Pages

Monday, October 28, 2013

Lembaran Kuyup Di Tengah Bising Perdebatan

Semesta punya banyak kehidupan. Hanya saja, seringkali manusia lupa atau mungkin sengaja melupakan hingga bisa berlagak sebagai pemeran utama, sedang pada nyatanya semua manusia juga figuran. Sedang pada nyatanya, kehidupan mereka hanya satu dari sekian banyak tumpukan skenario yang sama-sama usang. Sama-sama lusuh. Tertimbun semesta.

Banyak yang lupa. Bahkan warna pun punya kehidupan, ketika merah dan biru tidak lagi menjadi pemeran utama tetapi harus rela menyatu, melebur demi menjadi violet. Menjadi figuran. Samar dari pandangan. Tak banyak yang ingat. Tak banyak.

Pada salah satu lembaran lusuh dari tumpukan skenario, terbaca perdebatan disana. Tentang lelaki dan perempuan. Lelaki dan perempuan yang sedang berebut tahta kesakitan. Bersikeras menjadi yang paling sakit diantara keduanya. Menganggap masing-masing dari mereka adalah tokoh utama yang sedih dan pedihnya layak dilihat.

"Akulah yang paling sakit. Aku yang dua kakinya harus menapak pada dua perahu berbeda karena tak bisa memilih. Aku!" Ucap lelaki itu.
"Lalu bagaimana denganku? Kau pikir menjadi bayang-bayang adalah impianku? Kau pikir enak menjadi seorang yang selalu berusaha tak terlihat? Pura-pura tak ada!" Wanita itu melawan.
"Aku tahu. Tapi paling tidak mengertilah posisiku barang sedikit."
"Mengerti posisimu yang bisa mengambil untung dari dua perahu? Posisi seperti itu yang kau sebut paling sakit, ketika posisimu justru yang paling bisa menyakiti?"  Tawa sinis tergambar pada wajah wanita itu.
"Bukan seperti itu! Aku bukannya tak mau memilih tapi tak mampu! Kau pikir aku tega menyakiti wanita yang selama ini justru menjadi salah satu orang yang menjagaku? Lalu, kau pikir aku bisa meninggalkanmu keika kau menjadi keinginan hati?!"

Bersikeras lelaki itu bertaruh bahwa ia yang paling sakit. Dia yang harus menjaga keseimbangan dirinya agar kedua perahu itu tidak oleng, terbalik. Agar dia juga tidak kuyup oleh air laut karena dua perahu tersebut memutuskan membuangnya. Berkali-kali pula lelaki itu menganggap ialah yang memiliki luka paling banyak, sebagai kompensasi melindungi dua wanita. Dia percaya, dia dikutuk Tuhan untuk memiliki memar yang banyak karena sempat terlalu tamak. Maka dia pun bersedia menjadi yang paling sakit. Maka dia pun tak pernah rela jika wanita itu menganggap dirinya paling sakit ketika dia merasa dia lah yang pantas sakit.  "Aku yang paling luka." Begitu ucapnya.

Tak lelah wanita itu berdebat bahwa ia yang paling banyak menangis sampai dia kekeringan. Sampai kemarau. Sampai miskin air. Karena dia lah yang harus menjelma menjadi hantu. Yang harus menjadi pengemis pinggiran jalan. Tak terlihat atau tak dilihat. Ia harus menjaga lelaki itu dan dirinya sendiri agar orang tak sinis melihat mereka. Lebih baik membuat orang tak menyadari kehadiran mereka dibanding harus dilirik sinis. Begitu pikirnya. Dia tahu, Tuhan sudah murka karena dia mengambil milik orang lain tanpa permisi. Dia pencuri. Maka dia pun percaya dia lah yang paling sakit. "Aku yang menangis sampai kering." Begitu katanya.

