Pages

Monday, December 17, 2012

Deru Rindu

Aku ingin lari ke hadapanmu. Barangkali dengan cara itu rinduku habis, berceceran di sepanjang jalan. Rindu yang tak jarang menderu layaknya ombak menabrakan diri pada bibir pantai. Inginku merengkuhmu. Entah dalam rengkuhan nyata atau sekedar merengkuh dalam pandangan. Paling tidak, biarkan rinduku menyentuhmu. Agar ia tak meronta lagi. Tali jarak ini, bisakah kupotong agar langkah kita dekat? Sebab, sejak sepi menajamkan rindu, aku kesakitan. Kesakitan yang terus menerus. Kita harus bertemu. Meski sesingkat titik embun merasakan sinar surya.

Sejak rindu belajar mengeja aksara, baris namamu yang ia tahu.

Sunday, December 16, 2012

BORNEO MALENGGANG






KOMUNITAS BORNEO MALENGGANG
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia





Sejarah Berdiri

Maret 2011         : Tim Tari Gede-gede
Maret 2012         : Tim Tari FPSB UII
September 2012  : Komunitas Borneo Malenggang



Saya percaya, setiap orang memiliki tim solidnya sendiri-sendiri. Dan saya tahu, saya punya kalian.









Terimakasih sudah menjadi satu tubuh yang lengkap dan melengkapi, menjadi tempat berlari untuk melepas kegilaan-kegilaan dan untuk tawa yang sudah bersedia digaungkan ditengah-tengah kita.





Terimakasih untuk setiap pelajaran dan pengalaman yang dibagi bersama, telah berusaha untuk menampilkan yang terbaik yang bisa dilakukan dan untuk semangat yang semoga bukan hanya ucapan tapi juga tindakan.








SELAMAT DATANG KOMUNITAS BORNEO MALENGGANG

SEMOGA PANJANG UMUR BORNEO MALENGGANG

Thursday, December 13, 2012

Kanvas Abu-Abu

Satu hari, aku pernah membayangkan bagaimana jadinya bertemu denganmu di masa ketika semua hal sudah berbeda. Keadaan, rasa, rindu yang tidak lagi berwujud sama. Yang telah lebur, mencair dan pergi mengalir pergi tak terarah. Akan jadi seperti apa kita? Barangkali hanya saling senyum yang tidak bisa dibilang ikhlas. Barangkali hanya mengucap sedikit sapa yang tidak bisa dibilang akrab. Barangkali hanya sama-sama gagu untuk memulai.

Warung makan itu. Warung makan sederhana. Kecil. Bukan restoran mewah, atau cafe tempat orang berkumpul. Hanya warung makan, yang akhirnya bersedia menjadi tempat mewujudkan bayangan yang selama ini hanya hidup dalam pikiranku. Yang menjawab semua pertanyaan "bagaimana jika". Dan menghapus pernyataan "barangkali".

"Dunia itu lebih banyak daerah abu-abu." Ucapmu dulu di percakapan kecil kita.
"Mana mungkin? Dunia itu hitam dan putih. Segala hal bisa dipastikan. Baik, buruk, mudah, sulit. Segalanya. Segalanya memiliki posisi masing-masing. Segalanya bisa dikategorikan." Bantahku.
Kamu tersenyum tipis. "Yang kamu lupa adalah, abu-abu pun adalah posisi. Abu-abu pun adalah kategori."
"Tidak pernah ada posisi yang ragu-ragu, ndra. Kamu akan selalu bisa menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Tidak pernah ada yang abu-abu."
"Itu dunia menurut pandangan ideal, risa. Pada kenyataannya dunia ini tidak masuk akal. Akan selalu ada abu-abu. Selalu."

Beberapa purnama telah terlewat sejak percakapan kecil kita tentang zona abu-abu. Tentang keragu-raguan. Tentang ketidakpastian. Beberapa lembar lukisan langit jingga telah terlewat sejak kita tidak lagi tentang kita. Ribuan embun pagi hari pun telah terlewat sejak aku dan kamu memiliki garis dan cerita yang telah kita tulis sendiri-sendiri. Dan aku masih tetap memandang bahwa dunia ini hanya ada dua pilihan. Bukan tiga.

Untukmu, aku sudah menggoreskan deret namamu pada kertas hitam dengan tinta warna hitam. Untukmu, aku sudah menyiapkan dan meletakkanmu di tempat sampah memori untuk sedikit mengesampingkanmu dari rekaman ingatan ku. Untukmu, aku sudah mematikan rasa. Untukku, semua tentangmu sudah ku pastikan. SEMUA.

Hingga pagi ini datang dengan ramah. Mengetuk dengan pelan dan mengantarkan hangat seperti yang biasa dia lakukan. Tak ada yang berbeda. Sampai aku duduk di warung sederhana. Sendiri. Dan tak berapa lama ada sosok yang dulu sempat sangat aku kenal. Suara yang sangat akrab dengan telingaku, kamu. Tapi tidak lagi sendiri. Dan segala hal menjadi kabur. Abu-abu.

Aku mengalihkan pandangan. Mencari tempat mataku menatap, apa saja asal bukan kamu. Aku mempercepat mengosongkan piring dihadapanku. Meminimalisir waktu untuk tidak berlama-lama berada disini. Aku berusaha tak terlihat, minimal olehmu. Dan sedikit perasaan lega karena aku terlewat darimu. 

Tiba-tiba, ponselku berbunyi.

Sendiri aja?

Iya.

Ooh. Selamat makan.

Dan aku tak yakin lagi untuk membalasnya.

"Indra." Aku memanggilmu sesaat setelah membayar pesanan. Sekedar mencoba baik-baik saja.
"Ris. Sendiri aja?" Kaget. Atau mungkin tepatnya pura-pura kaget. Kamu mengulang pertanyaanmu persis seperti pesan singkat yang tadi kubaca. Gugup. Gagu. Dan sama-sama tersenyum kaku.
"Iya. Duluan ya?" Aku mencoba tersenyum paksa. Kepadamu dan wanita disebelahmu.
"Iya. Hati-hati." Jawabnya yang hanya kubalas dengan senyuman.

