Pages

Monday, April 25, 2011

Rasa Nyata Padamu

Ada pilihan sebenarnya untuk tidak menjatuhkan hati padamu. Rasa nyata pada sosokmu adalah rasa yang memang ku pupuk dengan sempurna hingga mampu menumbuhkan rasa seindah ini. Memang kau tak tumbuh alami. Bukan yang dibesarkan oleh air hujan. Bukan yang terpupuk dengan alami. Bukan. Kau tumbuh karena rasa inginku. Meski tanpa sadar. Aku yang menyirami, aku yang memupuk, aku yang menunggumu tumbuh dan aku tahu persis akan seperti apa kau tumbuh pada akhirnya.

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Istimewa. Selalu diam, selalu hening dan selalu terlihat menjadi pendengar yang baik, pendengar keluhan yang tangguh dan menyediakan tempat mengenang atau mengkhayal yang cukup. Tidak besar memang, namun selalu mencukupi. Aku jatuh cinta pada malam. Jatuh cinta dengan segala yang dimiliki. Cahaya yang tak pernah menyilaukan. Ramai bintang yang tak pernah membisingkan. Malam selalu adil membagi yang gelap dan yang bercahaya. Yang hitam dan yang putih. Tak ada warna lain. Sehingga tak ada yang lebih indah, hanya ada saling mengindahkan. Dan ini seperti malam-malam sebelumnya. Aku terpaku pada malam.

Terpaku pada malam dan kemudian memulai memupukmu setiap malam. Selalu malam, karena kau tak butuh proses fotosintesis. Aku mampu mengolahmu agar berfotosintesis tanpa bantuan sinar matahari. Aku tak perlu persetujuanmu. Karena ini semua memang tentang aku. Tentang aku yang meluruh pada sosokmu. Ini sama sekali bukan tentangmu.

"Kau gila." Begitu kata sahabatku.
"Kenapa?"
"Kau menjatuhkan pilihan yang salah."
"Cinta tak pernah salah, kau ingat?" Jawabku menolak mentah-mentah katanya.
"Memang. Tapi bukannya tempat jatuhnya bisa saja salah? Dan kau salah dalam memilih tempat."
"Hahaha. Jikapun begitu, aku tak berkeberatan melakukan kesalahan."
"Kau benar gila. Bukankah kau tahu dia mengejar wanita lain? Tak ada kesempatan untukmu."
"Aku tahu. Tapi aku tak mengejar kesempatan apapun. Aku hanya jatuh cinta. Dan jatuh cinta tak membutuhkan kesempatan." Aku masih bersikeras dengan pendapatku.
"Kau akan sakit. Dia mungkin tak akan menyadari apapun tentangmu."
"Memang. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia. Maka untuk sakit esok hari yang menunggu, aku tak berkeberatan."

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Mengingatmu. Memupuk tentangmu. Hanya saja malam ini ada tetes air yang kupasrahkan pada bumi. Sebabnya melihatmu dengan wanita lain. Aku tahu malam ini akan datang. Bahwa pada saatnya aku tak akan selamanya tertawa ketika memupukmu. Ada kalanya aku akan menyiraminya dengan airmata. Lagi-lagi aku tak berkeberatan. Memang inilah jalan yang kupilih. Mencintaimu dalam diam.

"Sudah kubilang kau akan menangis. Kau akan sakit." Ceramah sahabatku. Aku diam dan dia melanjutkan, "Ungkapkan saja padanya. Hingga kau takkan merasa sesakit ini."
Aku menggeleng. "Ada hal yang tidak harus dikatakan. Lebih baik tidak dikatakan."
"Kalau begitu berhenti memikirkannya. Berhenti menumbuhkannya."

Aku sudah berhenti. Sudah tak memupuk. Sudah tak menyirami. Namun, kau sudah terlanjur tumbuh. Terlanjur ada dan berarti sulit dihilangkan, kecuali dengan mencabut paksa kau dan akar-akarmu yang memang telah mengakar dalam.

"Kalau begitu cabut saja. Cabut sampai akar. Agar kau tak lagi sakit." Ujar sahabatku.
"Mencabut sampai akar sama saja akan merusak hati." Jawabku pasrah.
"Lalu bagaimana?"
"Biarkan saja. Aku akan menunggu hingga layu. Hingga hilang menjelma menjadi pupuk dengan sendirinya. Biarkan saja."

Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Aku yang berbeda. Tak lagi memupuk atau menyirami. Aku hanya mengamati, menunggu kau layu dalam duniaku. Dunia aku mengindahkanmu.

Sunday, April 24, 2011

2008 Yang Ber-Ulang Tahun


"Blood enters the heart and flows out,
but friends enters the heart and stay inside."

Anggaplah hari ini adalah hari ulang tahun kami. Kami 2008. Meski sebenarnya hari ini bukan hari pertama kami dipertemukan. Dan bukan juga tahun pertama kami bersama, karena pada nyatanya kami telah bersama selama hampir 3 tahun. Tapi, ini adalah hari dimana sebagian dari kami mencoba menyatukan yang dulu masih terpecah belah. Hari ini adalah tahun pertama dimana kami menjadi bagian dari satu sama lain dengan totalitas.

Tahun ini memang tak ada lagi sepetak taman yang menjadi tempat kami bercengkrama menjadi satu. Tak ada lagu-lagu yang membuat kami bernyanyi bersama dalam satu lagu. Tak ada film berdurasi 15 menit yang membuat kami tertawa bersama. Tak ada hujan ketika kami merangkul satu sama lain. Tak ada lagi daun-daun berguguran diusik angin. Tak ada lagi lagu kemesraan yang dinyanyikan dengan hikmat oleh semua dari kami meski dengan nada yang mungkin tak bisa disebut sebagai irama, namun percayalah lagu itu tetap terdengar indah. Entah karena telinga kami yang telah berubah orientasi. Atau mungkin karena kami mendengarkan dengan hati. Entah.

Tahun ini tak ada perayaan. Berkumpulpun tidak. Namun kami akan tetap mengingat, bahwa hari ini pernah menjadi sejarah di catatan kami. Kami tetap satu. Kami tetap menjadikan lagu kemesraan sebagai lagu sakral kami. Terimakasih untuk hari ini di tahun lalu. Terimakasih untuk 1 tahun ini. Dan terimakasih untuk kita semua.

Let's make a wish .......

HAPPY ANNIVERSARY "TO BE UNIFIED" ..
HAPPY ANNIVERSARY 2008 ..


Saturday, April 23, 2011

Yang Tertinggal dan Membekas

"Tinggalkan saja jika memang harus. Jika memang tak mampu. Namun jangan tinggalkan jejak. Karena aku tak bersedia diingatkan dengan semua hal tentangmu."

3 bulan berlalu. Kau memang benar-benar telah meninggalkan. Klise alasanmu, karena tak ada lagi kecocokan antar kita. Sampai sekarang aku masih ingin menertawakan alasanmu. Karena itu bukan hal yang pantas dijadikan alasan. Ada banyak hal yang bisa disebut sebagai ketidakcocokan kita. Namun nyatanya kita mampu bertahan hampir 3 tahun lamanya dengan macam-macam ketidakcocokan itu. Sampai akhirnya 3 bulan lalu kau menyerah. Kurasa karena kau menemukan yang kau rasa lebih mudah kau temui kecocokannya pada dirimu hingga akhirnya kau merasa tak terlalu merugi jika harus melepaskan kisah 3 tahun kita. Aku tak mungkin menahan laju hati. Kau mengakhiri sedang aku meratapi.

Kau memenuhi inginku. Kau memang benar berusaha menghapus jejak. Jejak foto kita, jejak kisah yang kau tulis, jejak benda yang kau berikan dan jejak-jejak lain yang ada. Ada yang hanya kau hapus, namun ada juga yang kau hancurkan. Dengan begitu kukira akan lebih mudah menghilangkanmu. Setelah jejak terhapus, seharusnya memang sudah tak ada lagi ragamu yang terlihat. Apalagi yang mampu diingat ketika jejak sudah tak ada. Namun, ada yang terlupakan. Ada yang masih tertinggal. Kenangan. Kau lupa membawa pergi kenangan bersamamu dulu. Kau tinggalkan begitu saja dalam memori. Berserakan menyebar pada setiap sudut. Jangankan dibawa, kau sentuhpun tidak.

