protes atau usaha menahan atas aku.


Aku memilih bodoh. Berada dengannya memang menyenangkan, tapi tak pernah benar-benar senang. Dengannya selalu ada senyum. Tapi tak pernah sanggup tertawa. Tidakkah kau tahu bahwa itu jauh lebih menyulitkan? Lelaki itu masih duduk hanya ditemani kopi, masih tak menyadari kehadiranku. Aku masih berada ditempat yang sama. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Tidakkah kau sadar, bahwa jarak ini jauh lebih baik?


Ketika yang terbaik tidak mampu menjadi baik.
Aku tak membutuhkan segalanya. Aku membutuhkan seadanya.

Noviani Dhias Pratiwi

Noviani Dhias Pratiwi. Kamu memintaku untuk mendeskripsikanmu dalam beberapa paragraf. Entah kenapa permintaan itu muncul. Entah kenapa hanya aku yang diminta menulis dalam beberapa paragraf, sedang yang lain justru hanya kamu minta beberapa kalimat, bahkan kata! Sudahlah. Ini memang inginmu. Bertanya seperti apapun, protes seperti apapun, inginmu memang hanya menjadi milikmu, hanya menjadi keputusan mu.

Jujur saja, permintaanmu ini sulit. Mendeskripsikan kamu ternyata tidak semudah menulis kisah fiksi selama ini. Selama ini, baris-baris kata yang ada adalah hasil imajinasi tak berbatas yang seperti membebaskanku menulis. Yang menyerahkan diri untuk ku visualisasikan dalam otak untuk kemudian terproses menjadi deretan panjang paragraf. Tapi kamu, kamu bukan imajinasi. Kamu nyata. Kamu ada. Dan mendekripsikan kenyataan ternyata tak semudah itu.

Jadi apa yang harus ku deskripsikan? Tentang kamu yang pelupa? Kurasa kamu bukan pelupa, kamu hanya teledor. Ingatanmu sebenarnya terlalu kuat untuk disebut pelupa. Kamu hanya kurang memperhatikan hal-hal kecil yang ternyata penting. Ya. Kamu teledor, bukan pelupa. Jadi ubahlah sedikit keteledoran mu itu. Lalu, kamu inferior? Sebenarnya entah kamu berada di level mana. Inferior atau superior. Kamu tidak pernah benar-benar inferior ataupun superior. Aku selalu percaya kamu mampu mengurus segala hal yang ada ketika kamu memang merasa dituntut untuk seperti itu. Kamu bisa saja berani. Kamu bisa saja berpendapat. Benar kan? Kamu hanya sedikit kurang mempercayai dirimu sendiri ketika kamu merasa ada orang lain yang lebih mampu untuk memutuskan segala hal. Tapi kamu bukan inferior. Jelas bukan. Jadi, bukankah akan lebih baik jika kamu memberi lebih banyak kepercayaan pada dirimu sendiri? Kamu jelas mampu untuk melakukan segala hal. Aku bisa percaya itu.


Kamu perfeksionis yang terjebak dalam keteledoran. Sebenarnya kamu selalu ingin segalanya sempurna. Kamu sering mengulang tugasmu. Seperti tak rela jika ada sedikit celah untuk disalahkan. Tapi keteledoran sering kali merusak rencana sempurnamu. Ternyata teledor sudah sejauh ini mempengaruhi mu ya?


Kamu tahu kalau sebenarnya di otakmu itu tersimpan banyak informasi. Informasi-informasi yang mungkin tak pernah aku ketahui sebelumnya. Aku lebih sering hanya bisa ber"ah oh" saja daripada menanggapi  banyak kata mengalir darimu. Lebih sering tidak tahu daripada tahu. Akhirnya kamu terkadang sebagai sumber informasi. Dari banyak waktu terlewat, atau kejadian-kejadian yang terlangkahi, aku selalu suka bagian ketika kita bisa berbagi teori. Atau malah menciptakan teori-teori bodoh bersama. Kadang hanya berdua tapi lebih sering lagi, bertiga atau berempat. Kamu dengan pandangan mu dan aku dengan pandangan ku. Kita  berdua masih saja jago berteori walaupun NOL dipraktek. Tapi tetap saja aku menyukai bagian itu. Berteori dengan mu seperti menambah sisi-sisi dalam hidup. 