"Kau enak! Ketika kau memutuskan melepas salah satu, kau masih bisa berpegang pada satu yang lain! Sedang aku? Ketika kau memutuskan melepasku, aku bisa apa selain mengapung sendiri diatas kapal dan buta arah!" Wanita itu mengamuk.
"Menurutmu begitu? Menurutmu aku bisa dengan mudah melepas salah satu? Kalau mudah, sudah daridulu aku lakukan! Kau tidak pernah terpikir jika kalian melepasku, aku kuyup dimakan laut?!" Balas lelaki itu dengan nada tak kalah tinggi.

Satu lembaran pada tumpukan skenario itu terus berdebat. Berisik. Menggema. Tanpa mereka sadar, ada lembaran lain pada tumpukan itu. Tak hanya lusuh dan usang tapi juga basah. Hampir sobek. Ada wanita lain disana sedang menggenggam payung. Berusaha melindungi lembaran skenarionya agar tak basah dari hujan air matanya sendiri. Tapi gagal. Wanita yang sebenarnya telah lama menempati tahta kesakitan tanpa perlu berdebat. Sebab ia yang terkhianat tapi tetap mencoba percaya. Ia yang tahu tapi harus berpura bodoh. Ia yang rela tapi belum juga ikhlas. Ia yang berusaha bahagia tapi tak bisa berhenti menangis.

Barangkali, wanita ini tokoh utama dalam cerita. Tapi dilupakan oleh lelakinya sendiri dan dianggap figuran. Yang sedih dan pedihnya tidak perlu dilihat. Barangkali, dia wanita yang lembar skenarionya tak boleh sobek demi jalannya sebuah cerita.

Wanita ini menggenggam erat ujung payungnya. Agar tak sobek lembar skenario oleh air matanya. Agar bisa selesai sebuah cerita. Barangkali ujungnya adalah tawa dia dan lelakinya. Tanpa ada tokoh wanita lain. Barangkali.


gambar diambil dari: www.merdeka.com

Monday, September 30, 2013

AHSENA

Mereka bilang, duniaku ini riuh. Banyak celoteh lalu lalang di sekitar. Banyak kisah berhamburan di pinggir jalan. Bahkan katanya, rumah-rumah di sekitarku juga berbicara. Tak jarang ada yang mengeluh dengan ramainya duniaku. Namun ibu bilang, aku ini spesial. Menurut ibu, sejak dulu aku mempunyai gelembung. Gelembung dimana tak banyak orang bisa masuk ke dalamnya. Gelembung ini membuat aku harus menikmati hingar-bingar kesunyian. Mendengar sepi yang berteriak.

Seperti biasa, aku menjaga warung milik ibu. Sejak awal, sudah kubilang bukan kalau tak banyak orang bisa masuk ke dalam gelembungku? Maka, ibu sengaja selalu menyuruhku menjaga warung. "Tak apa nak kalau tak ada yang bisa berada dalam gelembungmu, tapi setidaknya biarkan orang mendekati. Dipinggiran saja tak apa." Begitu menurut ibu.

Begitulah. Warung kami memang satu-satunya di sekitar daerahku. Banyak orang mampir untuk membeli sesuatu. Ya, mampir. Kalaupun ada yang bertahan cukup lama di warung, itu karena bertemu ibu dan mengobrol. Bukan bertemu aku. Tak ada seorangpun yang pernah mengobrol denganku selain ibu. Kecuali kalau kalian menghitung "Berapa mbak?" atau "Warungnya lagi ramai ya mbak?" dengan mulut dibesar-besarkan sebagai obrolan.

Setiap malam aku punya singgasana tersendiri di depan warung. Kursi tua dari bambu yang bentuknya saja sudah tidak jelas. Malam memang mempunyai nikmatnya sendiri bukan? Sunyi dan damainya membuat banyak orang jatuh cinta dengan malam. Kujamin tak hanya aku yang mencintai malam. Kalian mungkin akan tertawa, aku, orang yang sudah ada dalam gelembung sunyi masih juga mencari kesunyian. Aku sendiri juga kurang mengerti alasannya. Hanya saja, setiap malam banyak percakapan di kepalaku. Banyak sekali. Mereka berkeliaran.