Hujan hari ini, aku melihatnya dari jendela kamar. Melihat air-air jatuh pasrah pada tanah. Beberapa menjatuhkan diri pada kaca jendelaku. Hujan hari ini, lagi-lagi memenjarakan kebersamaan, menajamkan kesendirian. Namun, ada yang merasa ditemani. Ada yang merasa senang dengan hadirnya hujan. Airmata. Menjadi merasa bukan satu-satu nya air yang pasrah dijatuhkan ke bumi. Merasa bukan satu-satunya yg mengalir. Benar, aku terkulai tanpa daya. Kenanganmu yang tertinggal menjadi jejak yang dalam membekas. 

Friday, April 22, 2011

Takdir

"Apa yang menungguku didepan sana?" Tanyaku, dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan. Penasaran atau takut, entahlah.
"Kau tak perlu tahu. Kau hanya perlu berjalan saja kesana." Takdir menjawab, kukuh dengan rahasianya.
"Aku perlu tahu tujuanku untuk tahu kemana aku harus berjalan bukan? Dan sepantasnya kau memberitahu. Bukankah tidak sulit? Jangan merahasiakan hal yang memang menjadi hakku." Ucapku dengan keras.
"Tanpa tahu tujuanmu pun, kau akan tetap sampai disana. Aku tetap mengiringi. Ingat, aku bukan hanya sekedar tujuan atau akhirmu. Aku juga prosesmu. Hakmu adalah keputusanku untuk saat ini. Untuk esok dan seterusnya adalah hal-hal yang masih menjadi calon hakmu. Belum hakmu." Takdir tetap berdiri pada tiang kepercayaannya. Tak bersedia bergeser sedikitpun.

Takdir, begitulah Tuhan menciptakan hal yang mampu merahasiakan segala hal yang ingin diketahui semua orang.  Yang mampu tetap terbungkam meski banyak orang bertanya padanya. Yang tetap yakin pada jalannya meski banyak orang meragu. Begitulah dia.

Awalnya aku meletakkan jalan hidup padanya. Tak mempermasalahkan arah hidup yang harus dituju. Namun kemudian nyatanya ada yang melekat, menetap dan tak kunjung hilang. Sayangnya aku tak melihatnya sebagai bagian dari takdir, yang memang menjadi akhirku. Entah bagaimana, rasa seperti berucap dia hanya akan terlewati. Aku takkan berhenti padanya. Rasanya begitu. Ada rasa tak terima dengan semua itu yang akhirnya mendorongku berkeinginan memegang kemudi hidup. Tapi bagaimana caranya mengendalikan kemudi yang bahkan tak bisa disentuh olehku?

"Bisakah lelaki itu yang menjadi takdir ku?"
"Kau selalu lupa tentang satu hal. Bahwa proses juga bagian dari diriku. Lelaki itu sudah menjadi takdirmu tanpa kau minta." Jawab takdir.
"Tapi aku tak ingin dia hanya terlewati. Aku ingin dia menjadi tempatku berhenti."
"Benarkah? Kau mungkin takkan berkata hal yang sama di waktu esok. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan." Takdir berkata dan aku terbungkam.

Takdir benar. Aku tak pernah tahu akan seperti apa esok hari. Pun dengan yang kurasakan. Jadi aku tak mungkin mampu mengambil alih kemudi ketika aku bahkan tak benar-benar tahu jalanku. Lelaki itu, entah akan terlewati atau menjadi tempat pemberhentian. Jikapun terlewati, biarlah menjadi bagian takdir yang pantas untuk dikenang. Dan jikapun menjadi pemberhentian, jadilah pemberhentian yang layak yang telah dilayakkan oleh waktu.

Tuesday, April 12, 2011

Jeda Untuk Tawa



Tawa mu. Tawa ku. Tawa kita. Seperti menjadi satu pengikat antara kamu dan aku. Entah bagaimana caranya tawa selalu menjadi bagian perjalanan nada yang kita mainkan. Seperti tak habis kehilangan ide, tawa selalu saja dapat menemukan alasan untuk muncul dihadapan kita. Seperti pengikat kemudian menguat. Menertawakan kebodohanmu, kebodohanku dan terkadang menertawakan kesedihan kita. Kepemilikan atas kita adalah kepemilikan yang disebut-sebut sebagai kepemilikan abadi. Kepemilikan suci. Kepemilikan murni. Sahabat.

Nada kita selalu riuh, selalu ramai. Terkadang berjeda dan kemudian kembali bernada. Seringkali bernada lebih riuh dari sebelumnya. Tawa. Memang begitulah sifatnya. Tak pernah hening.  Jikapun hening menghadiri, percayalah dia hanya mampu menjadi sebagai penjeda. Dan takkan bertahan lebih lama dari itu. Tidakkah kita lelah? Tidak. Bahagia tak pernah mengenal lelah. Menyapa pun tak sudi. Kita terasa seperti terperangkap dalam hipnotis sang tawa.