Aku terduduk di dalam mobil. Diam. Membiarkan detik-detik berjalan. Otakku membuatmu ada dalam daftar yang kutulis di atas lembar kanvas hitam. Tapi degup jantung tak beraturan tadi, membuatmu menjadi abu-abu. Aku ragu-ragu. Mencoba mencari dimana kamu sebenarnya tapi tak juga bisa kupastikan. Siang ini, langit abu-abu. Guntur berteriak. Awan memecah isinya. Aku tak juga bergerak.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi kembali.

Ini hujan. Jangan ngebut-ngebut. Nama Indra lagi-lagi tertera sebagai pengirim.

Iya. Kamu semoga langgeng sama dia.

Seandainya kamu yang ada disini sekarang. Sayangnya, kamu tak pernah bisa aku tebak. Tak pernah bisa ku pastikan. 

Tubuhku gemetar. Aku lunglai. Tapi mencoba menyalakan mobil dan bergegas pergi dari tempat ini. Menjauh. Menjauhkan bayangmu.





Keragu-raguan ini menakutiku. Kanvas milikmu, abu-abu.



"Sebab kamu disana. Menjadi daerah abu-abu ditengah hitam dan putih. Menjadi satu kemungkinan yang tak kunjung bisa dipastikan."

Tuesday, September 4, 2012

Sembunyi

Sayang, nyanyikanlah syair lagu itu. Karena di celah nadanya aku sembunyikan rasaku. Sayang, hanyutlah pada lautan tulisan itu. Karena di antara baris-barisnya aku sembunyikan rinduku. Sayang, pandangilah balutan warna pada kanvas itu. Karena di balik cerahnya aku sembunyikan cemburuku.

Sayang, semisal ikatan waktumu sedikit melonggar dan kau memiliki cukup ruang untuk bergerak, temukanlah mereka. Temukan mereka yang aku sembunyikan darimu. Sebab aku tak memiliki cukup keberanian untuk meletakkan mereka diatas nampan dan menyuguhkannya dihadapanmu.

Sayang, temukan aku. Sebab aku telah sesak di desak rindu. Sebab aku telah sesak dihimpit rasa. Sebab ada baris kata yang ingin kubisikan tepat didekatmu.

"Aku mencintamu, pasti."

Tuesday, August 28, 2012

Menyelipkan Kenangan

Akan ada saatnya, ketika bertemu satu sama lain bukanlah  merupakan hal yang mudah dilakukan. Maka temui aku dalam kenanganmu.  Kenangan yang akan aku simpan dalam amplop mungil berwarna biru muda dan aku selipkan dalam butiran memorimu. Berharap akan dengan mudah kau temukan dalam tumpukan kenangan lain, karena biru muda adalah warna favoritmu.

Kepadamu, aku ingin menyelipkan secarik kenangan yang akan menggariskan senyum ketika kau baca. Yang akan membuatmu sedikit melamun ditengah waktumu menyesap pahit kopi. Atau mungkin yang akan berkelebat saat kau berada di sekitar teman terbaikmu.Di masa depan. Kenanglah kita. Dalam ingatan terbaikmu dan dengan senyum paling bahagia.

“Jalan yuk!” Ajakku dari seberang telepon mu.
“Mau kemana?” Jawabmu.
“Nggak usah banyak nanya. Jemput aja dulu, ntar baru aku kasih tau mau kemananya.”
“Dih? Ni anak ……”
Telepon sengaja segera kututup sebelum terlalu lama mendengar banyak alasan darimu dan segera menggantinya dengan mengirim pesan singkat.

Buruan mandi! Abis itu jemput aku. Oke? Jangan kelamaan, keburu siang.

Brisik! Iya, bentar.

Aku mengenalmu dengan baik. Sangat baik. Dan itu membuatku tahu bagaimana cara menanganimu. Sebut saja seperti itu. Meski dengan banyak omelan, toh kau pun akan datang juga akhirnya.

“Mau kemana sih? Pagi-pagi udah ribut.” Tanyamu ketika berada didepan rumah ku.
“Keliling kota. Kita tourist-day ya?” Aku mencetuskan ide gilaku. Meskipun sebenarnya tidak terlalu gila.
“Gila! Mau ngapain sih?!”
TOURIST-DAY! Udaaah, ikutin aja sih. Pokoknya kita keliling kota dan aturannya cuma satu, berlagak jadi turis. Titik.”  Jelasku sambil menekankan kata ‘turis’.
“Male…….”
“Ayok buruan berangkat, keburu panas.” Paksaku sambil mendorongmu keluar dari halaman rumah.

Inilah salah satu hal yang akan aku masukkan dalam amplop mungil berwarna biru muda yang nantinya akan kau miliki. Berlibur. Menjadi turis di kota sendiri. Menelusuri jalan yang  mungkin setiap hari kita susuri. Berdua. Mengabadikan momen dalam sebuah jepretan kamera di depan bangunan khas kota ini yang mungkin sudah bosan kita lihat. Menyecap makanan pinggir jalan  yang lagi-lagi telah kita lewati berkali-kali. Tapi disinilah kita. Melakukan hal-hal yang biasa dengan cara yang tidak biasa.

