Pages

Sunday, February 17, 2019

Secarik Kisah yang Sama

Sahara.

Ini adalah pagi pertama pertemuan kita. Kamu duduk pada salah satu bangku kayu yang cukup rapuh di taman bermain. Aku berayun pada salah ayunan yang sudah cukup berkarat. Beberapa anak bermain ditemani orangtua mereka. Kupikir kamu adalah salah satu ayah anak-anak itu. Siang menjelang, sinar matahari yang terlalu elok panasnya perlahan mengusir para orangtua dan anak-anak tersebut. Tapi kamu tidak juga beranjak, pun aku. Ah, kamu bukan bagian dari para orangtua itu, barangkali kamu hanya seperti aku. Melewati beberapa jam dengan kosong, lalu pulang dengan hampa. 

Sudah seminggu kita bertemu. Di waktu yang hampir sama setiap hari, dengan posisi yang juga nyaris selalu sama. Kecuali jika ada orang yang sudah mendahului duduk pada bangku kayu itu, atau anak yang bermain di atas ayunan. Siang ini, sudah kuputuskan aku akan menghampirimu. Sebab aku sangat mengenal tatapan itu. Tatapan yang tidak benar-benar menatap apapun. Sebab aku pun  begitu.

"Apa kamu baik-baik saja?" Tanyaku ketika menghampirimu dan hanya dibalas anggukan dan segaris senyum.
"Aku tidak." Responku setelah melihat jawabanmu. Aku tahu, kamu tidak benar-benar baik.
"Kamu boleh cerita kalau mau." Jawabmu singkat.

Aku punya banyak cerita. Tentang banyak orang. Seperti kertas, aku adalah tempat mereka menulis kisah mereka. Kadang tulisan tangan mereka apik, menyenangkan untuk dibaca. Tapi, tak jarang pula berantakan dan penuh tekanan hingga malas orang membacanya. Seperti tempat sampah, aku adalah tempat mereka membuang busuk kehidupan yang mereka punya. Aku penuh dengan kehidupan banyak orang, lalu kehilangan diri sendiri. Aku sibuk menjadi tempat mereka berlari dari kehidupan mereka, tapi tidak punya tempat berlari untukku sendiri. Aku sibuk menjadi penyembuh bagi mereka, lalu sakit dan tak menemukan penyembuh apapun. Terlalu lama. Tidak ada yang bisa menyembuhkanku. Aku sudah terlanjur robek dan membusuk. 

Kamu dengan seksama mendengarkan. Tanpa respon apapun, namun tatapan itu menghangatkan.

"Aku harap, kamu tidak menjalani hidup sepertiku." Kataku menutup cerita.


Respati.

Siang itu aku sedikit kaget dengan sapaan yang tak biasa dari orang asing. Sudah lama aku tak mendengar orang menanyakan keadaanku. Aku tidak yakin kapan pertama kali kamu duduk di ayunan yang sama pada taman bermain ini setiap pagi. Kupikir kamu adalah salah satu ibu dari anak-anak yang bermain. Ternyata tidak. Kamu tetap disana bahkan ketika para orangtua dan anak-anak itu terusir oleh sinar matahari siang. Barangkali kamu hanya seperti aku.

"Apa kamu baik-baik saja?" Tanyamu ketika menghampiriku dan hanya kubalas anggukan dan segaris senyum.
Aku rasa ini adalah perkara kebiasaan. Terbiasa untuk berkata baik-baik saja. Selanjutnya, aku akan membiarkan orang-orang untuk berkeluh kesah. Dan kurasa, kamu butuh itu sekarang.

"Aku tidak." Responmu setelah melihat jawabanku. 
"Kamu boleh cerita kalau mau." Jawabku singkat.

Aku mendengar dengan seksama. Ceritamu, familiar. Seperti mendengar kisahku diceritakan ulang olehmu.

"Aku harap, kamu tidak menjalani hidup sepertiku." Katamu menutup cerita.

Aku sudah menjalani hidup sepertimu. Serupa memory card, hidupku penuh dengan rentetan rekaman kejadian banyak orang di sekitarku. Aku sibuk menjadi seperti para dokter yang mencoba menyembukan pasien, kemudian tak sadar jatuh sakit pada akhirnya. Aku sibuk menjadi pendengar, tapi tidak menemukan siapapun untuk bercerita. Aku pikir aku baik-baik saja, ternyata aku sudah terlalu jauh tenggelam dalam laut kehidupan orang lain. Aku tidak lagi bisa menemukan aku. 

Kamu dengan seksama mendengarkan. Tanpa respon apapun, namun tatapan itu menghangatkan.

"Aku harap, kamu segera menemukan penyelamatmu." Kataku menutup cerita.


***

Hari ini, waktu terasa berjalan cepat. Dua manusia itu masih setia duduk di taman bermain. Matahari semakin menggelincir ke barat, kemudian mereka saling memutuskan untuk pulang. Mereka tak lagi pulang dengan benar-benar hampa, ada yang terisi disana. Entah apa. Langkah mereka ringan, dan diam-diam berjanji dalam hati akan kembali esok hari.

Tak ada yang bisa memaksa hati untuk sembuh. Ia akan menemukan caranya sendiri.


source: https://dissolve.com