Pages

Tuesday, April 17, 2012

Apakah Salah?

Kamu datang terlalu cepat. Jingga langit masih di depan mata. Bahkan genangan-genangan murni sebagai tanda bahwa air langit sempat bermain-main menjejak tanah sore tadi belum mengering. Lampu-lampu pinggiran jalan belum seluruhnya menyala. Aku pun masih terduduk di ruang tamu, bagian terdepan dari rumah, setelah beranda tentunya. Mengawasi, tanpa tahu mengawasi apa. Ketakutan, tanpa tahu objek nyata yang aku takuti. Aku kosong dan belum tahu bagaimana mengisinya kembali.

Lalu bagaimana bisa kamu datang kembali? Saat aku bahkan sedang belajar tertidur siang tadi. Belajar melepas asa ke dalam dunia mimpi, karena berharap amnesia sudah jelas tidak mungkin dikabulkan. Kecuali jika aku dengan ikhlas membenturkan kepala ke dinding, dengan resiko bonus cacat fisik. Bagaimana bisa kamu ada di depan sana, tepat di depan rumahku ketika aku bahkan baru saja mengembalikan buku kisah kita di rak buku paling atas, kemudian mengambil buku lain yang judulnya saja bahkan belum aku baca utuh? 

Keabnormalan macam apalagi yang ingin kamu bawa ke hadapanku? Kalimat-kalimat macam apalagi yang akan kamu tuliskan di lembaran buku kita? Sepertinya aku memang harus terbiasa dengan kebiasaanmu membuat aku tergila-gila dalam sesaat lalu kemudian memaksaku untuk cepat waras pada detik selanjutnya. Wujud kerelaan lain seperti apa yang harus aku pelajari, ketika aku bahkan belum tamat membaca satu teori kerelaan? 

Kamu lah wujud yang selama ini aku awasi dari ruang tamuku. Mengawasi agar bukan kamu, wujud yang berdiri di depan rumah. Kamu lah sosok yang selama ini aku takuti datang kembali. Kamu lah orang yang membuatku masih saja duduk di ruang tamu, berharap memiliki kekuatan untuk menyuruhmu pergi bahkan sebelum kamu memasuki dinding pagar.

Matahari bahkan belum tuntas mengantarku ke dalam gelap malam. Suara-suara jangkrik belum muncul untuk mengajarkan kerelaan. Dan aku belum sempat bercerita dalam mimpi malam yang panjang agar nyataku dapat baik-baik saja. BAIK-BAIK SAJA SECARA TOTAL. Bukan separuh, sepertiga atau malah masih seiris. Aku ingin baik-baik saja secara total. Titik. Lalu bagaimana bisa kamu berdiri di depan rumah dan mengetuk pelan pintu di hadapanmu? Yang pada akhirnya tanpa sadar aku membukakan sekat yang membatasi kita.

"Apa kabar?" Ucapmu dengan segaris senyum ikhlas.
Aku diam.
"Boleh aku masuk?" Ucapmu dengan nada yang teratur.
Aku diam.
"Aku pulang. Pulang ke hadapanmu. Boleh?" Tuturmu pelan sambil mengulurkan tangan. Memintaku untuk menggenapi.
Aku diam.

Bagaimana jika aku bukan jalan pulangmu? Bagaimana jika rumah ini bukan tempatmu untuk pulang? Bagaimana jika kamu, hanya mengira aku adalah tempatmu pulang? Bagaimana jika akulah tempatmu berpergian dan suatu saat kamu akan pulang ke arah lain? 

Jikapun aku bukan tempatmu untuk pulang, apakah masih ada kekuatan untuk melepasmu lagi ketika jabat tangan kita sudah bertaut? Apakah masih ada sisa-sisa teori kerelaan yang aku tahu untuk melepasmu pergi ke tempa seharusnya kamu pulang?

Aku melihat uluran tanganmu di hadapan ku. Dengan sisa-sisa keyakinan yang berserakan, tangan kita berjabat.

"Jika aku bukan tempatmu pulang dan aku tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan lagi, apakah salah?" Ucapku lirih.