Tak lama, seorang laki-laki dengan pakaian kantor yang tidak lagi terlihat rapi datang dan menunjuk sebuah rokok. Dia salah satu pelanggan warung kami. Maka dengan sigap, aku mengambil rokok yang diminta dan mengambil uang yang diulurkannya. Begitu setiap hari. Laki-laki itu selalu datang, lebih sering membeli sebungkus rokok saja meski kadang ditambah dengan sebotol air mineral. Tapi kali ini, setelah mengulurkan uang, dia duduk di singgasanaku dan dengan bahasa isyarat dia meminta kertas dan pulpen. Dengan segera aku mengambil yang diminta.

-Boleh saya duduk disini dulu?- Begitu tulisnya dan hanya saya balas dengan anggukan.

Sejak hari itu, setiap hari laki-laki tersebut selalu membeli sebungkus rokok terkadang dengan sebotol air mineral dan duduk di kursi yang aku anggap singgasanaku. Diam saja dan hanya berbicara dengan rokoknya. Barangkali saat ini dia sudah mengubah kepemilikan dari singgasana itu. Karena jelas aku menjadi tersingkir. Namun, setelah beberapa saat duduk, dia kembali berdiri dan mengulurkan selembar kertas padaku yang berada di belakang meja kaca.

-Saya sedang butuh teman cerita. Keberatan kalau kamu menemani?-

Dia memberi isyarat memintaku duduk di sebelahnya dan akupun mengikuti. Sepertinya dia sudah mulai bercerita. Aku tak tahu tentang apa. Gelembungku membisukan segalanya. Tapi raut wajahnya menggambar sesuatu. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Sesuatu yang sedih. Entah apa itu. Begitupun hari-hari selanjutnya. Seperti kebiasaan baru, dia akan bercerita tentang entah apapun itu dan aku mencoba mendengar raut-raut wajahnya sembari menerka. Sedih, kesal, gembira, bahkan kosong. Ya. Raut wajah kosong yang sampai saat ini  tidak pernah aku mengerti artinya.

Oh iya, namanya Ahsena. Nama laki-laki itu. Dia menuliskannya sewaktu pertama kali dia memintaku menjadi teman bercerita. Ah-se-na. Kalian tahu? Diam-diam aku sering menyebut namanya. Terlebih saat dia bercerita. Membaca raut wajah dan menyebut namanya, kemudian membayangkan ketika aku menyebut namanya, pemilik wajah yang lebih sering menatap lurus ke depan tersebut akan membalikkan wajahnya padaku. Tepat setelah aku menyebut namanya. Ahsena. Tapi tentu saja kalian tahu, hal itu tak pernah terjadi. Sesering apapun aku memanggil namanya, sesering itu pula gelembungku membungkam segalanya. Ahsena hanya terus bercerita tentang hal yang tidak juga aku ketahui.

Hari ini, Ahsena datang dengan membawa sesuatu. Sesuatu berbentuk undangan. Dia mengulurkannya padaku kemudian berbicara dengan ibu yang kebetulan berada di sampingku. Raut wajahnya berbicara kebahagiaan namun raut wajah ibu mendung. Mendung yang terlihat dipaksa bahagia. Kau tahu? Seperti tangis langit yang tetap mencoba menghadirkan matahari. Seperti itu. Tak lama, Ahsena pamit dan ibu memandang undangan yang kupegang. Sesegera kubuka undangan itu dan tak berapa lama muncul nama Ahsena di atas nama seorang wanita. Aku limbung, gemetar hebat. Ibu memelukku. Punggung Ahsena masih terlihat di seberang sana. Menjauh. Air mataku berteriak.

Ibu, sekali saja bu! Sekali saja pecahkan gelembungku! Sekali saja. Biar aku memanggilnya. Memanggil namanya dan dia berbalik. Itu saja, bu. Itu saja.

Tubuhku memanggil. Air mataku berteriak. Raut wajahku menyebut. 

