Pages

Monday, February 28, 2011

Kampus Saya Pernah Menjadi Surga

Beberapa hari yang lalu, kampus saya adalah SURGA bagi mahasiswanya ...

Kampus saya sempat menjadi menyenangkan untuk segala civitas yang berada didalamnya. Bukan karena perubahan besar. Bukan. Bukan karena fasilitas yang bertambah. Bukan itu. Hanya sebuah acara sederhana. Sesederhana kalian memaknai acara tersebut. Acara yang mengakrabkan kita kembali dengan permainan masa kecil. Acara PETASAN

Sungguh bukan hal besar bukan? Hanya sesimpel itu. Bahkan saya pun tak menyangka akan ada acara sesimpel itu di kampus. Tempat yang dipandang sebagai tempat yang dipenuhi dengan intelektualitas mahasiswanya. Terkadang lucu, memikirkan bahwa banyak orang yang mencoba membuat hal-hal besar sebagai tanda kesuksesan, sedangkan ternyata sekelompok lain memilih kesuksesan dalam kesederhanaan yang mereka perjuangkan.

Udahlah, intinya kampus saya benar-benar menyenangkan dalam 2 hari. Banyak tawa, banyak canda, banyak interaksi, banyak pelajaran, banyak kerinduan. Ya, sesekali kita memang harus kembali belajar pada anak-anak kecil. Tentang bagaimana cara tertawa, menikmati hidup, apa adanya tanpa topeng yang harus dimunculkan saat orang memandang kita.

Rindukah kalian pada diri kalian sendiri? Belajarlah kembali pada anak-anak kecil itu. Rindukah kalian tertawa tanpa beban? Lihatlah kembali masa kecil kalian. Rindukah kalian bermain tanpa mempedulikan status kalah atau menang? Kenanglah lagi permainan masa kecil kalian.

Sunday, February 27, 2011

Aku Hadir, Meski Tak Ada

Jangan pernah tanyakan keberadaan ku. Aku memang tak pernah ada. Aku hanya selalu hadir. Meski pada akhirnya mencoba untuk selalu bersembunyi. Bersembunyi darimu, duniamu dan hidupmu. Hingga aku meyakini, kau takkan pernah tau bahwa aku selalu hadir, meski memang tak pernah ada.

Pahamilah. Pahamilah bahwa aku sedang mengakhiri tanpa pernah mencoba untuk memulai. Aku mengakhiri aku, sebelum mencoba memulai menjadi kita. Kita memang tak memiliki awal. Takkan pernah. Dan aku sadar sepenuhnya untuk itu. Kau telah memulai awalmu lebih dulu. Kau telah mengambil beberapa langkah pasti meninggalkan awalmu. Sedang aku? Aku bahkan belum sampai pada lokasi awal lintasanmu.

Jangan berpaling. Jangan kembali. Jangan mencari keberadaanku. Jangan biarkan aku menggantungkan harapan didepan mata. Karena aku tau pasti, ketika semua hal itu terjadi maka aku takkan memiliki kekuatan untuk tidak bergegas berlari menuju lintasanmu. Menuju awalmu. Jangan ulurkan tanganmu. Karena aku takkan memiliki kemampuan untuk menolak genggamanmu.

Tetaplah pada posisi mu. Silahkan berlari, berjalan atau beristirahat sejenak asal kau tetap pada posisimu. Posisi tanpa aku. Tetapkan pandangan pada tujuanmu. Tujuanmu yang jelas-jelas bukan aku. Lalu aku akan menjadi salah satu penonton. Bersembunyi dibalik beberapa penonton lain. Memberi semangat ditengah teriakan penonton yang memberi mu semangat.

Takdir memang seperti ini. Aku hanya ditakdirkan untuk hadir, dan bukan ada. Takdir memang seperti ini. Mengharuskan kau ada dalam lintasan, sedang aku hanya cukup duduk pada tribun hidupmu.

