Pages

Tuesday, January 25, 2011

Jarak Mampu Membahagiakan

Aku sama sekali tak pernah membayangkan bahwa aku akan berdiri pada posisi ini. Bahwa aku akan berjalan pada jalan ini, dan pada akhirnya menganut kepercayaan ini. Aku sama sekali tak pernah membayangkan akan berdiri disini mengawasimu. Tidak. Bukan mengawasimu. Tapi melihatmu. Bukannya berada di sampingmu atau paling tidak di dekatmu. Aku memilih menciptakan jarak.

Kepercayaan untuk melepaskan orang yang dicintai agar dia berbahagia atau kepercayaan untuk ikut berbahagia ketika orang yang dicintai ternyata mencintai orang lain, adalah kepercayaan yang ku percayai sebagai bentuk lain dari kemunafikan. Bentuk lain dari kepengecutan. Karena kepercayaan ku adalah cinta memang ditakdirkan untuk menjadi egois. Cinta memang ditakdirkan bersifat ingin memiliki, karena cinta memang harus saling memiliki. Jadi sudah sepantasnya, aku mencoba terus mempertahankan mu selama ini. Sudah seharusnya, aku tidak melepaskan mu.

Nyatanya, saat ini aku memilih menjadi sosok yang ku anggap munafik. Sosok pengecut. Aku memilih menganut kepercayaan yang selama ini tidak ku percayai. Melepasmu. Takdir memang berkuasa. Kata-kata takdir memang tak terelak. Pun kata-kata mu.

"Aku sakit. Tolong lepaskan aku. Ini bukan cinta. Ini hanya memiliki." Ucapmu.

Kata-katamu akhirnya meruntuhkan benteng pertahanan yang ku ciptakan. Benteng pertahanan yang selalu ku perkokoh. Ya! Kalimat mu. Kalimat yang selalu berulang kali kau ucapkan tapi selalu coba ku tepis. Aku telah menepis banyak hal. Menepis kesakitan mu. Menepis kesakitan ku. Menepis kehampaan. Hanya demi, AKU. Sedang kau telah mengecil, terbakar dan menjadi abu tanpa aku sadari.

Aku benar-benar memilih menjadi sosok munafik. Melepasmu dan benar-benar hanya melihatmu dalam jarak. Lebih sering mengamati mu. Mengamati mu yang akhirnya menjadikan tawa sebagai hobi terbaru mu. Mengamati mu yang tidak lelah berjalan dalam hari dan takdir mu. Sendiri. Aku memang telah menjadikan sakit sebagai teman mu saat menahan mu disisi ku. Hingga senyum pun enggan untuk sekedar menyapa mu, dulu.

Posisi inilah yang akhirnya ku pilih sebagai tempat ku. Posisi yang selalu berseberangan dengan mu. Posisi yang mempertahankan jarak, tapi tetap mengijinkan ku melihat mu. Posisi yang leluasa membuat ku disekitar mu, hingga hati tetap merasa "cukup". Cukup untuk melihatmu baik-baik saja.

Berbahagialah. Kau wanita yang pantas berbahagia. 

0 comments:

Post a Comment