Kemudian, ada yang mengendap masuk. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Tujuannya adalah hati. Mencari jalan. Pelan. Mengambil kunci. Dan sampailah dia pada tujuan. Tak hanya hatiku yang menjadi tujuannya. Tapi juga hatimu. Entah hati siapa yang lebih dulu dia temukan, yang jelas dia yang ada dalam hatimu lebih memiliki keberanian untuk menyatakan. Ya. Menyatakan. Sepertinya dia tak puas dengan keberadaannya yang hanya sebagai lukisan abstrak dalam hati. Dia sedang berusaha mengkongkritkan dirinya.

"Rasanya sudah berbeda. Tak lagi sama." Ucapmu pada satu waktu.

Aku mengerti arah pembicaraanmu. Aku mengerti. Dia memang pandai bersembunyi hingga lolos dari perhatian kita. Tak ada kesempatan untuk menghalau. Namun kemudian, pandai muncul dan menjadi pusat perhatian bahkan saat kita berusaha untuk tidak memperhatikan. Segala hal yang mampu mencapai hati memang selalu menang dalam mengambil perhatian.

"Ya. Aku tahu." Balasku.
"Bukankah kau juga merasakannya?"
"Begitulah."
"Kemudian?" Kau memberi jeda cukup lama dalam pembicaraanmu. Memberi nafas cukup dalam untuk dirimu. "Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk merubah arah kita? Merubah orientasi kita?"

Tak ada jawaban. Hening. Berjeda. Tak ingin menjawab. Karena segala jawaban untuk saat ini adalah salah. Tak ada yang berani memulai kembali. Hanya menunggu keberanian memecah hening.

Masih hening. Masih tak ingin menjawab. Namun, nafas yang cukup dalam mempersiapkan untuk memulai kembali percakapan kita.

"Aku ingin tetap mengingatmu seperti ini. Sebahagia ini." Ucapku memulai memecah hening. "Aku ingin kau hidup dalam frame cerita ini. Memainkan peran ini. Tak berubah ataupun pergi. Ada hal-hal yang tak perlu diubah. Dan kurasa kau lah salah satunya. Aku bukan tak berani, hanya saja tak mampu." Kali ini terlalu banyak jeda pada kita. Kau terlihat lebih mencintai diam. Lama. Dan pada akhirnya kau mengangguk. Tersenyum. Tulus. Mengerti.

Kita memang kembali terperangkap dalam hipnotis tawa. Riuh. Ramai. Bahagia.
Yang datang diam-diam, biarkan saja diam. Karena kita tak membutuhkan jeda.

Ada yang mengendap keluar. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Menyerah pada keputusan kita. Mengembalikan kunci hati pada tempat semula. Membiarkan kepemilikan kita, abadi.

Monday, April 11, 2011

Gadis Kecil dan Mama

Cinta untukmu bukanlah seperti cinta pada orang lain. Cinta untukmu itu berarti mencintai dalam diam dan bukan dengan kata. Cinta untukmu itu berarti berbentuk tindakan. Cinta untukmu itu akan selalu berbentuk cinta dari anak kecil. Sederhana. Sesederhana Kau mengekspresikan segalanya. Sesederhana aku membuktikannya.

Sebenarnya aku tak ingin melawan kodrat. Melawan kodrat untuk menjadi wanita sepenuhnya seperti dirimu. Aku pun ingin mencurahkan cinta yang sama seperti caramu melakukannya. Tapi menjalani kodrat berarti terlepas separuh darimu. Menjalani kodrat berarti mengurangi waktu denganmu. Ada rasa tak mampu menjalani kodrat seiring dengan berdetaknya waktu. Ada dorongan kuat untuk tak terlepas darimu sama sekali. Tak ingin melawan kodrat, namun seperti tak rela melepas posisiku saat ini. Posisi yang selalu terlihat mampu melindungi, seperti tempat melepaskan lelah dunia.