“Dapet darimana ide kayak gini?” Kamu membuka percakapan ketika kita menapak langkah di salah satu jalan di kota ini.
“Dari sini.” Jawabku sambil menunjuk kepala. “Kita nggak mungkin punya waktu untuk liburan sama-sama keluar kota. Jadi, kita harus bisa liburan sama-sama di kota sendiri.” Lanjutku.
Kamu tertawa terbahak-bahak. “HAHAHAHA. Dalam rangka apaan?” Tanyamu lagi setelah berhasil menghantikan tawamu.
“Nggak ada. Di masa depan nanti, belum tentu kita punya waktu buat liburan sama-sama. Jangankan liburan, ketemu aja mungkin udah susah.”
“Emang kamu mau kemana?” Ada garis khawatir di wajahmu. Terlihat. Meskipun aku tau kau berusaha menyembunyikannya.
“Belum tau. Tapi kemanapun aku, kamu. Dimanapun kita, disini atau di tempat lain. Kita akan punya kehidupan masing-masing, kan?”
“…”
“Makanya itu, kita harus liburan sama-sama. Sebelum kehabisan waktu.” Ucapku sambil tersenyum.

Ada banyak tawa yang kita gantung di sepanjang perjalanan kita hari ini. Ada banyak warna yang kita gariskan. Ada banyak celoteh yang kita rekam dalam-dalam di kaset memori. Ada banyak gambar yang terabadikan. Hari ini.

“Aku udah pernah bilang kan kalo kamu teman terbaikku?” Kali ini aku membuka pembicaraan di sela-sela kita menyantap makan.
“Iya.” Jawabmu singkat.
“Dan kamu juga tahu kalau aku menganggapmu lebih dari teman terbaik.” Lanjutmu.
Aku terdiam. Aku sudah tau kalimat ini akan kembali terucap. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Sangat kecil. Aku bahkan ragu kamu melihat anggukanku atau tidak.
“Dan?” Tanyamu.
“Kamu tetap teman terbaik, van.”
Lagi-lagi ada senyum kecilmu disana. Tulus. “Iya, aku tahu.”

Kalau rasa mampu menerima permintaan, aku memilih untuk meminta rasa agar mengalir menjadi satu dengan aliran rasa paling tulus yang kau miliki. Setidaknya menurutku. Tapi rasa tidak memiliki kebaikan semacam itu, dia lebih memilih mengalir ke arah manapun yang ia kehendaki. Sebenarnya, diam-diam aku mengirimkan doa pada Tuhan, meminta agar Tuhan bersedia menjungkirbalikkan perasaanku untukmu. Tapi sepertinya malaikat tidak bersedia mengamini, sehingga doaku pun tidak terkirim. Mungkin tersangkut di gumpalan awan sana. Atau mungkin doa itu hanya berputar di langit-langit kamarku. Entahlah.

“Thanks ya?” Ucapmu setelah mengantarku ke depan pintu rumah.
“Aku yang makasih. Kan aku yang ngajak tadi.”
“Iya. Sama-sama makasih kalau gitu.”
Aku tersenyum. “Van, aku mau kamu mengingatku se-menyenangkan ini. Itu saja.”
“Selalu, ren.” Jawabmu sambil tersenyum dan mengusap kecil kepalaku.
“Bye. Lain kali kita liburan lagi. Semoga masih ada waktu.” Pamitmu.

Secarik kenangan hari ini, aku masukkan dalam amplop mungil berwarna biru. Seperti kataku tadi, akan aku kirimkan segera dan aku selipkan dalam butiran memorimu. Kusisipkan tawaku disana, berharap tawa itu akan menular padamu.

Jika esok, waktu menyembunyikan kita berdua, maka temui aku dalam kenanganmu.

Saturday, August 4, 2012

Akhir Tanpa Akhir

Aku ingin menceritakan satu kisah, sekedar ingin kuperingatkan saja pada kalian yang tergelitik untuk menelusuri kisah ini, kisah ini tanpa akhir. Lebih tepatnya belum memiliki akhir, karena aku sendiri belum dapat memutuskan akhir seperti apa yang seharusnya tertulis. Jadi lebih baik kalian putuskan dulu apakah kalian ingin tetep membacanya, atau tidak.

"Selamat ulang tahun. Maaf baru bisa ngucapin sekarang. Sengaja, biar bisa jadi orang terakhir." Ucap Odi dengan segaris senyum di ujung pertemuan kita malam itu. Waktu menunjukkan pukul 23.15, setidaknya menurut jam yang menempel di tangan kiriku.
Aku tersenyum. "Kamu aneh. Biasanya orang-orang berlomba-lomba buat jadi yang pertama."
"Kenapa harus jadi yang pertama kalau akhirnya ditinggalkan?  Bukannya lebih baik jadi tempat terakhir dan tempat menetap?" Balasnya dengan ringan.
Aku hanya bisa membalas dengan tersenyum canggung.
"Kalau aku minta satu permintaan boleh?" Tanya Odi kali ini dengan suara yang sedikit lirih.
"Apa?"
"Kalau aku minta kamu berhenti mencari tempat menetap lain, bisa?"
"Maksudnya?"
"Aku minta kamu tetep disini. Disampingku. Nggak ada orang lain lagi. Mau?" Tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
"..." Aku mengangguk. Pelan. Agak berat.

Anggukan berat beberapa saat lalu bukan karena aku ragu. Bagaimana bisa disebut ragu kalau akupun sudah memutuskan memang hanya dia satu-satunya? Anggukan berat itu karena Pras. Iya, Pras yang kebetulan adalah sahabat dekat Odi. Lelaki yang hampir disaat bersamaan pernah mendekatiku. Beberapa minggu lebih dulu dibandingkan Odi. Kebetulan. Sebenarnya aku tidak terlalu percaya adanya suatu kebetulan di dunia ini. Bagaimanapun, bukankah semua hal memang sudah tertulis? Jadi bagaimana mungkin ada suatu "kebetulan"?

Sebenarnya aku lebih suka kalau dari awal mereka menjadi musuh saja. Musuh bebuyutan kalau perlu. Hingga aku tak perlu repot-repot memikirkan nasib dan perasaan Pras. Memikirkan perasaanku sendiri yang jatuh cinta berkali-kali pada Odi saja sudah cukup merepotkan. Dan sekarang ditambah memikirkan Pras dan hubungan persahabatan mereka. Ini benar-benar merepotkan.