"Ahsena."

Tapi gelembungku jauh lebih tebal dari yang kukira. Ahsena. Laki-laki itu sama sekali tak pernah berbalik.


Memanggil nama itu menjelma menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang membiasakan diri untuk tidak didengar.

Sunday, September 22, 2013

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan. 
Banyak.
Tetapi bibirku tersulam.
Tanganku mengejang.
Aksaraku kabur, berlarian ke segala arah.
Otakku sibuk mengumpulkan aksara, kemudian lupa mengingat.
Aku kaku.
Mati.

Monday, May 6, 2013

Seorang Miner Adalah Ksatria Diantara Banyak Pria

Apakah seorang miner berarti? Tak diragukan jawabnya adalah ya.
Lebih penting dan berarti dari pikiran kebanyakan orang.

Dia adalah ksatria diantara sekian banyak pria. Dia merupakan tulang punggung indusrti, seorang serdadu yang bertempur digaris depan setiap hari melawan musuh abadi umat manusia, rasa lapar, rasa sakit, dan rasa terabaikan.

Petani membajak lahan, dengan segala peralatan modern mereka, berawal dari tambang. Produk-produk yang dihasilkan seorang miner memberi makan dunia dengan harga yang bisa mereka jangkau.

Seorang miner ada dibelakang ruang operasi dokter. Semua metal yang membuat pisau bedah awalnya ada ditangan seorang miner. Mesin cetak bisa berputar karena miner telah menghasilkan bahannya dengan sekop dan pacul mereka. Surat kabar yang anda baca setiap hari, buku-buku panduan di universitas terlahir dari kegelapan disebuah penambangan.


Apakah seorang miner berarti? Tak diragukan jawabnya adalah ya.
Lebih penting dan berarti dari pikiran kebanyakan orang.

Miner seorang yang gagah berani. Dia pergi ketempat dimana sedikit orang yang berani kesana, dan dia melakukannya setiap hari. Dia menjalani hidup dalam bahaya, namun dia tak pernah mundur untuk menaklukkanya. Miner merasakan cucuran keringat dibahu mereka agar orang lain bisa hidup dalam kenyamanan. Tangan dan wajahnya bermandikan lumpur agar orang lain bisa hidup bersih.

Miner bekerja dimana sinar sang Surya tak pernah ada, dimana cahaya bintang tak pernah kelihatan, dengan tujuan menghasilkan cahaya yang bisa menerangi dunia. Metal yang diperlukan sebuah turbin raksasa dan kawat tipis yang menghasilkan cahaya pada sebuah bola lampu semua berawal dari tambang.

Dia adalah manusia biasa, namun dengan hati yang besar dan perasaan yang sangat mendalam, dia tidak malu untuk menangis pada saat tangisan diperlukan. Perasaan seorang penambang sedalam bahan galian yang dia cari. Saat memasuki “shaft” dia sadar sepenuhnya bahwa lelaki pemberani pendahulunya telah berkorban untuk membuat hal itu tercipta baginya.

Miner adalah pemuja sejati. Dia membangun rumah ibadah yang besar, monument dari satu keyakinan yang menjulang berabad-abad, bermula dari tambang batu dimana dia mengambil bebatuan untuk membangun fondasi dan dinding, agar orang lain bisa beribadah dengan khusyuk dalam ketenangan dan kedamaian.

Secara spiritual, miner hadir di tempat ibadah melebihi semua pendeta dan ulama. Pikirkanlah, siapa yang menciptakan plat perak dimana cawan suci diletakkan? Atau siapa yang mengambil dari perut bumi piala keselamatan dan penebusan yang terbuat dari emas?
Perhatian seorang miner adalah perhatian untuk sesama. Ingatlah hal itu lain kali anda mendengar bunyi dentang lonceng gereja atau bedhug masjid yang memberikan seruan kepada semua orang untuk datang dan berbagi dalam keyakinan.