Kau selalu berlawanan dengan papa. Kau mampu melihatku sebagai wanita dewasa bahkan ketika aku masih menunjukkan sikap kanak-kanak ku. Kau percaya dengan segala pilihanku. Apapun kepercayaanku, kau akan percaya bahwa itu baik. Kau adalah pendukung nomer satu untuk setiap jalan yang kutempuh. Kau yang pertama sadar bahwa aku telah mendekati tahap untuk menjalani hidup sepertimu. Dan kau memiliki penerimaan yang baik untuk hal itu. Seperti telah menyiapkan diri menghadapinya. Masih ingat bagaimana ketika satu orang dokter memvonismu menderita tumor? Dan bukannya mengkhawatirkan dirimu, kau justru takut akan tak memiliki kesempatan untuk melihat anak-anakmu lulus dan menikah. Benar saat itu aku ingin marah, tapi bagaimana bisa aku marah dengan orang yang memiliki cinta berlebih untukku?

Terkadang ada rasa marah terlintas ketika kau menyembunyikan keadaan bahwa kau sakit dan beberapa kali terpaksa menginap di rumah dengan bau obat-obatan menyengat itu. Sebab kau tak mengatakan hanya karena kau tahu banyak tugas menumpuk yang berteriak memintaku menyesaikannya, dan kau takut pikiran ku akan terkuras jika tahu kau sakit. Bagaimana bisa kau justru lebih memikirkan tugasku? Saat itu merasa sangat tak berguna hidup disampingmu selama ini. Seperti tak ada yang mampu kulakukan.

Benar-benar seperti tak rela meninggalkan posisi ini. Haruskah siklus hidup berjalan seperti ini? Kau mencurahkan segala cinta untukku, dan aku justru harus separuh meninggalkanmu untuk membagikan cinta pada yang lain? Haruskah siklus hidup berjalan seperti ini? Ketika pengabdianmu tertanam padaku tapi aku justru akan mengabdi kepada yang lain?

Aku butuh keyakinan, Ma. Keyakinan bahwa kau akan lebih bahagia jika aku menjalani kodratku. Keyakinan bahwa takkan ada yang berubah dalam cintamu atau cintaku. Keyakinan bahwa abdiku padamu akan mampu kulakukan  meski aku menjalani kehidupan baru. Sungguh aku tak ingin melawan kodrat. Yakinkan aku bahwa kau akan bahagia melihatku menjalani kodrat. Jadilah penguatku. Seperti yang selama ini kau lakukan.

Salam cinta untukmu, Mama.
Sehatlah selalu.

Sunday, April 10, 2011

Hentikan Waktunya

"Iya, disini rame banget. Anak-anak kecil pada rebutan tiup lilin kue ulang tahun. Udah lama nggak ngerasain kayak gini. Kangen rasanya." Ucap mereka.

Tak ada ucap balasan, hanya doa terpanjat.
"TUHAN, hentikan saja waktunya disini. Aku tek rela pergi kemanapun."

Lelah

Memang kita yang lelah. Lelah menjejakkan tapak kaki pada jalan yang seperti tak memiliki ujung. Lelah memandang sepanjang pemandangan yang tak habis ditelan pandangan. Lelah mendengar suara-suara yang selalu bergantian. Lelah berucap tanya akan kemana setelah ini. Lelah merasakan buaian lembut dingin atau sentuhan kesadaran panas yang bergilir mendatangi. Lelah memvisualisasikan masa depan dalam pikiran.

Memang kita yang lelah. Kamu. Aku. Tapi setidaknya tetaplah ada. Ada dalam genggaman atau menggenggam. Hingga tetap menguatkan ketika tapak kaki kelelahan. Hingga tetap menerangi ketika memandang kegelapan. Hingga tetap menenangkan ketika bising mendera. Hingga tetap menjadi jawaban untuk segala pertanyaan yang tumbuh perlahan. Hingga tetap menghangatkan ketika dingin menyapa atau menyejukkan ketika panas menghampiri.

Memang kita yang lelah. Takdir tak pernah bersedia membagi teka-tekinya. Masa depan tak lelah menyimpan rahasia misterinya.  Tapi tetaplah dalam genggaman, menjadi penahan agar kita tak terjatuh ketika melangkahkan kaki pada arah kita. Pun jika tetap terjatuh, dapat menjadi pegangan untuk bangkit. Biarkan tetap menggenggam. Untuk saling menguatkan.

Suatu saat, kita akan berhenti. Pada satu tempat yang pantas. Pada masa yang seharusnya. Kita akan berhenti pada takdir yang telah dituliskan. Maka, tetaplah berjalan dalam genggaman. Untuk banyak hal yang harus diperjuangkan.