***

Hari ini genap satu bulan perayaan untukku dan Odi.
"Aya!" Panggil seseorang dari arah belakangku.
Aku berbalik. Benar saja. Pras sedikit berlari menghampiriku.
"Kenapa?"
"Bisa ngomong berdua bentar?"
"Apa?"

Alih-alih menjawab, Pras justru menarikku ke taman samping kampus yang memang jarang terjamah mahasiswanya.

"Mau ngomong apa?" Tanyaku lagi setelah duduk beberapa saat.
"Udah berapa lama kamu sama Odi?"
"Ngapain sih tanya kayak gitu?"
"Aku tanya, udah berapa lama kamu sama Odi?" Tanyanya ulang. Dari suaranya aku tahu Pras menahan emosinya.
"Satu bulan." Jawabku ketus.
"Jadi dia alasanmu menjauh tiba-tiba dari aku?"
"Bukan."
"Bohong!" Tuduhnya kali ini sedikit berteriak.
"Memang bukan."
"Jadi kalau bukan dia, gara-gara apa tiba-tiba kamu jauh?"
"Harusnya sebelum kamu tanya, kamu ngaca dulu pantes atau nggak dulu kamu deketin aku!" Jawabku keras.
"Maksudnya?" Kali ini suaranya melunak.
"Odi bilang kamu punya cewek. Dan masih berani-beraninya waktu itu kamu deketin aku?!"
"..." Pras terdiam. Sejenak.
"Jadi itu alasan kamu menjauh dari aku dan lebih memilih Odi?"
"Iya." Jawabku pendek dan yakin.
"Hanya itu?"
"Iya."
"Kalau alasannya hanya itu, harusnya kamu pun nggak memilih Odi." Ucap Pras ragu.
"Maksudnya?"
"Buat Odi pun, kamu bukan satu-satunya, Aya." Jawabnya sambil berdiri dan berjalan pelan.
"..."

Lidah ini tiba-tiba gagu. Beku. Dan semua menjadi abu-abu.



Friday, June 22, 2012

Kosong


Tolong jelaskan padaku tentang rasa ini. Rasa kosong yang tak juga dapat didefinisikan. Apakah rasa kosong yang senyap dan meronta kejenuhan? Ataukah rasa kosong yang lega dan dapat menidurkan dengan lelap? Rasa seperti apakah ini? Ketika kosong tak hanya sekedar kosong. Ketika rasa disadari memiliki kemampuan untuk memecah dirinya sendiri, dan menuang gamang pada titik-titik tertentu. 

Kosong ini bukan hanya kosong. Kosong ini tak terdeksripsi dan terdefinisi dengan baik, bahkan dalam lembaran-lembaran kamus sekalipun. Jadi, harus kemana aku mencari penjelasan ini? Harus kepada ahli bahasa kah yang alih-alih tidak menjawab jawaban yang aku cari namun justru menjelaskan bahasa indonesia yang baik dan benar? Pada kenyataannya, mungkin hanya kamu yang tahu persis jawaban itu. Tapi bagaimana caranya aku mendapatkan jawaban darimu tanpa harus menampakkan diri kehadapanmu? Bukan karena tak ingin, hanya saja tak mampu.

"Dia siapa? Kekasihmu?" Tanyamu sedikit menyelidik.
"..." 
"Benar kekasihmu?" Tanyamu lagi.
"..."
"Ya. Dia kekasihmu." Kamu menyimpulkan karena tahu aku tak mungkin menjawab. Aku hanya tersenyum, pahit.
"Kalau begitu, aku pergi. Trimakasih untuk semua." Lanjutmu.

Membiarkanmu pergi dengan keputusan sendiri adalah satu-satunya cara termudah untuk melepasmu. Karena aku rasa terlalu berat mengusirmu secara gamblang ketika aku sendiri mengharapmu. Aku rasa membiarkanmu berpikir bahwa rasaku beralih darimu adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Karena benar-benar mengalihkan rasa darimu sudah jelas terlalu sulit. Maka kubiarkan segala kesimpulan yang kamu buat dan segala pikiran yang kamu punya, karena mengusirmu bukanlah kemampuanku, namun membiarkan kamu pergi karena keinginanmu sendiri adalah keahlianku.

Aku sendiri belum bisa memutuskan, siapa yang melepas dan siapa yang dilepaskan. Mungkin aku, mungkin juga kamu, atau kita berdua. Aku melepaskan diri dan tentu saja melepasmu. Maka seharusnya kosong ini tak ada. Karena seharusnya kosong ini terganti ikhlas. Tapi bisakah ini dikatakan ikhlas ketika aku bahkan sama sekali tidak merasa lega? Mungkin kosong ini senyap yang hampa. Tapi bisakah dikatakan hampa ketika aku memang menghendaki segalanya seperti ini?

Mungkin ini ikhlas yang sedang membelajarkan diri, ikhlas yang masih saja sedikit merasa kehilangan meski telah merelakan. Atau mungkin ini hampa yang  dikehendaki, hampa yang masih memiliki sedikit cadangan oksigen dibalik dirinya. Hhhhh. Sedikit saja jelaskan padaku rasa apa ini, karena kurasa aku kelelahan menyelami garis yang tak juga berujung pangkal.

Aku menyerah. Tetiba aku berada di depan sebuah rumah yang benar-benar aku kenal. Aku berdiri di beranda tersebut tanpa mengetuk pintu, apalagi memencet bel. Hanya berdiri. Mematung. Kaku. Sampai sang pemilik rumah membuka pintu, entah kebetulan atau memang takdir.

"Apa harus se-kosong ini untuk melepasmu?" Ucapku. Ragu. Kaku.