Apakah seorang miner berarti? Tak diragukan jawabnya adalah ya.
Lebih penting dan berarti dari pikiran kebanyakan orang.

Negara-negara industri haus akan produk yang mereka hasilkan bagaikan seorang raksasa yang mencari di padang gurun. Tuntutan peradaban modern terus bertambah, bertambah dan bertambah.

Miner menjawab semua itu dan tak kan pernah mengecewakan kaumnya akan panggilan tugas mulia ini. Dengan kekuatan dan ketabahan sebagaimana layaknya bijih yang dia ambil dari perut bumi, miner memimpin dunia menuju masa depan.

Ditulis oleh: Herry Siswanto
Kota          : Tembagapura

Tulisan di atas adalah karya dari penambang yang Alhamdulillah ditakdirkan jadi orangtua saya. Tulisan ini dibuat dalam rangka "farewell party" setelah 24 tahun menjadi penambang yang lebih sering memotong-motong detik waktu di bawah tanah dibandingkan di atas tanah. Lebih sering pulang dengan lumpur di tubuh daripada rapi dan bersih selayaknya manusia pada umumnya. Begitulah.

Tuesday, February 26, 2013

Perihal Menemukanmu (Kembali)

source: http://www.123rf.com/

Perihal cinta yang bukan lagi sekedar urusan cinta. Perihal ikatan yang tidak cukup hanya berlandas rasa.

Cermin dihadapanku memantulkan bayangan pria dengan kaos lusuh rumahan, garis-garis keriput yang mulai terlihat jelas tanpa aku harus mendekatkan wajahku ke arah cermin dan helai-helai rambut yang kian memutih. Hidupku sudah panjang. Aku mulai mencarimu di sudut rumah yang seringkali kau gunakan selepas kau berkutat dengan alat-alat dapurmu, taman belakang rumah kita. Aku tidak menghampirimu. Aku hanya duduk di ruang keluarga kita yang hanya berbatas kaca denganmu. Sebab hari ini aku menyadari satu hal. Perihal aku yang menemukanmu kembali.

Kamu hanya mengenakan daster, dengan rambut dijepit yang juga mulai memutih.Berlaku selayaknya seorang psikolog yang setia mendengarkan kliennya, sebab anak gadis kita tengah bercerita entah tentang apa. Aku tak terlalu bisa mendengarkannya dengan jelas. Yang aku tahu, hidupmu sudah panjang. Tak lama anak lelaki kita pun menyatu dengan kalian. Dan keadaan menjadi penuh candaan renyah dari masing-masing kalian. Aku menemukanmu kembali.

Ikatan kita telah mencapai angka 20. Ikatan yang tidak cukup hanya berlandas rasa. Ya. 20 tahun. Dalam 20 tahun, aku pernah mencintaimu mati-matian. Jungkir balik. Dalam 20 tahun pula, aku pernah kehilanganmu. Kehilangan rasa padamu. Dan mati-matian berusaha mencintaimu kembali. 

Barangkali kamu tak pernah tahu rasanya. Rasa bersalah sebab terlalu teledor hingga kamu hilang dari rasaku. Barangkali kamu tak pernah tahu rasanya. Rasa berusaha menemukanmu kembali selama bertahun-tahun. Entah dengan cara apapun itu. Barangkali kamu pun tak pernah tahu rasa frustasi yang menghampiri karena hanya mampu menghargaimu selama beberapa tahun terakhir. Aku sempat sangat ingin mencintaimu dengan rasa yang sama besarnya dengan saat dimana awal ikatan kita bermula. Saat awal desir kalimat yang kuucapkan di hadapan banyak orang menjadi penanda bahwa kita satu.

Aku pernah mencintaimu mati-matian. Pernah mati-matian berusaha mencintaimu kembali. Dan kemudian, berhasil menemukanmu kembali dengan posisi yang pantas dalam hati. Berhasil menemukan aku kembali. Aku yang menjatuhkan rasa tepat dihadapanmu. Berhasil tertawa melihat tingkah-tingkah kecilmu. 

