Pages

Friday, April 22, 2011

Takdir

"Apa yang menungguku didepan sana?" Tanyaku, dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan. Penasaran atau takut, entahlah.
"Kau tak perlu tahu. Kau hanya perlu berjalan saja kesana." Takdir menjawab, kukuh dengan rahasianya.
"Aku perlu tahu tujuanku untuk tahu kemana aku harus berjalan bukan? Dan sepantasnya kau memberitahu. Bukankah tidak sulit? Jangan merahasiakan hal yang memang menjadi hakku." Ucapku dengan keras.
"Tanpa tahu tujuanmu pun, kau akan tetap sampai disana. Aku tetap mengiringi. Ingat, aku bukan hanya sekedar tujuan atau akhirmu. Aku juga prosesmu. Hakmu adalah keputusanku untuk saat ini. Untuk esok dan seterusnya adalah hal-hal yang masih menjadi calon hakmu. Belum hakmu." Takdir tetap berdiri pada tiang kepercayaannya. Tak bersedia bergeser sedikitpun.

Takdir, begitulah Tuhan menciptakan hal yang mampu merahasiakan segala hal yang ingin diketahui semua orang.  Yang mampu tetap terbungkam meski banyak orang bertanya padanya. Yang tetap yakin pada jalannya meski banyak orang meragu. Begitulah dia.

Awalnya aku meletakkan jalan hidup padanya. Tak mempermasalahkan arah hidup yang harus dituju. Namun kemudian nyatanya ada yang melekat, menetap dan tak kunjung hilang. Sayangnya aku tak melihatnya sebagai bagian dari takdir, yang memang menjadi akhirku. Entah bagaimana, rasa seperti berucap dia hanya akan terlewati. Aku takkan berhenti padanya. Rasanya begitu. Ada rasa tak terima dengan semua itu yang akhirnya mendorongku berkeinginan memegang kemudi hidup. Tapi bagaimana caranya mengendalikan kemudi yang bahkan tak bisa disentuh olehku?

"Bisakah lelaki itu yang menjadi takdir ku?"
"Kau selalu lupa tentang satu hal. Bahwa proses juga bagian dari diriku. Lelaki itu sudah menjadi takdirmu tanpa kau minta." Jawab takdir.
"Tapi aku tak ingin dia hanya terlewati. Aku ingin dia menjadi tempatku berhenti."
"Benarkah? Kau mungkin takkan berkata hal yang sama di waktu esok. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan." Takdir berkata dan aku terbungkam.

Takdir benar. Aku tak pernah tahu akan seperti apa esok hari. Pun dengan yang kurasakan. Jadi aku tak mungkin mampu mengambil alih kemudi ketika aku bahkan tak benar-benar tahu jalanku. Lelaki itu, entah akan terlewati atau menjadi tempat pemberhentian. Jikapun terlewati, biarlah menjadi bagian takdir yang pantas untuk dikenang. Dan jikapun menjadi pemberhentian, jadilah pemberhentian yang layak yang telah dilayakkan oleh waktu.

0 comments:

Post a Comment