Diam. Sunyi. Senyap. Tapi ini bukan hampa. Ini berarti. Aku tahu. Ini menanti. Menanti pemecah dari segala sunyi. Namun, tak ada jawaban terurai hanya ada peluk hangat yang meluluhkan kaku. Pecah sudah bendungan di pelupuk mata yang kubangun, hilir air mata mengalir. Aku tetap tak tahu rasa apa ini, ketika tetiba aliran darah seperti memiliki satu komando untuk mengisi kosong yang hampa. Ini nyaman. Itu saja.

Tuesday, May 8, 2012

Pas de Titre

Aku harap kita memiliki kamus yang sama. Kamus untuk memaknai perilaku, agar tak ada yang salah paham. Aku harap kita memiliki standarisasi yang sama, agar tak ada yang terlalu berharap. Tapi bukankah hidup butuh dinamika?

Aku harap kita bisa memaknai detail-detail ini bersama. Sehingga paling tidak, tak ada lebih banyak detik yang terbuang untuk mengira-ngira makna dari setiap jengkal perilaku kita. Tapi kita tak punya banyak waktu yang bersedia melonggarkan diri untuk kita habiskan bersama. Apalagi untuk menyediakan diri bagi kita berdua untuk mengartikan tiap sentimeter gerak yang kita lakukan. Tidak, waktu tidak bersedia untuk itu.

Mungkin kamus kita berbeda bahasa atau mungkin kita yang berbeda dalam memahami. Aku bosan meraba. Aku bukan murid pramuka yang bisa dengan lancar membaca sandi-sandi morse yang kau buat. Sebenarnya aku lebih suka menjadi buta, setidaknya kau mungkin akan mengirimkanku huruf braille sehingga aku hanya perlu membaca tanpa harus lagi kesulitan menafsirkan. Bukannya menjadi orang normal yang seakan-akan seperti makhluk bilingual dan dapat dengan mudah menebak-nebak bahasa isyarat yang kau ciptakan. 

Rasa-rasanya asaku terlalu menggantung tinggi, atau justru kamu yang meninggikan, sampai-sampai aku kelelahan mendongak. Bagaimana jika kita koyak saja asa itu, biar menjadi serpih meski tetap bertahan menggantung di atas sana? Akan mustahil menarik kembali asa tersebut untuk jatuh ke pelukan tanah padahal salah satu dari kita menahan keberadaannya untuk tetap menggantung. Tinggi. Baiknya biarkan saja dia terkoyak diatas sana, agar dia mengerti arti dari gores-gores luka sebenarnya. Dan menikmati sakit sebagai santapannya. Dengan begitu, dia tahu benar kemana dia harus berpijak. 

Karena mengucap harap untuk menjadi makhluk abadi di satu hati adalah sia-sia, sementara kau telah memiliki penghuni tetap hati sedang aku hanya bagian dari taman bermain.

Friday, May 4, 2012

Absurdia

Aku jatuh. Benar, aku menjatuhkan rasa padamu. Tidakkah kamu dengar? Rasaku sudah jatuh tanpa perlawanan. Bergelimpangan, bergaungan menyusuri tiap sudut antara kita. Seharusnya kamu mendengar segalanya. Segala gaung suara dari rasaku yang sepertinya meraung-raung atau mungkin seperti bunyi lonceng yang mengetuk sunyi malam. Tidakkah kamu lihat? Rasaku sudah jatuh tersungkur diam, tanpa berniat bergeser dari hadapanmu. Seharusnya kamu melihat segalanya. Segala kondisiku setiap kita bertemu. Kondisi yang aku rasa bukan lagi seperti aku.

"Din, lagi dimana?" ucapmu diseberang telepon.
"Di kantor. Kenapa?" 
"Balik kantor nggak ada acara kan? Jalan yuk! Bosen ni. Kamu kesini ya?"
"Mau kemana emang?"
"Udaaah ikut ajaaa. Yang penting kamu kesini dulu." Ujarmu bersemangat.
"Iya. Ntar lagi aku kesana."

Kondisi seperti ini yang seharusnya kamu lihat. Lembaran kertas kerja menunggu untuk aku gapai, tapi harus lebih bersabar untuk menunggu tengah malam nanti. Saat kamu sudah puas menjalankan semua rencanamu dan membiarkan aku pulang disambut lambaian kertas-kertas itu. Atau mungkin seharusnya kamu melihat kondisi dimana aku lebih memilih menemanimu duduk di teras rumahmu daripada menghadiri undangan makan malam dari bos besar ku. Tapi sepertinya kamu tak pernah melihat. Entah sengaja membutakan mata, atau memang benar-benar buta.

"Kenapa kamu? Diem mulu daritadi. Tumben bener. Sariawan?" Tanyaku di sela-sela perjalanan kita.
"Tau ah. Bete."
"Bete kenapa? Bete gara-gara sariawan?" Godaku.
"Ni orang ya, nggak bisa serius dikit apa?!" Ujarmu dengan kesal. Dan detik selanjutnya sudah tak ada jeda lagi antara satu kalimatmu ke kalimat lainnya. Membiarkan aku dengan ikhlas mendengar kesalmu. 

Mungkin sebenarnya saat ini aku lebih berharap indera pendengaranmu memiliki gaung yang dapat mengubah suara-suara disekitarnya. Mengubah suara "Santai aja sih, nggak usah dipikir banget." menjadi "Kita selesaiin ini bareng-bareng." atau mengubah "Nggak usah ribet lah." menjadi "Semua akan baik-baik saja.". Tapi gua pendengaran mana yang bisa mengubah suara dan gaung menjadi dua hal yang berbeda?!

Sialnya, saat ini aku berada di tempurung bernama sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa jikapun pendengaranmu mengalami kerusakan parah dan dapat mengubah gaung suara ku, kamu bisa dengan mudah mengatakan bahwa aku adalah sahabat yang baik. Ya. Begitu saja.