Telah beribu kanvas yang terpaku pada dinding-dinding kehidupan kita. Ikatan kita barangkali memang tidak hanya perihal rasa. Seharusnya sudah kupahami sejak awal.

Untuk 20 tahun ini, terimakasih telah membuatku menemukanmu kembali. Terimakasih telah menungguku kembali. Terimakasih telah bersama-sama menemukanku kembali.

Wednesday, January 2, 2013

Rel Pertemuan Semu

Reska

Kamu. Masihkah rela menengadahkan kepala pada langit malam untuk melihat sebaran cahaya kecil diantara gelap pekatnya? Bagaimana dengan malam nanti? Kurasa malam nanti, langit tak mampu menyajikan apa-apa kehadapan mu. Kecuali ribuan percikan cahaya warna warni yang memang dijanjikan menyala disaat yang sama. Barangkali bintang mu sembunyi di balik kabut asap hasil dari setiap pecikan itu. Masihkah kamu akan bersedia duduk lama pada loteng yang selalu memelukmu tiap malam, malam ini?

Hari ini, penghuni dunia akan ada dalam euforia yang sama. Aneh memang. Hanya untuk mengganti kalender lama yang sudah mulai lusuh di pojok rumah saja, mereka rela untuk repot-repot membuat rencana. Menukar pundi-pundi uang dengan terompet atau petasan yang tiba-tiba menjamur menjadi aksesoris pinggir jalan yang dijual.

"Kamu selalu saja sinis tentang semua hal yang menjadi euforia bagi semua orang." Komentarmu.
"Bukan sinis. Aku hanya heran dengan sikap orang yang latah." Aku membela diri.
"Biarkan saja. Toh, mereka senang dengan kelatahan mereka. Sama dengan kamu yang senang dengan arah berlawanan-mu."
"Bukan berlawanan arah, hanya saja merasa tak perlu untuk menghebohkan segala hal dengan berlebihan."
"Sudahlah. Kamu memang selalu seperti itu." Kamu menyudahi perdebatan.

Kamu mungkin tahu aku membenci tanggal ini. Selalu. Kamu mungkin tahu sejak fajar tadi aku sudah memaki matahari karena tak bersedia meloncatkan diri. Sehingga tetangga depan rumah pun sudah memulai meniupkan terompet yang menurutku miskin nada itu. Yang kamu tidak tahu, aku lebih membenci tanggal ini di tahun ini. Sebab atap langit kita berbeda. Sebab dinding kita adalah puluhan kota. Sebab memoriku merekam kepergianmu pada tanggal ini, di tahun lalu. Sebab sejak itu, kamu tak ada. Menghilang. Aku benci karena banyak sebab.

"Lo yakin mau nyamperin dia?" Tanya temanku. Dan hanya kubalas dengan menunjukkan karcis kereta yang menempel pada tangan kananku. "Bukannya lo bakalan tambah BT disana? Itu bukan tipe kota yang bakalan lo suka." Lanjutnya.
"Gue disana cuma semalem. Pagi gue balik. Jadi, gue nggak harus suka sama tu kota buat sampe disana nanti malem." Jawabku.
"Kalo lo kesana, lo harus janji datengin dia. Nyatain apa yang selama ini cuma lo biarin hidup di hati lo. Ini udah setaun, kalo lo nggak bisa juga, gue ragu lo laki-laki atau bukan." Ucapnya sambil menyelipkan kertas dengan dua baris tulisan. Suatu alamat.

Matahari mulai meredam sinarnya. Keretaku sore ini. Menurut jadwal, aku akan sampai di kotamu pukul 23.32 WIB. Kereta musim tahun baru. Mungkin seharusnya aku menamakannya seperti itu. Beberapa anak kecil meniup terompetnya disusul dengan omelan dari orangtua mereka. Di depan pintu kereta beberapa pedagang tidak lagi berteriak berbagai merek minuman atau makanan tetapi berganti dengan meneriakkan perlengkapan tahun baru. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.

