Pages

Thursday, January 27, 2011

Jarak Mampu Membahagiakan #2

Entah akan seperti apa setelah ini. Entah akan bagaimana setelah ini. Yang aku tahu sekarang kamu berbahagia. Dan itu cukup. Tentang jarak yang tercipta. Tentang rasa yang  teredam. Tentang hati yang ku bungkam, adalah hal yang memang kupilih sebagai tumbal untuk bahagia mu. Untuk menjadikan tawa sebagai teman mu.

Lorong ini terasa mengeluarkan keasingan dari balik dindingnya. Keasingan yang benar-benar pekat menutupi rasa akrab. Jelas aku sangat mengenal lorong ini. Lorong yang selalu menjadi jalan yang berujung pada rumah mu. Tak ada yang berubah. Dindingnya, remang-remang dari penerang malam, suasananya, semua masih benar-benar sama. Benar-benar sama. Hanya saja sekarang aku menyusurinya sendiri. Tanpa kamu yang dengan terpaksa bersedia ku jaga sampai depan rumah mu. Tanpa kamu yang memilih mengirit kalimat mu untuk diucapkan pada ku. Tanpa kamu yang selalu berjalan dalam jarak yang kamu anggap aman dari segala jangkauan ku.

Semua. Semua perlakuan mu dulu, pernah membuat ku sedikit yakin bahwa tak ada kontribusi kebersamaan dalam porsi lebih yang kamu suguhkan di depan ku. Hingga setidaknya, dapat dengan mudah memudarkan bayangan mu dari bagian memori yang memilih untuk mengingat mu. Seharusnya itu mudah. Seharusnya kamu terlupakan. Terselesaikan. Dan kalaupun tak bisa, paling tidak kamu tidak terasa seberharga ini. Bukan seperti ini.

Aku menjadikan lorong ini sebagai alat ukur tentang bagaimana memori mengingat mu. Bagaimana raga merasakan kehadiran mu. Bagaimana hati merasa untuk mu. Masihkah pertahanan mereka sama kuat seperti sebelumnya? Atau sudah melemah, melonggar dan melepaskan? Aku mengistirahatkan mata. Ya. Masih di lorong ini. Masih dengan keterasingan yang semakin pekat saja. Mengeratkan kelopak mata. Merasakan. Dan keasingan sepertinya tidak hanya semakin pekat, tapi juga memeluk dan melumat ku di dalamnya. Ketiadaan mu lah penyebabnya. Sudahlah, aku tak bisa menjawab. Tepatnya tak mau menjawab. Karena dengan menjawab menjadikan aku yakin, aku MASIH kalah. 

Maaf, kamu masih belum mampu terselesaikan.
Maaf, aku masih akan melihat mu dalam jarak.
Tapi berbahagialah. Berbahagialah dalam sendiri mu.

Tuesday, January 25, 2011

Jarak Mampu Membahagiakan

Aku sama sekali tak pernah membayangkan bahwa aku akan berdiri pada posisi ini. Bahwa aku akan berjalan pada jalan ini, dan pada akhirnya menganut kepercayaan ini. Aku sama sekali tak pernah membayangkan akan berdiri disini mengawasimu. Tidak. Bukan mengawasimu. Tapi melihatmu. Bukannya berada di sampingmu atau paling tidak di dekatmu. Aku memilih menciptakan jarak.

Kepercayaan untuk melepaskan orang yang dicintai agar dia berbahagia atau kepercayaan untuk ikut berbahagia ketika orang yang dicintai ternyata mencintai orang lain, adalah kepercayaan yang ku percayai sebagai bentuk lain dari kemunafikan. Bentuk lain dari kepengecutan. Karena kepercayaan ku adalah cinta memang ditakdirkan untuk menjadi egois. Cinta memang ditakdirkan bersifat ingin memiliki, karena cinta memang harus saling memiliki. Jadi sudah sepantasnya, aku mencoba terus mempertahankan mu selama ini. Sudah seharusnya, aku tidak melepaskan mu.