Aku pernah bilang bahwa kamu adalah kakak yang baik, yang sangat mampu memberi perhatian. Kadang aku heran dengan perhatian mu ke adik-adikmu. Terutama Ani. Tetaplah menjadi kakak yang baik. Untuk semua adik-adik mu, termasuk aku tentunya. Selamat sibuk dengan segala aktiftas tugasmu yang menuntut diselesaikan itu. Cepatlah pulang kepangkuan kami. Anggap saja ini adalah ungkapan rasa rindu, meski sebenarnya ini adalah ungkapan protes karena kau lebih sering menghilang daripada muncul dihadapan kami.

Ikhlas

"Ikhlas, mendekatlah padaku dan pada mereka yang membutuhkan kehadiranmu. Ikhlas, biarkan sedikit kami cicipi rasamu. Biarkan kami dilelapkan buaian mu. Ini melelahkan. Melelahkan tanpa kehadiranmu."

Monday, March 28, 2011

"...... Dan Nyatanya Menyayangimu ,,
Adalah Satu-satunya Hal Yang Tidak Membutuhkan Alasan .."


#edisigombal ..
"Kamu, adalah jawaban baik ,,
bahkan untuk pertanyaan buruk sekalipun .."


inspired by: a film

Friday, March 25, 2011

Kepada Pemilik Masa lalu

Kamu pemilik masa lalu. Masa yang memang kamu bentuk menjadi positif, berwarna dan berkisah. Aku sadar untuk itu. Dan aku tidak sedang dalam keadaan mengelak kehadiranmu di masa itu. Takkan pernah. Untuk tiga tahun atau mungkin justru lebih dari itu, Terimakasih.

Aku telah sampai di masa sekarang. Masa yang tidak lagi sama dengan masa yang menjadi milikmu dulu. Masa yang dalam setiap paragrafnya tak ada ada lagi namamu, atau kisahmu. Ini sudah menjadi hal yang berbeda. Buku-buku hidupku bukan lagi mengisahkan kamu. Kamu sudah terjilid dengan rapi dan kusimpan pada rak buku kehidupan ku yang hanya akan kubacakan ketika aku sedang ingin mengenang atau ketika orang bertanya tentangmu. Tapi, kamu sudah selesai. Kamu sudah tamat.

Tulisan ini bukan dalam rangka menghadirkan kamu kembali. Masamu telah habis. Aku hanya sedang kembali mengingatkan aku sendiri. Mengingatkan akhirmu. Lalu bagaimana dengan tamparan seseorang yang membuatku seperti orang tolol? Tamparan yang mengatakan bahwa kamu masih tetap ada. Kamu masih tetap hidup. Tidak hanya tersimpan. Aku bahkan tak pernah sadar semua itu. Aku harus bagaimana? Bagaimana cara mengakhiri hal yang bahkan tak sadar aku jalani? Aku percaya aku telah meletakkanmu pada rak buku itu. Entah di bagian mana. Atas, bawah, kanan atau kiri. Tapi kurasa aku sudah menyimpanmu dengan aman. Pasti. Lalu bagaimana caranya menjilid buku kisahmu saat ini? Saat aku bahkan tak tahu dan tak ingat kapan menuliskannya. Apa lagi yang harus kujilid?

Kamu harus berakhir. Berakhir dengan total. Karena seperti kataku tadi, kamu hanya menjadi pemilik masa lalu. Dan aku bukan orang yang hidup di masa lalu. Aku tak  bisa menjilidmu sekarang, karena bahkan untuk mengingat apa yang kutuliskan di masa sekarang tentangmu saja aku tak lagi mampu. Aku tak bisa mengakhirimu. Karena aku bahkan tak tahu kapan aku menjalaninya. Jadi, bagaimana kalau kamu saja yang tahu diri dengan semuanya? Kamu bisa mengakhiri dirimu sendiri. Kamu bisa menjilid kisahmu sendiri. Aku akan menyediakan tempat di rakku. Kamu hanya perlu berjalan dan membiarkan dirimu tersimpan disana. 

Aku tidak menyalahkan mu. Ini juga bukan maumu. Mungkin kamu memang sudah terlalu jauh berjalan dulu. Hingga sampai pada lorong ketidaksadaranku. Dan lorong itu yang tetap mengingatmu. Tapi kita harus mengakhiri semua. Benar kan? Maka, silahkan berjalan ke akhirmu. Silahkan memulai perjalanan untuk keluar dari lorong ketidaksadaranku. Tak apa jika harus melewati ruangan sadarku sejenak. Tak apa jika hanya dengan cara itu kamu selesai. 

"Berakhirlah. Aku sudah baik-baik saja."