Friday, February 25, 2011

Sudah Cukup Denganmu Saja

Untuk transformasi dari perwujudan rasa, sang ekspektasi yang sungguh menganggu. Tidak cukupkah hanya berbagi dengan dirimu, Rasa? Tidak cukupkah bertahan hanya denganmu? Jangan bertransformasi ke dalam bentuk lain, apalagi bentuk ekspektasi. Jangan pernah! Aku tidak memerlukan keberadaan ekspektasi. Aku memang sedang sengaja memenjarakan asa.

Berulang kali ku peringatkan agar kau tidak bertansformasi menjadi ekspektasi. Bukan karena teori kesempurnaan yang kuanut. Atau karena perlindungan hati yang memang ku perkuat. Bukan karena itu. Ini tentang rasa  ketercukupan ku. Cukup dengan wujud mu saat ini. Cukup kau dan bukan bentuk transformasimu.

Pernah aku mencoba membuat logika mengingatkan hati. Tapi pada takdirnya mereka memang bukan hal yang dapat dengan mudah untuk dileburkan. Mereka berada pada dua sudut pandang yang terkadang memiliki perbedaan yang signifikan. Hati tetap memilih bergantung pada rasa ini. Dan logika hanya mampu menahan gerak tubuh ataupun pikiran, agar merasa cukup. Cukup dengan pemilik tunggal hati, Rasa. Tanpa harus bergandengan dengan ekspektasi.

Rasa, aku tak meminta masa depan padanya. Sudah cukup denganmu saja. Aku tak meminta kepastiannya. Sudah cukup dengan keberadaannya saja. Jadi, tolonglah jangan mengahadirkan ekspektasi dalam arah mu.

Sunday, February 20, 2011

Dia Pusat Kebahagiaan

Mari bicara tentang Dia. Dia yang menjadi pusat kebahagiaan. Dia yang hidup sebagai poros kehidupan. Dia yang menjadi pemilik sebagian besar hati sampai saat ini. Dan mudah-mudahan sampai seterusnya.

Dia wanita tangguh. Bukan, Dia bukan wanita yang tidak menangis saat masalah menghadang di tengah perjalanannya. Dia wanita yang tetap mampu menegakkan badannya, berdiri dengan tegak dan berjalan seperti biasa setelah air mata selesai menunaikan tugasnya. Dia wanita sabar. Bukan, Dia bukan wanita yang sama sekali tidak pernah mengeluarkan amarah yang ada pada dirinya. Dia wanita yang tetap bersedia berada pada hari-harinya. Pun ketika hari-hari tersebut seperti menusuk nya perlahan.

Aku pernah bertanya, seperti apakah bentuk cinta sejati. Seberapa nyata keberadaannya. Dan ternyata Dia lah bentuk cinta sejati. Tanyakan padanya tentang bagaimana Dia mencintai orang lain, maka itulah bentuk cinta sesungguhnya. Dia adalah mahacinta.

TUHAN, jangan gantikan Dia dengan apapun yang ada pada dunia ini. Karena sungguh aku tak  mengharap apapun selain kehadiran Dia.

Maaf untuk kalimat sayang yang belum pernah terucap, Ma. Anggaplah tulisan ini sebagai bentuk pengganti dari kalimat itu, walaupun aku tau mama belum tentu akan membacanya kan? Biarlah. Aku hanya ingin menuliskan.


Saturday, February 19, 2011

Salam Hangat, Kemewahan Ranu Regulo

Inilah kemewahan mu. Kemewahan yang dihadirkan dalam satu kesederhanaan. Inilah yang kau pilih sebagai bagian dari perjalanan mu. Inilah yang kau pilih sebagai santapan mu. Inilah yang kau pilih sebagai tirai penutup akhir perjalanan mu.

Pijakan ku dimulai pada titik tanah ini. Titik tanah yang berujung pada sang mahapuncak. Anggaplah aku bodoh karena menggiring kaki di tempat ini. Anggaplah aku gila karena menuntun hati mengiyakan keinginan mencari keindahan yang sering kau gambarkan pada kanvas percakapan kita. Tapi disinilah aku. Tepat pada tempat yang selalu kuhindari. Tempat yang mengharuskan kerelaan untuk ku telan dalam hati, agar tak merasa terlalu sakit. Terlalu kehilangan.