Nyatanya, saat ini aku memilih menjadi sosok yang ku anggap munafik. Sosok pengecut. Aku memilih menganut kepercayaan yang selama ini tidak ku percayai. Melepasmu. Takdir memang berkuasa. Kata-kata takdir memang tak terelak. Pun kata-kata mu.

"Aku sakit. Tolong lepaskan aku. Ini bukan cinta. Ini hanya memiliki." Ucapmu.

Kata-katamu akhirnya meruntuhkan benteng pertahanan yang ku ciptakan. Benteng pertahanan yang selalu ku perkokoh. Ya! Kalimat mu. Kalimat yang selalu berulang kali kau ucapkan tapi selalu coba ku tepis. Aku telah menepis banyak hal. Menepis kesakitan mu. Menepis kesakitan ku. Menepis kehampaan. Hanya demi, AKU. Sedang kau telah mengecil, terbakar dan menjadi abu tanpa aku sadari.

Aku benar-benar memilih menjadi sosok munafik. Melepasmu dan benar-benar hanya melihatmu dalam jarak. Lebih sering mengamati mu. Mengamati mu yang akhirnya menjadikan tawa sebagai hobi terbaru mu. Mengamati mu yang tidak lelah berjalan dalam hari dan takdir mu. Sendiri. Aku memang telah menjadikan sakit sebagai teman mu saat menahan mu disisi ku. Hingga senyum pun enggan untuk sekedar menyapa mu, dulu.

Posisi inilah yang akhirnya ku pilih sebagai tempat ku. Posisi yang selalu berseberangan dengan mu. Posisi yang mempertahankan jarak, tapi tetap mengijinkan ku melihat mu. Posisi yang leluasa membuat ku disekitar mu, hingga hati tetap merasa "cukup". Cukup untuk melihatmu baik-baik saja.

Berbahagialah. Kau wanita yang pantas berbahagia. 

KAMU, KAU, ANDA

"Kamu mimpi ter-NYATA , garis tanpa batas, kata tak terucap."
"Kamu objek terjelas tanpa melihat , penegas rasa."
"Kamu definisi dari segala arti. Kamu awal tanpa akhir."
"Kamu layaknya potongan puzzle , tak terganti dan memang bukan untuk digantikan." (artikel: KEPING HIDUP)
"Kamu inspirasi penyita aksara. Rotasi tanpa pusat."
"Kamu percikan satu kesatuan cahaya peng-indah malam."
"Kamu yang tak pernah bersedia kubagi. Kamu wujud ke-EGOIS-an ku." (artikel: Kau ke-EGOIS-an ku)
"Kamu skenario terapih. Kamu nada tersinkron. Kamu syair tak terbatas."
"Kamu, tak ada selamat tinggal untukmu. Hanya ada selamat menetap."

 penutup:
"Kamu kalimat tanpa TITIK. Dan aku tak pernah sanggup menyelesaikannya." (cerpen: Tanpa titik)

#edisigombalgambulgembel ..
no protes! karena dunia saya lagi dipenuhi kegombalan. Jadi biarlah saya mengikuti dulu. :)

Monday, January 24, 2011

Aku, Takut, Masa Depan

"Ketakutan"

Kata itu muncul bukan pada suatu sosok atau suatu benda. Kata itu muncul untuk satu hal kemisteriusan hidup berbentuk abstrak. Satu hal yang menggantung didepan mata, namun tetap saja tak tertangkap dengan jelas. Bahkan terkadang, berbentuk pun tidak. Masa depan.

Masa depan, perlahan kau akan tertatap seiring dengan detik waktu yang memutuskan untuk terus menerus bergerak. Tapi jujur saja, aku tidak siap menghadapi mu. Bukan. Bukan tidak siap. Hanya saja, BELUM siap. Aku pernah meminta waktu untuk sedikit berkompromi dengan ku. Untuk berkompromi dengan ketakutan ku. Tapi ternyata kesepakatannya adalah dia harus tetap berada di kecepatan ini.