15 menit sebelum terompet-terompet ditiupkan dengan brutal dan tanpa peraturan. 15 menit sebelum percikan cahaya warna-warni mengganti posisi bintang. 15 menit sebelum teriakan-teriakan sedikit buta nada menguadara. Aku sampai pada stasiun kotamu. Dengan secarik kertas berisi dua baris tulisan di kantong celana jeans. Aku keluar menelantarkan diri dipinggiran jalan dekat stasiun yang merupakan pusat kota ini dan disulap menjadi lautan manusia. Benar saja, beberapa menit kemudian terompet, kembang api, petasan dan segala hal bermusim tahun baru mengkolaborasikan diri menjadi kolaborasi abstrak dan dimainkan dengan tidak manusiawi. Di tengah malam.

Pandanganku terpaku, melihat ribuan percikan cahaya dilemparkan pada langit. Adakah kita melihat percikan yang sama? Carik kertas itu masih setia kubiarkan tertidur dalam saku celanaku. Barangkali hanya ini yang aku inginkan. Merasa bahwa kita satu langit. Dinding antar kita menipis. Bahwa aku dan kamu memiliki probabilitas untuk memandang cahaya yang sama. Aku tak butuh dua baris dalam saku ini. Begini saja sudah cukup. 

Pukul 02.00, lautan manusia menyurut. Malam mulai kembali normal selayaknya malam yang seharusnya. Aku kembali ke dalam stasiun. Menunggu kereta kepulanganku. Pukul 07.00 pagi nanti.

Di kotamu, aku akan menulis....
Aku cinta.

Gea

Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukmu, bukan? Euforia yang dinikmati dan dinanti banyak manusia di muka bumi ini adalah satu hal yang tidak pernah kamu nikmati. Satu hal yang seringkali kamu maki. Ah, aku masih mengingat bagaimana setiap tanggal ini aku harus mendengar rentetan panjang kicauanmu.

Euforia ini tidak membuatku membenci prgantian kalender. Meskipun setiap malam ini, langit yang tak pernah absen aku pandangi harus terkontaminasi sebaran cahaya warna-warni yang dilemparkan banyak orang. Tidak, aku tidak pernah membenci euforia ini. Pun tidak juga menyukainya. Setidaknya aku merasa tidak perlu menambah-nambahkan makianmu.

"Kamu mau kesana?" Tanya sahabat yang menemaniku sejak di kota ini.
Aku mengangguk yakin. "Udah pesen tiket dari kemarin-kemarin. Besok pagi langsung balik kok. Nggak bolos kantor."
"Terus mau ngapain kalau cuma langsung balik? Gunanya apaan?"
"Nggak tahu. Rasanya hanya ingin ada di kota itu saja." Sampai saat ini akupun tidak tahu apa tujuanku untuk datang ke kota itu dimalam nanti. "Dia benci euforia macam ini. Aku rasa aku harus disana untuk sekedar merasa mendengarkan rentetan kicauan makian darinya."
Disini, langit warna warni. Apa kamu melihatnya? Terompet yang kamu bilang miskin nada itu berbunyi berkali-kali. Apa kamu mendengarnya? Mungkin tidak, karena kamu jelas-jelas mencintai keberlawanan arahmu. Pukul 23.00 tadi, aku sampai di kota kita. Sedikit berharap kita berbagi pemandangan yang sama. Di kota yang sama. Stasiun ini musim tahun baru. Sekali saja, tenggelamlah bersama euforia ini. Agar aku merasa kamu ada. Disampingku. Sebab aku tak tahu alasan aku membunuh beratus-ratus kilo untuk berada di kota kita dengan pakaian kantor yang masih lengkap, selain sekedar ingin merasa bahwa tangan-tanganmu memelukku.

Aku kembali ke dalam stasiun setelah langit mulai pekat kembali. Pukul 05.00 nanti, akan ada kereta kepulangan yang menjemputku.

Di kota kita, aku akan berbisik....
Aku cinta.