Seharusnya aku sadar, posisi terdekat kita justru membuat kita berdua tetep jauh. Kamu, dalam garis cakrawala senja sedang aku dalam pekat hitam malam. Sedekat apapun kita, garis kita tetap berbeda. Kita, bukan dua hal yang bisa melebur satu.

Tuesday, April 17, 2012

Apakah Salah?

Kamu datang terlalu cepat. Jingga langit masih di depan mata. Bahkan genangan-genangan murni sebagai tanda bahwa air langit sempat bermain-main menjejak tanah sore tadi belum mengering. Lampu-lampu pinggiran jalan belum seluruhnya menyala. Aku pun masih terduduk di ruang tamu, bagian terdepan dari rumah, setelah beranda tentunya. Mengawasi, tanpa tahu mengawasi apa. Ketakutan, tanpa tahu objek nyata yang aku takuti. Aku kosong dan belum tahu bagaimana mengisinya kembali.

Lalu bagaimana bisa kamu datang kembali? Saat aku bahkan sedang belajar tertidur siang tadi. Belajar melepas asa ke dalam dunia mimpi, karena berharap amnesia sudah jelas tidak mungkin dikabulkan. Kecuali jika aku dengan ikhlas membenturkan kepala ke dinding, dengan resiko bonus cacat fisik. Bagaimana bisa kamu ada di depan sana, tepat di depan rumahku ketika aku bahkan baru saja mengembalikan buku kisah kita di rak buku paling atas, kemudian mengambil buku lain yang judulnya saja bahkan belum aku baca utuh? 

Keabnormalan macam apalagi yang ingin kamu bawa ke hadapanku? Kalimat-kalimat macam apalagi yang akan kamu tuliskan di lembaran buku kita? Sepertinya aku memang harus terbiasa dengan kebiasaanmu membuat aku tergila-gila dalam sesaat lalu kemudian memaksaku untuk cepat waras pada detik selanjutnya. Wujud kerelaan lain seperti apa yang harus aku pelajari, ketika aku bahkan belum tamat membaca satu teori kerelaan? 

Kamu lah wujud yang selama ini aku awasi dari ruang tamuku. Mengawasi agar bukan kamu, wujud yang berdiri di depan rumah. Kamu lah sosok yang selama ini aku takuti datang kembali. Kamu lah orang yang membuatku masih saja duduk di ruang tamu, berharap memiliki kekuatan untuk menyuruhmu pergi bahkan sebelum kamu memasuki dinding pagar.

Matahari bahkan belum tuntas mengantarku ke dalam gelap malam. Suara-suara jangkrik belum muncul untuk mengajarkan kerelaan. Dan aku belum sempat bercerita dalam mimpi malam yang panjang agar nyataku dapat baik-baik saja. BAIK-BAIK SAJA SECARA TOTAL. Bukan separuh, sepertiga atau malah masih seiris. Aku ingin baik-baik saja secara total. Titik. Lalu bagaimana bisa kamu berdiri di depan rumah dan mengetuk pelan pintu di hadapanmu? Yang pada akhirnya tanpa sadar aku membukakan sekat yang membatasi kita.

"Apa kabar?" Ucapmu dengan segaris senyum ikhlas.
Aku diam.
"Boleh aku masuk?" Ucapmu dengan nada yang teratur.
Aku diam.
"Aku pulang. Pulang ke hadapanmu. Boleh?" Tuturmu pelan sambil mengulurkan tangan. Memintaku untuk menggenapi.
Aku diam.

Bagaimana jika aku bukan jalan pulangmu? Bagaimana jika rumah ini bukan tempatmu untuk pulang? Bagaimana jika kamu, hanya mengira aku adalah tempatmu pulang? Bagaimana jika akulah tempatmu berpergian dan suatu saat kamu akan pulang ke arah lain? 

Jikapun aku bukan tempatmu untuk pulang, apakah masih ada kekuatan untuk melepasmu lagi ketika jabat tangan kita sudah bertaut? Apakah masih ada sisa-sisa teori kerelaan yang aku tahu untuk melepasmu pergi ke tempa seharusnya kamu pulang?

Aku melihat uluran tanganmu di hadapan ku. Dengan sisa-sisa keyakinan yang berserakan, tangan kita berjabat.

"Jika aku bukan tempatmu pulang dan aku tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan lagi, apakah salah?" Ucapku lirih.


Sunday, February 19, 2012

Zona

Panggung itu mengenalkanku pada satu sosokmu. Aku mengenalmu yang pada saat itu memegang gitar dan mengalunkan syair-syair bernada. Aku mengenalmu diantara berpuluh-puluh pasang mata yang berebut menjadikanmu objek penginderaan matanya. Fokus mendengar suaramu yang berbaur dengan petikan-petikan gitarmu. Aku mengenalmu sama seperti mereka mengenalmu. Meninggikan namamu saat kamu berdiri di panggung itu, namun kemudian gema namamu hilang begitu saja ketika kamu turun dari tahta yang menghebatkanmu itu.

"Aku mau ngenalin kamu sama temenku." Ucap sahabatku.
"Sama siapa?"
"Itu yang barusan selesai nyanyi." Jawabnya sambil menunjuk punggungmu yang membelakangi penonton.

"Hai." Sapamu pertama kali.
"Hai."

Satu kata tersebut menjadi pupuk yang dari benih percakapan kita.  Satu masa yang membiarkanku menyelami sosokmu. Satu pertemuan yang menjadi pondasi untuk pertemuan-pertemuan lain. Dan kemudian aku tergila-gila dalam sesaat. Kegilaan yang kemudian menjadi asas untuk duduk disini. Berada diantara berpuluh-puluh pasang mata yang lagi-lagi menjadikanmu objek.

