Pages

Tuesday, April 12, 2011

Jeda Untuk Tawa



Tawa mu. Tawa ku. Tawa kita. Seperti menjadi satu pengikat antara kamu dan aku. Entah bagaimana caranya tawa selalu menjadi bagian perjalanan nada yang kita mainkan. Seperti tak habis kehilangan ide, tawa selalu saja dapat menemukan alasan untuk muncul dihadapan kita. Seperti pengikat kemudian menguat. Menertawakan kebodohanmu, kebodohanku dan terkadang menertawakan kesedihan kita. Kepemilikan atas kita adalah kepemilikan yang disebut-sebut sebagai kepemilikan abadi. Kepemilikan suci. Kepemilikan murni. Sahabat.

Nada kita selalu riuh, selalu ramai. Terkadang berjeda dan kemudian kembali bernada. Seringkali bernada lebih riuh dari sebelumnya. Tawa. Memang begitulah sifatnya. Tak pernah hening.  Jikapun hening menghadiri, percayalah dia hanya mampu menjadi sebagai penjeda. Dan takkan bertahan lebih lama dari itu. Tidakkah kita lelah? Tidak. Bahagia tak pernah mengenal lelah. Menyapa pun tak sudi. Kita terasa seperti terperangkap dalam hipnotis sang tawa.

Kemudian, ada yang mengendap masuk. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Tujuannya adalah hati. Mencari jalan. Pelan. Mengambil kunci. Dan sampailah dia pada tujuan. Tak hanya hatiku yang menjadi tujuannya. Tapi juga hatimu. Entah hati siapa yang lebih dulu dia temukan, yang jelas dia yang ada dalam hatimu lebih memiliki keberanian untuk menyatakan. Ya. Menyatakan. Sepertinya dia tak puas dengan keberadaannya yang hanya sebagai lukisan abstrak dalam hati. Dia sedang berusaha mengkongkritkan dirinya.

"Rasanya sudah berbeda. Tak lagi sama." Ucapmu pada satu waktu.

Aku mengerti arah pembicaraanmu. Aku mengerti. Dia memang pandai bersembunyi hingga lolos dari perhatian kita. Tak ada kesempatan untuk menghalau. Namun kemudian, pandai muncul dan menjadi pusat perhatian bahkan saat kita berusaha untuk tidak memperhatikan. Segala hal yang mampu mencapai hati memang selalu menang dalam mengambil perhatian.

"Ya. Aku tahu." Balasku.
"Bukankah kau juga merasakannya?"
"Begitulah."
"Kemudian?" Kau memberi jeda cukup lama dalam pembicaraanmu. Memberi nafas cukup dalam untuk dirimu. "Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk merubah arah kita? Merubah orientasi kita?"

Tak ada jawaban. Hening. Berjeda. Tak ingin menjawab. Karena segala jawaban untuk saat ini adalah salah. Tak ada yang berani memulai kembali. Hanya menunggu keberanian memecah hening.

Masih hening. Masih tak ingin menjawab. Namun, nafas yang cukup dalam mempersiapkan untuk memulai kembali percakapan kita.

"Aku ingin tetap mengingatmu seperti ini. Sebahagia ini." Ucapku memulai memecah hening. "Aku ingin kau hidup dalam frame cerita ini. Memainkan peran ini. Tak berubah ataupun pergi. Ada hal-hal yang tak perlu diubah. Dan kurasa kau lah salah satunya. Aku bukan tak berani, hanya saja tak mampu." Kali ini terlalu banyak jeda pada kita. Kau terlihat lebih mencintai diam. Lama. Dan pada akhirnya kau mengangguk. Tersenyum. Tulus. Mengerti.

Kita memang kembali terperangkap dalam hipnotis tawa. Riuh. Ramai. Bahagia.
Yang datang diam-diam, biarkan saja diam. Karena kita tak membutuhkan jeda.

Ada yang mengendap keluar. Berjingkat. Tak bersuara. Namun terasa. Menyerah pada keputusan kita. Mengembalikan kunci hati pada tempat semula. Membiarkan kepemilikan kita, abadi.

0 comments:

Post a Comment