Sekarang, aku ingin meminta mu memisahkan diri dengan waktu. Tidak melekat seperti ini. Tidak berjalan seperti ini. Aku ingin meminta mu menjalani jalan mu sendiri, hingga aku paling tidak bisa menghentikan mu sebentar sekedar untuk mempersiapkan diri menatap mu. Aku selalu mengucap bahwa aku benci waktu. Tapi sebenarnya aku hanya membenci mu. Membencimu, masa depan. Karena kau selalu bersifat abstrak, kau selalu tertutup. Kau hanya mampu teraba, tapi tak mampu tergenggam Kau hanya mampu terbayang, tapi tak mampu terlihat. Itu kau. Dan sayangnya, kau dan waktu selalu bergerak bergandengan. Sehingga dengan terpaksa akupun membenci waktu.

Lalu, kesadaran menamparku. Tamparan kecil memang. Tapi mampu membuatku tersadar. Kalaupun kau dan waktu berpisah dan berjalan sendiri, maka kau bukan lagi bernama "masa depan". Dan waktu? Entah akan menjadi apa dia. Entah apa yang bisa dia bawa untuk dihadirkan dalam sela-sela detiknya. Kurasa, dia memang hanya mampu membawa mu, masa depan. Dan sepertinya, aku akan semakin bodoh jika kalian benar-benar memutuskan untuk memisahkan diri.

Pada akhirnya, aku akan tetap takut padamu dan waktu. Jadi, paling tidak, bisakah kau meminta waktu untuk menghilangkan "ketakutan" itu? Percayalah, aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengusir ketakutan. Tapi sepertinya, gagal dengan sangat baiknya. Aku menaruh harapan besar pada waktu. Kalau dia dipercaya bisa menyembuhkan luka, maka setidaknya aku berhak percaya bahwa dia juga mampu mengusir ketakutan bukan?

Aku akan menatapmu masa depan. Aku akan berjalan dengan baik ke arahmu, meski masih ditemani ketakutan. Biar saja, toh aku akan tetap berjalan menghampirimu!

Saturday, January 22, 2011

Selamat Tidur, Rasa

Selamat malam, teras kamar.

Aku kembali mendiami teras kamar yang selalu menjadi tempat akhir pembuangan hasil perenungan ku. Mungkin bukan hanya sekedar tempat akhir, tapi juga tempat memproses renungan hati yang terkadang irasional untuk dikelola menjadi hal-hal yang setidaknya lebih rasional. Ini adalah malam kesekian dalam sebulan terakhir. Tepatnya, malam kesekian tentang dia yang kucurahkan di tempat ini, di teras ini, di sudut ini.

Kalau harus menganut aliran bahwa cinta tak datang dengan tiba-tiba, maka aku dengan terpaksa menamakan ini adalah sebuah rasa terpesona, meski aku sebenarnya lebih suka menamakan ini cinta. Karena aku tahu ini memang cinta. Tapi biarlah, biarlah aliran tersebut membuat ku sedikit tidak merasa bersalah tentang rasa yang ku ukirkan dalam benda bernama hati.

Ini adalah malam kesekian. Malam kesekian untukku meminta hati agar terbangun dari sapaan hangat kata cinta. Karena sungguh, aku takut akan rasa bersalah yang aku tahu pasti akan tumbuh bersamaan dengan rasa. Aku jatuh cinta. Atau entah apalah itu namanya. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Yang salah adalah tempat cinta itu jatuh, karena jatuh pada orang yang terlanjur memiliki label "sahabat".

Dia hadir, jauh sebelum rasa ini hadir. Dia hadir dalam bentuk yang jauh berbeda. Dia adalah orang yang kuyakini tak akan mampu menjadi pengukir bagi hati. Itu, dulu. Saat ini, rasa menyajikan dia dalam bentuk lain. Bentuk keabstrakan meski bisa ku lihat dengan jelas. Saat ini, dia bukan hanya pemahat handal dalam hati. Dia bahkan pengukir lihai yang mampu dengan sempurna menyempurnakan bentuk dari bagian-bagian kecil hati.