Friday, April 8, 2011

Mencintaimu, Sulit

"...Ini sulit."
"Tinggalkan saja aku kalau memang sulit."

"Mencintaimu itu sulit, tapi meninggalkanmu akan jauh lebih sulit."

Terbaik Tidak Mampu Menjadi Baik

Lelaki itu duduk ditemani kopi di sebuah resto. Mengenakan setelan kemeja flanel berwarna biru tua dengan celana jins yang setia melekat melapisi kakinya. Rapi, bersahaja. Tak perlu waktu yang lama untuk menilai bahwa dia adalah lelaki pintar dengan pekerjaan mapan yang sudah dimiliki. Aku berani bertaruh ada banyak wanita yang tak rela hanya meliriknya bahkan mungkin mereka akan berlomba mendapatkannya. Aku sedang memandangnya. Melihatnya yang secara tidak sengaja berada pada satu resto yang sama dengan ku. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Beruntung bagi wanita yang mampu berada disisinya.

Akulah wanita beruntung itu. Akulah yang mendampingi lelaki itu. Akulah yang mampu menghalau dan memupuskan harapan wanita-wanita lain yang ada disekitarnya. Akulah yang membuat wanita-wanita itu hanya mampu memandang tanpa mendekati. Akulah yang beruntung. Tyo, namanya. Entah bagaimana caranya dia memutuskan menghadirkan ku dalam hidupnya. Entah apa yang membuatnya meyakini akulah yang pantas mendampingi. Mungkin saat itu dewi fortuna sedang mengasianiku, hingga akhirnya memutuskan untuk menumpahkan segala keberuntungan yang dia miliki untuk dijatuhkan padaku. Untuk akhirnya menghadiahi ku lelaki yang bahkan melebihi khayalanku. Seperti menghadirkan kandidat terbaik yang dimilikinya. Banyak ucapan selamat teruntai. Banyak pujian terajut. Aku memang beruntung.


Melepas keberadaannya akan dianggap sebagai hal bodoh yang dilakukan. Bagaimana mungkin melepas lelaki yang menjadi kandidat terbaik? Bagaimana mungkin menghapus lelaki yang bahkan berpegang kepercayaan bahwa segalanya adalah aku? Benar bodoh jika melepasnya. Kemana lagi akan ada lelaki yang bersedia mengedepankan segala urusanku? Tapi nyatanya aku memilih untuk bodoh. Pikiranku melayang pada 1,5 tahun yang lalu.


"Tyo, maaf. Aku sudah tak bisa."
"Kenapa? Ada yang salah denganku?" Lelaki itu menuntut.
"Bukan. Kesalahan bukan ada padamu."
"Jadi? Kenapa kamu justru memilih lepas?"
"Karena kamu terlalu baik. Memaksa diri disampingmu seperti menuntut ku menjaga segala hal. Menjaga agar semuanya baik."
"Aku tak pernah memintamu untuk melakukan semua itu."
"Aku tahu. Aku benar tahu. Akulah yang menuntut diriku sendiri. 2 tahun mencoba segala hal agar tetap sempurna. Sekarang aku lelah. Kehabisan tenaga."
"Apa lagi yang kau cari? Segalanya telah coba kuberikan. Apa lagi yang kau minta?"
"Aku tak membutuhkan segalanya. Nyatanya aku membutuhkan seadanya. Maaf." Aku bersegera meninggalkan dia. Sebelum lebih banyak protes atau usaha menahan atas aku.


Aku memilih bodoh. Berada dengannya memang menyenangkan, tapi tak pernah benar-benar senang. Dengannya selalu ada senyum. Tapi tak pernah sanggup tertawa. Tidakkah kau tahu bahwa itu jauh lebih menyulitkan? Lelaki itu masih duduk hanya ditemani kopi, masih tak menyadari kehadiranku. Aku masih berada ditempat yang sama. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Tidakkah kau sadar, bahwa jarak ini jauh lebih baik?


Ketika yang terbaik tidak mampu menjadi baik.
Aku tak membutuhkan segalanya. Aku membutuhkan seadanya.