Tempat ini seperti dilukis dengan sempurna. Dengan campuran warna terbaik dalam tekstur kanvas paling tepat. Aku memang tak henti berdecak kagum untuk sang objek yang tertangkap oleh indera penglihatan ku. Ladang yang mampu menahan diri untuk tetap berada pada tempatnya meski dalam derajat kemiringan yang hampir mustahil menjadi tempat pijakan. Tempat ini seperti menjadi tempat persinggahan saat awan merindukan tanah. Saat awan sedang tidak bersedia berada di atas.

Biarkan sedikit aku ceritakan padamu. Walaupun aku tau kau jelas-jelas lebih mengenal tempat ini daripada aku. Kau jelas-jelas telah mencerna segala hal disini secara perlahan sekian lama. Tapi biarkan aku sedikit bercerita dan membenarkan pernyataan mu dulu. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam kasur mewah mu disini. Begitupun dengan ku sekarang. Kasur berupa lapisan tanah. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam kehangatan disini. Begitupun dengan ku sekarang. Kehangatan yang timbul dari himpitan 6 orang dalam tenda. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam rumah mewah mu disini. Begitupun dengan ku sekarang. Rumah yang bukan terbuat dari susunan batu bata, tapi justru dari sebuah bahan parasut. Kau benar, kau memang selalu memiliki kesempatan mempunyai halaman indah disini. Bagitupun dengan ku sekarang. Halaman yang bukan hanya diwarnai oleh hijau, tapi juga dihias oleh danau. Kau benar, kau memang selalu dikelilingi sang akrab disini. Begitupun dengan ku sekarang. Akrab yang hadir ditengah nama keasingan, benar-benar asing, tapi ternyata mampu diikat oleh sang akrab menjadi satu kesatuan. Kau benar, disini selalu seperti menjadi sebuah keluarga. Bahkan untuk mereka yang asing. Kau benar dalam segala hal tentang tempat ini. Kau memang juara dalam melukiskannya dengan kata. INI, KEMEWAHANMU. Dan sekarang, ini menjadi kemewahanku.

"Apa alasan mu mencintai gunung?" Tanyaku.
"Mencintai gunung itu berarti bersedia menelan habis konsekuensi." Ucapmu dulu. "Kau tau itu sulit, bahaya dan melelahkan, tapi tetap saja tak mampu menahan kaki untuk menghentikan langkahnya agar sampai pada puncak keindahan."
"Dan kau memilih menerjang konsekuensi untuk keindahan itu?"
"Hidup selalu seperti itu, sayang. Segala keindahan memiliki konsekuensi. Dan ini adalah salah satu caraku menjalani hidup. Pagar konsekuensi itu yang menjadikan keindahan gunung berharga. Sama sepertimu, yang mampu membuatku yakin untuk menelan habis konsekuensi."

Ini adalah percakapan terakhir sebelum akhirnya kau benar-benar pergi tanpa akan kembali. Sebelum akhirnya puncak dari segala konsekuensi kecintaan mu pada gunung mampu merenggut keberadaan mu dariku. Sebelum akhirnya aku harus mengolah rasa menjadi zat-zat kerelaan melepasmu.

Kau benar, segala keindahan memiliki konsekuensi. Dan aku pun menelan habis konsekuensi untuk kecintaan yang kujatuhkan padamu.


-Salam hangat, Ranu Regulo. Tetaplah dalam kemewahanmu.-

Thursday, February 10, 2011

Dia yang Sempurna

Terimakasih untuk kesempurnaan. Untuk baris abjad yang mampu mendeskripsikan Dia. Untuk Dia yang tidak selalu indah namun tetap terlihat sempurna. Terimakasih untuk membuatku mampu mematahkan paham bahwa tak ada yang sempurna. Karena pada nyatanya, Dia wujud kesempurnaan. Tuhan tau bagaimana aku memujanya. Sistem otak tau seberapa banyak ku gantungkan namanya pada benang-benang memori.