Tapi, lagi-lagi aku harus ingat. Bahwa di teras ini adalah tempat merasionalkan hal-hal yang irasional. Keyakinan nya adalah cinta tak boleh menggantung dalam tali persahabatan. Keyakinan nya adalah, cinta dan sahabat adalah hal yang harus tumbuh dalam alur masing-masing. Cinta dan sahabat adalah jalan dua arah yang terlarang untuk disatukan.

Sudahlah. Aku akan mengakhiri. Bukan untuk mengakhiri dia, tapi untuk mengabadikannya, meski dalam bentuk yang lain. Aku akan berhenti. Bukan karena lelah, tapi untuk meneruskan yang seharusnya.

Selamat tidur, Rasa.
Tolong jangan terbangun lagi.


Hasil Test Kepribadian

Tipe Idealis Penyelaras dikenali dari kepribadiannya yang kompleks dan memiliki begitu banyak pemikiran dan perasaan. Mereka orang-orang yang pada dasarnya bersifat hangat dan penuh pengertian. Tipe Idealis Penyelaras berharap banyak pada diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang sifat-sifat manusia dan seringnya menilai karakter dengan sangat baik. Namun mereka lebih sering menyimpan perasaan dan hanya mencurahkan pemikiran serta perasaan mereka kepada sedikit orang yang mereka percaya. Mereka sangat terluka jika ditolak atau dikritik. Tipe Idealis Penyelaras menganggap konflik sebagai situasi yang tidak menyenangkan dan lebih menyukai hubungan harmonis. Namun demikian, jika pencapaian sebuah target tertentu sangat penting bagi mereka, mereka dapat dengan berani mengerahkan seluruh tekad mereka hingga cenderung keras kepala. 




Tipe Idealis Penyelaras memiliki fantasi yang hidup, intuisi yang nyaris seperti mampu membaca masa depan, dan seringkali sangat kreatif. Begitu berkutat dengan sebuah proyek, mereka melakukan segala daya upaya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering membuktikan diri sebagai pemecah masalah ulung. Mereka suka mendalami hingga ke akar permasalahan dan memiliki sifat ingin tahu alamiah serta haus akan pengetahuan. Pada saat bersamaan, mereka berorientasi praktis, terorganisir dengan baik, dan siap menangani situasi-situasi rumit dengan cara terstruktur dan pertimbangan matang. Ketika mereka berkonsentrasi pada sesuatu, mereka melakukannya dengan seratus persen – mereka sering begitu terbenam dalam sebuah pekerjaan sehingga melupakan hal lain di sekitar mereka. Itulah rahasia kesuksesan profesional mereka yang seringkali gilang gemilang.

Sebagai pasangan, tipe Idealis Penyelaras setia dan dapat diandalkan; hubungan permanen sangat penting bagi mereka. Mereka jarang jatuh cinta hingga mabuk kepayang dan juga tidak menyukai hubungan-hubungan asmara singkat. Kadang-kadang mereka sulit menunjukkan rasa sayang mereka dengan jelas sekalipun perasaan mereka dalam dan tulus. Dalam hal lingkaran pertemanan, semboyan mereka adalah: sedikit berarti lebih banyak! Sejauh menyangkut kenalan baru, mereka hanya dapat didekati hingga jarak tertentu; mereka lebih suka mencurahkan tenaga ke dalam pertemanan akrab yang jumlahnya sedikit. Tuntutan mereka kepada teman dan pasangan mereka sangat tinggi. Karena mereka tidak menyukai konflik, mereka akan diam sejenak sebelum menyuarakan masalah-masalah yang tidak memuaskan dan, ketika melakukannya, mereka berusaha sangat keras untuk tidak menyakiti siapa pun karenanya.

Friday, January 21, 2011

Terimakasih, Hujan!



