Pages

Saturday, August 4, 2012

Akhir Tanpa Akhir

Aku ingin menceritakan satu kisah, sekedar ingin kuperingatkan saja pada kalian yang tergelitik untuk menelusuri kisah ini, kisah ini tanpa akhir. Lebih tepatnya belum memiliki akhir, karena aku sendiri belum dapat memutuskan akhir seperti apa yang seharusnya tertulis. Jadi lebih baik kalian putuskan dulu apakah kalian ingin tetep membacanya, atau tidak.

"Selamat ulang tahun. Maaf baru bisa ngucapin sekarang. Sengaja, biar bisa jadi orang terakhir." Ucap Odi dengan segaris senyum di ujung pertemuan kita malam itu. Waktu menunjukkan pukul 23.15, setidaknya menurut jam yang menempel di tangan kiriku.
Aku tersenyum. "Kamu aneh. Biasanya orang-orang berlomba-lomba buat jadi yang pertama."
"Kenapa harus jadi yang pertama kalau akhirnya ditinggalkan?  Bukannya lebih baik jadi tempat terakhir dan tempat menetap?" Balasnya dengan ringan.
Aku hanya bisa membalas dengan tersenyum canggung.
"Kalau aku minta satu permintaan boleh?" Tanya Odi kali ini dengan suara yang sedikit lirih.
"Apa?"
"Kalau aku minta kamu berhenti mencari tempat menetap lain, bisa?"
"Maksudnya?"
"Aku minta kamu tetep disini. Disampingku. Nggak ada orang lain lagi. Mau?" Tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
"..." Aku mengangguk. Pelan. Agak berat.

Anggukan berat beberapa saat lalu bukan karena aku ragu. Bagaimana bisa disebut ragu kalau akupun sudah memutuskan memang hanya dia satu-satunya? Anggukan berat itu karena Pras. Iya, Pras yang kebetulan adalah sahabat dekat Odi. Lelaki yang hampir disaat bersamaan pernah mendekatiku. Beberapa minggu lebih dulu dibandingkan Odi. Kebetulan. Sebenarnya aku tidak terlalu percaya adanya suatu kebetulan di dunia ini. Bagaimanapun, bukankah semua hal memang sudah tertulis? Jadi bagaimana mungkin ada suatu "kebetulan"?

Sebenarnya aku lebih suka kalau dari awal mereka menjadi musuh saja. Musuh bebuyutan kalau perlu. Hingga aku tak perlu repot-repot memikirkan nasib dan perasaan Pras. Memikirkan perasaanku sendiri yang jatuh cinta berkali-kali pada Odi saja sudah cukup merepotkan. Dan sekarang ditambah memikirkan Pras dan hubungan persahabatan mereka. Ini benar-benar merepotkan.

***

Hari ini genap satu bulan perayaan untukku dan Odi.
"Aya!" Panggil seseorang dari arah belakangku.
Aku berbalik. Benar saja. Pras sedikit berlari menghampiriku.
"Kenapa?"
"Bisa ngomong berdua bentar?"
"Apa?"

Alih-alih menjawab, Pras justru menarikku ke taman samping kampus yang memang jarang terjamah mahasiswanya.

"Mau ngomong apa?" Tanyaku lagi setelah duduk beberapa saat.
"Udah berapa lama kamu sama Odi?"
"Ngapain sih tanya kayak gitu?"
"Aku tanya, udah berapa lama kamu sama Odi?" Tanyanya ulang. Dari suaranya aku tahu Pras menahan emosinya.
"Satu bulan." Jawabku ketus.
"Jadi dia alasanmu menjauh tiba-tiba dari aku?"
"Bukan."
"Bohong!" Tuduhnya kali ini sedikit berteriak.
"Memang bukan."
"Jadi kalau bukan dia, gara-gara apa tiba-tiba kamu jauh?"
"Harusnya sebelum kamu tanya, kamu ngaca dulu pantes atau nggak dulu kamu deketin aku!" Jawabku keras.
"Maksudnya?" Kali ini suaranya melunak.
"Odi bilang kamu punya cewek. Dan masih berani-beraninya waktu itu kamu deketin aku?!"
"..." Pras terdiam. Sejenak.
"Jadi itu alasan kamu menjauh dari aku dan lebih memilih Odi?"
"Iya." Jawabku pendek dan yakin.
"Hanya itu?"
"Iya."
"Kalau alasannya hanya itu, harusnya kamu pun nggak memilih Odi." Ucap Pras ragu.
"Maksudnya?"
"Buat Odi pun, kamu bukan satu-satunya, Aya." Jawabnya sambil berdiri dan berjalan pelan.
"..."

Lidah ini tiba-tiba gagu. Beku. Dan semua menjadi abu-abu.



0 comments:

Post a Comment