Tapi rasa-rasanya posisi ini jauh lebih sulit, ketika aku mengenalmu tidak lagi hanya sebatas nama, paras, atau bakat yang kau miliki. Posisi ini jauh lebih sulit ketika kamu bukan lagi hanya sekedar lelaki yang pantas dikagumi. Posisi ini jauh lebih sulit ketika gema namamu tak berhenti meski kamu meninggalkan panggung itu. Karena "aku" saat ini tak lagi sama dengan "aku" pada saat pertama kali kita menjabat tangan masing-masing.

"Jangan lupa nanti foto-foto yang banyak pas aku nampil. Mumpung aku belum terkenal-terkenal banget." Guraumu sesaat sebelum menaiki panggung tersebut.
"Males. Kayak ada gunanya aja aku ngefoto-foto kamu." Jawabku sekenanya.
"Ya ada lah. Kali ada yang pas buat jadi wallpaper di HP mu kan?" Dan sejurus kemudian kamu sudah ada diatas tahtamu sebelum aku sempat menjawab.

Kamu tahu? Panggung tersebut menciptakan zona. Zona berbatas cahaya yang memisahkan keberadaanku dan kamu. Kamu dibawah sinar sedang aku didalam gelap. Zona yang membuat aku mempertanyakan banyak hal.

"Bisakah kamu melihatku, ketika 5 pijar cahaya tersebut menyorot sosokmu? Sedang aku terhalang gelap bersama dengan berpuluh-puluh sorot mata disini. Di tempat duduk penonton."

-djendelo koffie

Tentang Mengenal

Kau duduk disana. Di taman belakang rumah, 2 bulan bersamamu dan kau tak pernah absen dari posisi tersebut. Selalu sama. Selalu duduk pada sisi kiri bangku taman, dengan secangkir kopi di atas meja, tak lupa juga buku yang kau pandang lekat-lekat dan kau baca dengan seksama. Menurutmu, buku dan kopi tak bisa dipisahkan.

Aku menghampirimu, dan seperti biasanya juga aku memilih duduk pada sisi kanan bangku, karena memang tak ada lagi tempat selain sisi tersebut. Kau menutup bukumu, meletakkannya diatas meja, tepat disebelah cangkir kopimu kemudian menatap heran pada cangkir yang kubawa serta ketika menghampirimu.

"Kopi?" Tanyamu dengan singkat.
"Iya. Kenapa?"
"Tumben. Biasanya susu coklat panas."
"Sedang mencoba mencintai apa yang kau cintai. Proyek pertamanya adalah kopi." Jawabku sembari sedikit tersenyum simpul, dan kau pun balas tersenyum kecil.

Sebenarnya aku memang tidak menyukai kopi. Kau pecinta kopi dan aku pecinta coklat, hingga biasanya kita duduk berdua disini dengan hal yang kita cintai masing-masing. Tapi entah kenapa hari ini aku menginginkan kita menikmati hal yang sama. Satu rasa. Satu warna.


Tegukan pertama, pahit. Sebut aku bodoh karena tak bisa merasakan nikmat pahit kopi. Bagi para pecinta kopi, mungkin pahit kopi tidak hanya sekedar pahit. Tapi bagiku, kopi tetap saja pahit dan tanpa tetapi, tanpa embel-embel.  Sudahlah, aku memang hanya tahu manis, pahit, asam, asin dan semua rasa yang pasti tanpa tetapi itu.


"Pahit? Nggak suka ya?" Kau bertanya setelah melihat mimik mukaku yang berubah sedikit masam. Dan hanya kujawab dengan anggukan kecil.
Kau tersenyum. "Coba dirasain lagi. Kopi tu emang pahit tapi kalo dirasa-rasain pahitnya beda. Lebih nikmat." 
"Pahit. Dan tanpa tetapi. Rasa-rasanya nggak ada nikmatnya juga." Jawabku tanpa basa-basi. Dan kau tersenyum kecil lagi.
"Nggak papa kalau nggak suka. Yang penting kamu tahu hal seperti apa yang aku cintai."


Tegukan kedua. Tetap saja pahit. Pahit memang harga mati untuk kopi. Dan sialnya lelaki disampingku ini lebih menyukai kopi hitam. Murni. Tanpa creamer, susu atau campuran apapun lah itu namanya.  Tegukan selanjutnya pun bernasib sama, meskipun lidahku sudah mulai beradaptasi dan mulai sedikit merasakan nikmatnya. Sedikit saja. 


Tetiba, sorot mataku tertuju pada buku yang kau letakkan diatas meja. Ada yang tak biasa. Judul itu bukan sejenis buku yang sering kau baca. Biasanya kau membaca buku sejenis sejarah perjuangan mahasiswa, politik dan segala macam yang kusebut dengan bacaan "berat". Tapi ini sama sekali bukan bacaanmu. Ini lebih seperti jenis bacaanku. Ya. Kita sama-sama mencintai buku. Tapi jenis buku kita selalu jauh berbeda.


"Kamu baca itu?" Tanyaku sambil menunjuk buku yang ada disebelah cangkir kopinya.
"Iya. Kenapa?"
"Tumben. Itu kan biasanya jadi bacaanku."
Lagi-lagi kau tersenyum kecil. "Aku pengen tahu buku seperti apa yang bisa bikin kamu terpaku berjam-jam untuk membaca isinya."
"Dan? Suka bacanya?"
"Intinya bukan tentang suka atau nggak suka kan? Tujuanku baca buku ini untuk tahu hal seperti apa yang kamu cintai. Itu saja dulu. Sama seperti kamu yang mencoba meminum kopi." Jawabmu sederhana.


Karena kita adalah tentang mengenalmu dan mengenalku. Karena sesederhana itu.

Wednesday, February 1, 2012

Bersama, Sakit

Seharusnya kita berhenti menulis, karena aku tahu kita lelah. Tangan kita sudah bergetar hebat kelelahan menulis hal-hal yang selalu sama tapi mungkin tidak lagi berarti. Otak kita sudah habis membisu mendikte kata-kata yang harus kita jelmakan menjadi kisah. Tidakkah kau sadar kita sudah terlalu memaksa?