Ya. Aku memang akan berbicara tentang Dia.

Dia memiliki banyak kata "IYA" untuk diberikannya padaku. Bahkan aku seperti hampir tidak memiliki kata "TIDAK" darinya. Dia terkadang membangunkan ku dengan satu belaian, satu kecupan dan nada yang sama. Dia selalu mampu menemukan hal-hal yang bisa membuatnya bangga padaku, bahkan ketika aku jauh dari ekspektasi nya. Dia masih berusaha menggendong ku dengan senyum mengembang dan bahan candaan yang tetap saja dilontarkan. Seperti aku bukanlah beban berat bagi nya. Seperti aku adalah anak kecil yang memang masih pantas menerima gendongan darinya. Dia yang memiliki banyak jawaban dari banyak pertanyaan yang aku ajukan. Percayalah, aku masih terus bertanya-tanya darimana jawaban-jawaban itu selalu mampu Dia suguhkan dan selalu mampu memunculkan rasa kagum ku untuknya. Dia yang meletakkan rasa percaya dengan sangat yakin untukku. Dia yang menularkan ku kecintaannya pada buku. Dan aku selalu mensyukuri itu. Dia selalu menganggap ku belum cukup dewasa untuk dilepaskan, bahkan ketika semua orang menganggap ku pantas untuk dilepaskan. Dia seperti mengabadikan ku dalam frame sosok yang akan selalu kecil di matanya. Tapi sungguh, aku tak berkeberatan. 

Dia yang menanamkan ide untuk selalu menjadi wanita yang kuat dan mandiri sekaligus mengingatkan ku akan kodrat.  Kodrat yang mengharuskan ku mengabdi pada lelaki lain. Kodrat yang menurut Dia adalah menjadikan Dia bukan lagi orang yang harus didahulukan. Kodrat yang akhirnya kepemilikan nya atas aku harus diserahkan dengan suka rela pada lelaki lain. Kodrat yang semakin lama seperti ingin ku kutuk atau ku kurung di menara tertinggi tanpa pintu, jendela atau bahkan ventilasi. Karena nyatanya, Dia dan pasangannya adalah orang yang selalu ingin aku dahulukan. Tapi kodrat membuat ku pada akhirnya tidak lagi bisa mendahulukan mereka.

Sudahlah, jangan berdebat tentang kesempurnaan. Aku memang tidak menganut asas kesempurnaan yang sama dengan kalian. Dia masih tetap memiliki celah. Dia tetap dengan salah. Dia tetap berkekurangan. Tapi aku tidak menganut asas kesempurnaan kalian yang tanpa celah, salah dan kekurangan. Aku menganut asas kesempurnaan yang terbentuk karena tidak sempurna. Jadi, biarlah Dia tetap sempurna.

Dia lah pemilik cinta sejati. Dia lah penggenggam ketulusan. Dia lah penganut kerja keras. Dia lah kesempurnaan.


-Untuk Dia yang kupanggil Ayah-

Tuesday, February 8, 2011

Untitled

Ini bukan tentang kamu ..
Ini tentang aku memandang kamu ...

Monday, February 7, 2011

Irama Dalam Pendar Cahaya

"Tememin aku ke taman bukit ya?" Ajaknya saat sore tadi.
"Ngapain?"
"Lagi pengen. Temenin ya?" Tanyanya ulang dan kubalas dengan anggukan kecil.

Aku tau, kalimat tersebut bukanlah sebaris jawaban. Kalimat tersebut lebih pantas disebut sebagai pintu yang menutup permasalahannya. Kalimat tersebut adalah batas wilayah dimana aku bisa ikut serta dalam hidupnya. Kalimat tersebut adalah garis batas.