KITA. Kamu dan aku , tepatnya. Duduk di sudut bangunan untuk sekedar berlindung dari serangan hujan yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Aku benci hujan. Aku benci karena hujan terkadang memenjarakan ku dari keinginan untuk pulang. Aku benci karena hujan menajamkan rasa kesepian yang hadir. Dan saat ini, aku lebih membenci hujan, karena membuat aku dan kamu terkunci di tepian jalan ini. Membuat aku dan kamu terpaksa berdiam diri berdua dengan rasa dingin masing-masing. Aku benci.

"Maaf ya? Harusnya tadi kita nggak usah mampir makan dulu. Langsung pulang aja." Ucapmu dengan sedikit sesal.
"Udahlah, nyantai aja. Hujannya ni yang kurang ajar, dateng nggak bilang-bilang dulu." Aku mencoba mencairkan suasana yang nyaris beku dalam dingin hujan. Dan kamu hanya membalas dengan segaris senyum.

Tuhaaaaaaann, sungguh aku benar-benar membenci hujan! Hujan tak peduli bahwa saat ini aku mati-matian bersikap biasa di hadapannya. Hujan tak pernah peduli rasa yang terukir meski aku tahu bahwa itu terlarang. Hujan seperti menantangku untuk bertarung menahan rasa yang telah menjadi asa.

"Besok mau ikut?"
"Ikut? Ikut diving maksudnya? Nggak ah. Nggak bisa, takut juga kali."
"Ya dicoba dulu lah. Belum pernah nyoba kan? Kalau udah, pasti ketagihan. Banyak yang bisa dilihat di bawah laut sana."
"Nggak ah. Aku nggak tertarik lihat banyak hal dibawah laut sana. Dengar cerita mu dan berlembar-lembar hasil fotomu aja udah cukup."

Saat ini aku pun membenci kamu sama seperti aku membenci hujan. Kamu sama tidak pedulinya dengan hujan. Kamu tak pernah peduli bagaimana pedulinya aku dengan semua hal tentangmu. Kamu tak peduli bahwa aku mati-matian menghapus rasa. Buatku, saat ini kamu fana. Kamu terus menerus seperti fatamorgana saat dahaga menyerang. Kamu memperkuat asa yang seharusnya tidak diperkuat.

"Kenapa? Kok jadi cemberut gitu? Nggak mau ikut juga nggak papa. Aku cuma ngajak kok, nggak maksa."
"Bukan gara-gara itu."
"Jadi gara-gara apa?"
"Aku benci hujan."
"Apa?" Ujarmu sedikit kaget.
"Aku benci hujan. Aku nggak pernah suka sama hujan."
"Ooo. Aku juga nggak suka hujan kalau pas diving. Bikin laut keruh, jadi nggak bisa liat apa-apa. Tapi untuk sekarang, hujan layak untuk disukai."
"Kenapa?"
"Kamu tahu kenapa aku suka laut?" Aku hanya menggelengkan kepala. "Dari atas, laut memang cuma seperti kesatuan warna. Warna biru. Indah, namun hanya sekedar keindahan warna. Nggak banyak orang bisa lihat isi laut yang sebenarnya, kalau mereka nggak mencoba menyelam. Dan kamu seperti laut." Ucapnya tanpa menghiraukan pertanyaan ku.


"Kamu selalu bersikap biasa. Kamu selalu terlihat mampu menghadapi semua. Kamu seperti tak membutuhkan apapun selain dirimu, karena kamu mampu mengatasi semua. Dan kamu perlu tahu, aku telah cukup lama berkutat dengan pikiranku sendiri. Pikiran akan ketakutan bahwa aku tak dibutuhkan. Pikiran akan ketakutan bahwa aku tak diperlukan. Kamu benci hujan. Itulah hal pertama yang aku tahu tentang ketidaksukaanmu pada suatu hal. Dan kalimat itu, meyakinkan keyakinan ku untuk menahanmu disisi ku. Selama ini, kamu adalah individu yang memandang segalanya baik-baik saja. Segalanya patut disyukuri. Segalanya patut disukai. Aku tahu segala hal kesukaan mu. Tapi itu hanya satu sisi tentangmu. Dan pernyataan mu tadi melengkapi satu sisi yang selama ini aku cari."


