Pages

Tuesday, August 28, 2012

Menyelipkan Kenangan

Akan ada saatnya, ketika bertemu satu sama lain bukanlah  merupakan hal yang mudah dilakukan. Maka temui aku dalam kenanganmu.  Kenangan yang akan aku simpan dalam amplop mungil berwarna biru muda dan aku selipkan dalam butiran memorimu. Berharap akan dengan mudah kau temukan dalam tumpukan kenangan lain, karena biru muda adalah warna favoritmu.

Kepadamu, aku ingin menyelipkan secarik kenangan yang akan menggariskan senyum ketika kau baca. Yang akan membuatmu sedikit melamun ditengah waktumu menyesap pahit kopi. Atau mungkin yang akan berkelebat saat kau berada di sekitar teman terbaikmu.Di masa depan. Kenanglah kita. Dalam ingatan terbaikmu dan dengan senyum paling bahagia.

“Jalan yuk!” Ajakku dari seberang telepon mu.
“Mau kemana?” Jawabmu.
“Nggak usah banyak nanya. Jemput aja dulu, ntar baru aku kasih tau mau kemananya.”
“Dih? Ni anak ……”
Telepon sengaja segera kututup sebelum terlalu lama mendengar banyak alasan darimu dan segera menggantinya dengan mengirim pesan singkat.

Buruan mandi! Abis itu jemput aku. Oke? Jangan kelamaan, keburu siang.

Brisik! Iya, bentar.

Aku mengenalmu dengan baik. Sangat baik. Dan itu membuatku tahu bagaimana cara menanganimu. Sebut saja seperti itu. Meski dengan banyak omelan, toh kau pun akan datang juga akhirnya.

“Mau kemana sih? Pagi-pagi udah ribut.” Tanyamu ketika berada didepan rumah ku.
“Keliling kota. Kita tourist-day ya?” Aku mencetuskan ide gilaku. Meskipun sebenarnya tidak terlalu gila.
“Gila! Mau ngapain sih?!”
TOURIST-DAY! Udaaah, ikutin aja sih. Pokoknya kita keliling kota dan aturannya cuma satu, berlagak jadi turis. Titik.”  Jelasku sambil menekankan kata ‘turis’.
“Male…….”
“Ayok buruan berangkat, keburu panas.” Paksaku sambil mendorongmu keluar dari halaman rumah.

Inilah salah satu hal yang akan aku masukkan dalam amplop mungil berwarna biru muda yang nantinya akan kau miliki. Berlibur. Menjadi turis di kota sendiri. Menelusuri jalan yang  mungkin setiap hari kita susuri. Berdua. Mengabadikan momen dalam sebuah jepretan kamera di depan bangunan khas kota ini yang mungkin sudah bosan kita lihat. Menyecap makanan pinggir jalan  yang lagi-lagi telah kita lewati berkali-kali. Tapi disinilah kita. Melakukan hal-hal yang biasa dengan cara yang tidak biasa.

“Dapet darimana ide kayak gini?” Kamu membuka percakapan ketika kita menapak langkah di salah satu jalan di kota ini.
“Dari sini.” Jawabku sambil menunjuk kepala. “Kita nggak mungkin punya waktu untuk liburan sama-sama keluar kota. Jadi, kita harus bisa liburan sama-sama di kota sendiri.” Lanjutku.
Kamu tertawa terbahak-bahak. “HAHAHAHA. Dalam rangka apaan?” Tanyamu lagi setelah berhasil menghantikan tawamu.
“Nggak ada. Di masa depan nanti, belum tentu kita punya waktu buat liburan sama-sama. Jangankan liburan, ketemu aja mungkin udah susah.”
“Emang kamu mau kemana?” Ada garis khawatir di wajahmu. Terlihat. Meskipun aku tau kau berusaha menyembunyikannya.
“Belum tau. Tapi kemanapun aku, kamu. Dimanapun kita, disini atau di tempat lain. Kita akan punya kehidupan masing-masing, kan?”
“…”
“Makanya itu, kita harus liburan sama-sama. Sebelum kehabisan waktu.” Ucapku sambil tersenyum.

Ada banyak tawa yang kita gantung di sepanjang perjalanan kita hari ini. Ada banyak warna yang kita gariskan. Ada banyak celoteh yang kita rekam dalam-dalam di kaset memori. Ada banyak gambar yang terabadikan. Hari ini.

“Aku udah pernah bilang kan kalo kamu teman terbaikku?” Kali ini aku membuka pembicaraan di sela-sela kita menyantap makan.
“Iya.” Jawabmu singkat.
“Dan kamu juga tahu kalau aku menganggapmu lebih dari teman terbaik.” Lanjutmu.
Aku terdiam. Aku sudah tau kalimat ini akan kembali terucap. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Sangat kecil. Aku bahkan ragu kamu melihat anggukanku atau tidak.
“Dan?” Tanyamu.
“Kamu tetap teman terbaik, van.”
Lagi-lagi ada senyum kecilmu disana. Tulus. “Iya, aku tahu.”

Kalau rasa mampu menerima permintaan, aku memilih untuk meminta rasa agar mengalir menjadi satu dengan aliran rasa paling tulus yang kau miliki. Setidaknya menurutku. Tapi rasa tidak memiliki kebaikan semacam itu, dia lebih memilih mengalir ke arah manapun yang ia kehendaki. Sebenarnya, diam-diam aku mengirimkan doa pada Tuhan, meminta agar Tuhan bersedia menjungkirbalikkan perasaanku untukmu. Tapi sepertinya malaikat tidak bersedia mengamini, sehingga doaku pun tidak terkirim. Mungkin tersangkut di gumpalan awan sana. Atau mungkin doa itu hanya berputar di langit-langit kamarku. Entahlah.

“Thanks ya?” Ucapmu setelah mengantarku ke depan pintu rumah.
“Aku yang makasih. Kan aku yang ngajak tadi.”
“Iya. Sama-sama makasih kalau gitu.”
Aku tersenyum. “Van, aku mau kamu mengingatku se-menyenangkan ini. Itu saja.”
“Selalu, ren.” Jawabmu sambil tersenyum dan mengusap kecil kepalaku.
“Bye. Lain kali kita liburan lagi. Semoga masih ada waktu.” Pamitmu.

Secarik kenangan hari ini, aku masukkan dalam amplop mungil berwarna biru. Seperti kataku tadi, akan aku kirimkan segera dan aku selipkan dalam butiran memorimu. Kusisipkan tawaku disana, berharap tawa itu akan menular padamu.

Jika esok, waktu menyembunyikan kita berdua, maka temui aku dalam kenanganmu.

6 comments:

Pramadhani Reihan said...

PREKETEK!
kowe marai nangis air mata darah nih!

Novia Irianti said...

PREKETEK!
kowe ngapain baru comment sekarang?
nangisnya telat .. :D

Unknown said...

nice one..
:)

Novia Irianti said...

makasiiiih ... :)

Muhamad iyan said...

Keren. Aku suka. :')

Novia Irianti said...

makasih udah dibaca .. :)

Post a Comment