Suasana malam di kota ini didampingi awan langit yang sepertinya tertarik merasakan gegap gempita individu ketika mencari keberadaan bahagia dan tawa. Paling tidak, di sudut kota ini, Taman Bukit. Taman yang mempersilahkan sang awan langit menularkan sedikit rasa dinginnya di tengah hangat individu yang berbahagia.

Aku dan dia memilih duduk pada satu cafe dengan pemandangan kota sebagai beranda. Dia diam, begitupun dengan ku. Dia memandang kota yang samar tertutupi kabut putih, sedang aku memandang dia. Mencoba menerka pikiran apa yang mendiami otaknya tapi tak pernah tersampaikan lewat ucapnya padaku. Memang terlalu sering seperti ini. Dan aku selalu gagal dalam menerka. Hingga aku pun tau, aku hanya perlu duduk dan diam. Sampai dia bosan dimakan sepi. Atau jengah dimakan tatapanku. Kemudian, kita pulang tanpa ada yang dibagi denganku kecuali rasa penasaran.

Sang awan langit perlahan menarik diri dari gemerlap kota seiring dengan detik yang mengitari angka di sekelilingnya. Perlahan pemandangan itu datang. Pendar cahaya dari kota terlihat jelas tanpa tersamarkan oleh sang putih. Gegap gempita individu yang menikmati malam semakin jelas. Tapi dia tetap saja dalam diamnya. Penglihatannya tetap saja terpaku pada beranda kota malam ini. Aku tetap saja duduk. Di sampingnya.

"Inget aku pernah bilang apa tentang lampu kota dari sini?" Ucapnya menghapus hening dan ku balas dengan anggukan.

Dia memandang pendar cahaya yang disuguhkan oleh kota sebagai beranda dari cafe di Taman Bukit ini layaknya suatu irama. Layaknya suatu irama, setiap bagian memiliki perbedaan porsi saat disajikan. Tidak terlalu indah jika hanya disajikan satu persatu. Karena semua dalam kesinambungan. Dan akan indah dalam suatu kesatuan.

"Jadi kenapa kamu selalu terpaku melihat hal yang kamu anggap irama itu?" Tanya ku tidak mengerti.

Aku memang tidak bisa menjadi seperti lelaki ini. Kepekaan indera penglihatannya yang kemudian disalurkan ke hati dan di alirkan ke otak untuk kemudian di proses menjadi baris, bait, atau paragraf yang disajikannya ke dunia nyata memang tidak pernah bisa ku miliki. Dan jujur saja, otakku harus melumat dengan keras untuk tiap kata hasil pemrosesan indera nya tersebut. Meski akhirnya dia selalu berhasil membuat mulutku berdecak kagum pada hasilnya. Dan memoriku dengan bangga mengingat untuk kemudian diputar ulang kembali.

Menurutnya hidup itu seperti ini. Seperti pendar cahaya yang disajikan saat ini. Indah. Karena tersajikan seperti kesatuan. Seperti irama. Menurutnya bagian hidup itu tidak indah. Hanya seperti melihat satu titik lampu. Hanya ada kata terang, gelap, atau terkadang remang-remang. Menurutnya, kesatuan hidup lah yang indah dimana terang, gelap atau remang-remang berada pada porsinya masing-masing dan menjadi satu kesatuan. Lagi-lagi seperti irama. Beranda kota ini membantu otaknya dalam memproses hidup. Pendar cahaya itu membuat dia memilih untuk memandang hidup dalam posisi yang sama seperti ketika dia memandang pendar-pendar cahaya tersebut. Memandangnya sebagai satu kesatuan dan bukan per bagian. Masalah dalam hidup adalah bagian gelap dari lampu dan dia tau akan ada banyak terang yang mengikutinya.

"Terus? Kenapa kamu harus selalu ditemani?"

"Kamu duduk disini adalah tanda bahwa aku tidak sendiri. Tanda bahwa ada terang yang harus kuperjuangkan untuk bersandingan dengan gelap atau remang-remang. Kamu duduk disini sebagai pengingat alasan kenapa aku berjuang."


30 Januari 2011
-Cafe Hantu, Batu Night Spectacular, Malang-