Kalimat itu terlampau panjang. Terlampau rumit untuk diartikan. Aku tahu aku mampu mengartikan, tapi aku takut salah mengartikan deretan panjang baris kata yang harus diindra oleh telingaku. Aku takut memperbesar asa yang selama ini ada. Yang selama ini bertahan mendampingi rasa.


"Aku butuh kamu. Aku butuh menahanmu disisi ku. Bisakah?" Segaris senyum mengiringi kata yang diucapkannya.


Terimakasih, Hujan. Terimakasih untuk malam ini.  Terimakasih untuk hangat yang kau hadirkan.
Terimakasih, Kamu. Terimakasih untuk menjadi nyata dalam hidup. Terimakasih untuk mengubah asa menjadi seutas tali kehidupan baru.




Terimakasih.

Tuesday, January 4, 2011

Menunggu, Satu sudut

"Berhentilah. Kau sudah cukup lelah."

Percayalah, aku selalu berharap kalimat tersebut mampu menjadi nyata. Tapi keyakinan hati nyatanya masih terlampau kuat menahan asa, asa yang bahkan  tak pernah ku ketahui waktu kedatangannya. Sungguh, aku bukan wanita hebat. Sungguh, aku tidak cukup kuat. Sungguh, aku pun ingin mengakhirinya.

"Berapa lama kau sanggup menunggu? Ini bukan dongeng. Akhirilah."

Aku tak pernah tau jawaban dari pertanyaan itu. Pernah aku mencoba berhenti dan pergi, tapi pada akhirnya urung juga. Dia benar. Mereka semua benar. Ini bukan dunia dongeng. Ini bukan dunia dimana menunggu dipastikan akan menjadi akhir yang patut dirayakan. Sepenuhnya aku sadar, Tapi kesadaran ternyata tak cukup membuat ku cukup sadar menyelesaikannya. Aku tahu ini bukan dongeng, aku pun tak berharap demikian. Dia bukan dongeng. Kisah ini bukan dongeng. Dan aku tak pernah rela ini menjadi dongeng.

Aku pernah berkeyakinan bahwa mengejar itu melelahkan. Mengejar untuk suatu hal yang kau tau pasti bahwa itu sia-sia. Tapi sekarang, aku lebih berkeyakinan bahwa menunggu jauh lebih melelahkan. Menunggu membuatku tak pernah tau dimana keberadaan objek ku. Menunggu, membuatku terpaku pada satu sudut hanya untuk menunggu dia kembali. Tanpa peduli apa dia akan kembali. Aku menunggu. Dan itu melelahkan.

"Untuk apa semuanya? Untuk apa kau memendam lelah? Dia bahkan tak memberi petunjuk untuk kembali. Kau sia-sia."

Aku tau! Aku tau! CUKUP! Aku tau aku sia-sia. Biarlah, karena hanya dengan cara ini aku menjalani hidup. Biarlah aku lelah, karena dengan cara ini aku kuat. Biarlah aku menunggu hal yang bahkan tidak lebih nyata dari fiksi. Untuk satu hal yang ku ketahui, aku tak lagi menunggu untuknya, tapi juga untukku. Untuk aku yang bertahan sampai pada titik ini. 

"Biarlah dia jadi kenangan. Tidakkah itu cukup? Aku sahabatmu, bagaimana mungkin aku terus melihatmu seperti ini? Ini sudah cukup. Ini cukup untuk dikenang."

Masalahnya segala hal tentangnya tak pernah mampu kusebut kenangan. Dia mengalir. Ya, aku yang mempertahankannya untuk tetap mengalir. Aku yang membuatnya mengalir. Karena dia memang bukan untuk sekedar dikenang. Dia lebih dari itu. Dan aku masih mampu menunggu. Aku masih mampu terpaku pada satu sudut. Aku belum mau menyerah.