Pages

Monday, April 25, 2011

Rasa Nyata Padamu

Ada pilihan sebenarnya untuk tidak menjatuhkan hati padamu. Rasa nyata pada sosokmu adalah rasa yang memang ku pupuk dengan sempurna hingga mampu menumbuhkan rasa seindah ini. Memang kau tak tumbuh alami. Bukan yang dibesarkan oleh air hujan. Bukan yang terpupuk dengan alami. Bukan. Kau tumbuh karena rasa inginku. Meski tanpa sadar. Aku yang menyirami, aku yang memupuk, aku yang menunggumu tumbuh dan aku tahu persis akan seperti apa kau tumbuh pada akhirnya.

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Istimewa. Selalu diam, selalu hening dan selalu terlihat menjadi pendengar yang baik, pendengar keluhan yang tangguh dan menyediakan tempat mengenang atau mengkhayal yang cukup. Tidak besar memang, namun selalu mencukupi. Aku jatuh cinta pada malam. Jatuh cinta dengan segala yang dimiliki. Cahaya yang tak pernah menyilaukan. Ramai bintang yang tak pernah membisingkan. Malam selalu adil membagi yang gelap dan yang bercahaya. Yang hitam dan yang putih. Tak ada warna lain. Sehingga tak ada yang lebih indah, hanya ada saling mengindahkan. Dan ini seperti malam-malam sebelumnya. Aku terpaku pada malam.

Terpaku pada malam dan kemudian memulai memupukmu setiap malam. Selalu malam, karena kau tak butuh proses fotosintesis. Aku mampu mengolahmu agar berfotosintesis tanpa bantuan sinar matahari. Aku tak perlu persetujuanmu. Karena ini semua memang tentang aku. Tentang aku yang meluruh pada sosokmu. Ini sama sekali bukan tentangmu.

"Kau gila." Begitu kata sahabatku.
"Kenapa?"
"Kau menjatuhkan pilihan yang salah."
"Cinta tak pernah salah, kau ingat?" Jawabku menolak mentah-mentah katanya.
"Memang. Tapi bukannya tempat jatuhnya bisa saja salah? Dan kau salah dalam memilih tempat."
"Hahaha. Jikapun begitu, aku tak berkeberatan melakukan kesalahan."
"Kau benar gila. Bukankah kau tahu dia mengejar wanita lain? Tak ada kesempatan untukmu."
"Aku tahu. Tapi aku tak mengejar kesempatan apapun. Aku hanya jatuh cinta. Dan jatuh cinta tak membutuhkan kesempatan." Aku masih bersikeras dengan pendapatku.
"Kau akan sakit. Dia mungkin tak akan menyadari apapun tentangmu."
"Memang. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia. Maka untuk sakit esok hari yang menunggu, aku tak berkeberatan."

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Mengingatmu. Memupuk tentangmu. Hanya saja malam ini ada tetes air yang kupasrahkan pada bumi. Sebabnya melihatmu dengan wanita lain. Aku tahu malam ini akan datang. Bahwa pada saatnya aku tak akan selamanya tertawa ketika memupukmu. Ada kalanya aku akan menyiraminya dengan airmata. Lagi-lagi aku tak berkeberatan. Memang inilah jalan yang kupilih. Mencintaimu dalam diam.

"Sudah kubilang kau akan menangis. Kau akan sakit." Ceramah sahabatku. Aku diam dan dia melanjutkan, "Ungkapkan saja padanya. Hingga kau takkan merasa sesakit ini."
Aku menggeleng. "Ada hal yang tidak harus dikatakan. Lebih baik tidak dikatakan."
"Kalau begitu berhenti memikirkannya. Berhenti menumbuhkannya."

Aku sudah berhenti. Sudah tak memupuk. Sudah tak menyirami. Namun, kau sudah terlanjur tumbuh. Terlanjur ada dan berarti sulit dihilangkan, kecuali dengan mencabut paksa kau dan akar-akarmu yang memang telah mengakar dalam.

"Kalau begitu cabut saja. Cabut sampai akar. Agar kau tak lagi sakit." Ujar sahabatku.
"Mencabut sampai akar sama saja akan merusak hati." Jawabku pasrah.
"Lalu bagaimana?"
"Biarkan saja. Aku akan menunggu hingga layu. Hingga hilang menjelma menjadi pupuk dengan sendirinya. Biarkan saja."

Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Aku yang berbeda. Tak lagi memupuk atau menyirami. Aku hanya mengamati, menunggu kau layu dalam duniaku. Dunia aku mengindahkanmu.

2 comments:

Rhein said...

Suka kalimat terakhirnya.. :)

Novia Irianti said...

makasiiih rhein ... :)

Post a Comment