Noviani Dhias Pratiwi

Noviani Dhias Pratiwi. Kamu memintaku untuk mendeskripsikanmu dalam beberapa paragraf. Entah kenapa permintaan itu muncul. Entah kenapa hanya aku yang diminta menulis dalam beberapa paragraf, sedang yang lain justru hanya kamu minta beberapa kalimat, bahkan kata! Sudahlah. Ini memang inginmu. Bertanya seperti apapun, protes seperti apapun, inginmu memang hanya menjadi milikmu, hanya menjadi keputusan mu.

Jujur saja, permintaanmu ini sulit. Mendeskripsikan kamu ternyata tidak semudah menulis kisah fiksi selama ini. Selama ini, baris-baris kata yang ada adalah hasil imajinasi tak berbatas yang seperti membebaskanku menulis. Yang menyerahkan diri untuk ku visualisasikan dalam otak untuk kemudian terproses menjadi deretan panjang paragraf. Tapi kamu, kamu bukan imajinasi. Kamu nyata. Kamu ada. Dan mendekripsikan kenyataan ternyata tak semudah itu.

Jadi apa yang harus ku deskripsikan? Tentang kamu yang pelupa? Kurasa kamu bukan pelupa, kamu hanya teledor. Ingatanmu sebenarnya terlalu kuat untuk disebut pelupa. Kamu hanya kurang memperhatikan hal-hal kecil yang ternyata penting. Ya. Kamu teledor, bukan pelupa. Jadi ubahlah sedikit keteledoran mu itu. Lalu, kamu inferior? Sebenarnya entah kamu berada di level mana. Inferior atau superior. Kamu tidak pernah benar-benar inferior ataupun superior. Aku selalu percaya kamu mampu mengurus segala hal yang ada ketika kamu memang merasa dituntut untuk seperti itu. Kamu bisa saja berani. Kamu bisa saja berpendapat. Benar kan? Kamu hanya sedikit kurang mempercayai dirimu sendiri ketika kamu merasa ada orang lain yang lebih mampu untuk memutuskan segala hal. Tapi kamu bukan inferior. Jelas bukan. Jadi, bukankah akan lebih baik jika kamu memberi lebih banyak kepercayaan pada dirimu sendiri? Kamu jelas mampu untuk melakukan segala hal. Aku bisa percaya itu.


Kamu perfeksionis yang terjebak dalam keteledoran. Sebenarnya kamu selalu ingin segalanya sempurna. Kamu sering mengulang tugasmu. Seperti tak rela jika ada sedikit celah untuk disalahkan. Tapi keteledoran sering kali merusak rencana sempurnamu. Ternyata teledor sudah sejauh ini mempengaruhi mu ya?


Kamu tahu kalau sebenarnya di otakmu itu tersimpan banyak informasi. Informasi-informasi yang mungkin tak pernah aku ketahui sebelumnya. Aku lebih sering hanya bisa ber"ah oh" saja daripada menanggapi  banyak kata mengalir darimu. Lebih sering tidak tahu daripada tahu. Akhirnya kamu terkadang sebagai sumber informasi. Dari banyak waktu terlewat, atau kejadian-kejadian yang terlangkahi, aku selalu suka bagian ketika kita bisa berbagi teori. Atau malah menciptakan teori-teori bodoh bersama. Kadang hanya berdua tapi lebih sering lagi, bertiga atau berempat. Kamu dengan pandangan mu dan aku dengan pandangan ku. Kita  berdua masih saja jago berteori walaupun NOL dipraktek. Tapi tetap saja aku menyukai bagian itu. Berteori dengan mu seperti menambah sisi-sisi dalam hidup. 


Aku pernah bilang bahwa kamu adalah kakak yang baik, yang sangat mampu memberi perhatian. Kadang aku heran dengan perhatian mu ke adik-adikmu. Terutama Ani. Tetaplah menjadi kakak yang baik. Untuk semua adik-adik mu, termasuk aku tentunya. Selamat sibuk dengan segala aktiftas tugasmu yang menuntut diselesaikan itu. Cepatlah pulang kepangkuan kami. Anggap saja ini adalah ungkapan rasa rindu, meski sebenarnya ini adalah ungkapan protes karena kau lebih sering menghilang daripada muncul dihadapan kami.

Ikhlas

"Ikhlas, mendekatlah padaku dan pada mereka yang membutuhkan kehadiranmu. Ikhlas, biarkan sedikit kami cicipi rasamu. Biarkan kami dilelapkan buaian mu. Ini melelahkan. Melelahkan tanpa kehadiranmu."