Hidup adalah tentang pilihan. Kita memilih untuk bersama. Dan pilihan itu bersandingan dengan resiko jiwa yang kelelahan. Tidakkah kau bosan untuk selalu berteriak-teriak mengeluh pahit? Aku bosan. Dan sejujurnya aku ingin berhenti. Aku ingin diam. Aku ingin berlari menjauh. Tidakkah kamu sadar bahwa kebersamaan ini tidak lagi semenyenangkan harapan kita?


Tenggorokan kita mengering. Air kita habis. Dan kita tak punya apapun lagi untuk melepas dahaga kita. Jangankan dahaga, untuk sekedar membasahi tenggorokan pun tak ada. Kita sudah terlalu lama menyakiti diri sendiri. Menyayat hati. Mematikan segala rasa, hingga tubuh mati rasa. Harus berapa banyak kaca yang pecah untuk membuat kita berhenti berpura-pura tuli? Harus berapa banyak bagian tubuh yang tersayat agar kita berhenti mematikan rasa?


Sayang, kita telah banyak terluka. Tetapi tetap mencoba berdiri menantang. Bukankah kakimu pun bergetar hebat kelelahan? Kita harus bersandar. Kita harus menghela nafas. Berhentilah membuat diri kita terkoyak habis. Sayang, biarkan jiwa kita menguapkan lelah, menghapuskan sakit. Sebentar saja. Sebelum akhirnya kita dibalut luka. 


Karena ternyata kita tidak cukup kuat untuk saling melepaskan.


SPASI

"Aku mulai melangkah namun kamu terlanjur berbalik pergi."

Spasi ini milik kita. Tentang kamu dan aku yang berhadapan. Tentang kamu dan aku yang saling memandang. Tentang kamu dan aku yang berspasi. Spasi yang selalu sama. Kita berbicara tentang keyakinan. Bahwa pada akhirnya kita adalah tentang meyakinkan dan diyakinkan. Dan kita berada di dua kubu berbeda.

Kamu selalu disana. Sendiri. Berseberangan dariku. Menunggu. Aku sendiri juga kurang paham tentang apa yang kamu tunggu. Aku dan keyakinanku atau harapanmu sendiri. Menunggu aku datang atau hanya takut melukai harapanmu sendiri. Aku kurang paham.

"Aku cuma pengen kamu tahu, aku nunggu kamu. Disini."

Kalimat itu singkat. Terlalu singkat untuk kamu meyakinkan keberadaanmu. Tapi kamu benar-benar selalu disana.  Kadang kamu tersenyum. Kadang kamu mengangguk. Kadang kamu menegur. Tapi lebih sering kamu diam dan hanya membiarkan aku tahu bahwa kamu disana. Selalu. 

Tapi kita tetap dalam spasi. Kamu yang takut melangkah dan aku yang meragu. Jarak kita tetap sama meski waktu telah merubah diri menjadi bulan. Mungkin kamu yang kurang paham tentang bagaimana cara meyakinkanku. Atau aku yang tak mengerti caramu. Sampai kita menghabiskan berlembar-lembar kertas hidup hanya untuk berada dalam satu spasi yang selalu sama.

Sampai pada satu titik, hidup memintaku untuk melangkah. Dan aku masih melihatmu disana. Seperti biasanya kamu sedikit tersenyum. Tanpa bergerak sedikitpun. Hingga aku memberanikan diri untuk mencoba melangkah mengurangi spasi kita. Namun, pada detik yang sama aku melangkah ternyata kamu terlanjur berbalik pergi. Perlahan.

"Langkahmu, langkahku terpisah menjadi buku yang berbeda."

Friday, January 13, 2012

Nada

Sebab nada kita pernah menyatu. Padu. Meski pada akhirnya kita bernyanyi masing-masing.

Monday, January 2, 2012

Kemarau



Musim kita kemarau. Kita telah mengering sepanjang kemarau dan tak juga berusaha mengejar air. Namun debu kita menari indah di tengahnya. Berlari ke segala arah untuk sekedar berbisik pada lembaran-lembaran daun tentang indah kita. Persetan dengan derai hujan yang tak kunjung datang. Atau dengan orang-orang yang berteriak marah pada matahari. Karena aku menemukan oase ku.

Aku ini pecinta hujan, dulu. Karena hujan adalah tentang mendramatisir segala hal. Karena setiap derai hujan menceritakan banyak hal. Karena dingin hujan menajamkan indera. Sebelum akhirnya kisah kita ditulis oleh kemarau dan jemari kita bertatut dalam lengkungan sinar matahari. Dan aku menjadi jauh lebih mencintai kemarau. Kemudian belajar bahwa debu kemarau pun bisa menceritakan banyak hal.

Kemarau membiarkan kita menyelami setiap lekuk kota. Berdua. Dengan kendaraan beroda dua yang mungkin jauh dari kesan mewah. Kemarau mengijinkan kita duduk di tengah taman kota dengan daun kering yang satu persatu menjejak tanah. Selanjutnya mempersilahkan kita mencicipi es krim pinggiran jalan dan bertukar rasa satu sama lain. Mengeratkan kita.

Kemarau kita habis. Musim kita berakhir. Kisah kita bukan lagi tentang menyelami lekuk kota atau duduk di taman. Bukan lagi tentang melihat lembaran daun yang menjejak tanah. Tapi ternyata aku tak lagi peduli lagi tentang musim apa saat ini. Atau musim mana yang lebih aku cintai. Karena kamu adalah musim. Satu musim yang tidak memiliki siklus. Satu musim yang tak berganti.

“Sudah kutulis kamu dalam debu kemarau. Sebelum akhirnya hujan menjadi penutup.”