Pages

Monday, December 17, 2012

Deru Rindu

Aku ingin lari ke hadapanmu. Barangkali dengan cara itu rinduku habis, berceceran di sepanjang jalan. Rindu yang tak jarang menderu layaknya ombak menabrakan diri pada bibir pantai. Inginku merengkuhmu. Entah dalam rengkuhan nyata atau sekedar merengkuh dalam pandangan. Paling tidak, biarkan rinduku menyentuhmu. Agar ia tak meronta lagi. Tali jarak ini, bisakah kupotong agar langkah kita dekat? Sebab, sejak sepi menajamkan rindu, aku kesakitan. Kesakitan yang terus menerus. Kita harus bertemu. Meski sesingkat titik embun merasakan sinar surya.

Sejak rindu belajar mengeja aksara, baris namamu yang ia tahu.

Sunday, December 16, 2012

BORNEO MALENGGANG






KOMUNITAS BORNEO MALENGGANG
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia





Sejarah Berdiri

Maret 2011         : Tim Tari Gede-gede
Maret 2012         : Tim Tari FPSB UII
September 2012  : Komunitas Borneo Malenggang



Saya percaya, setiap orang memiliki tim solidnya sendiri-sendiri. Dan saya tahu, saya punya kalian.









Terimakasih sudah menjadi satu tubuh yang lengkap dan melengkapi, menjadi tempat berlari untuk melepas kegilaan-kegilaan dan untuk tawa yang sudah bersedia digaungkan ditengah-tengah kita.





Terimakasih untuk setiap pelajaran dan pengalaman yang dibagi bersama, telah berusaha untuk menampilkan yang terbaik yang bisa dilakukan dan untuk semangat yang semoga bukan hanya ucapan tapi juga tindakan.








SELAMAT DATANG KOMUNITAS BORNEO MALENGGANG

SEMOGA PANJANG UMUR BORNEO MALENGGANG

Thursday, December 13, 2012

Kanvas Abu-Abu

Satu hari, aku pernah membayangkan bagaimana jadinya bertemu denganmu di masa ketika semua hal sudah berbeda. Keadaan, rasa, rindu yang tidak lagi berwujud sama. Yang telah lebur, mencair dan pergi mengalir pergi tak terarah. Akan jadi seperti apa kita? Barangkali hanya saling senyum yang tidak bisa dibilang ikhlas. Barangkali hanya mengucap sedikit sapa yang tidak bisa dibilang akrab. Barangkali hanya sama-sama gagu untuk memulai.

Warung makan itu. Warung makan sederhana. Kecil. Bukan restoran mewah, atau cafe tempat orang berkumpul. Hanya warung makan, yang akhirnya bersedia menjadi tempat mewujudkan bayangan yang selama ini hanya hidup dalam pikiranku. Yang menjawab semua pertanyaan "bagaimana jika". Dan menghapus pernyataan "barangkali".

"Dunia itu lebih banyak daerah abu-abu." Ucapmu dulu di percakapan kecil kita.
"Mana mungkin? Dunia itu hitam dan putih. Segala hal bisa dipastikan. Baik, buruk, mudah, sulit. Segalanya. Segalanya memiliki posisi masing-masing. Segalanya bisa dikategorikan." Bantahku.
Kamu tersenyum tipis. "Yang kamu lupa adalah, abu-abu pun adalah posisi. Abu-abu pun adalah kategori."
"Tidak pernah ada posisi yang ragu-ragu, ndra. Kamu akan selalu bisa menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Tidak pernah ada yang abu-abu."
"Itu dunia menurut pandangan ideal, risa. Pada kenyataannya dunia ini tidak masuk akal. Akan selalu ada abu-abu. Selalu."

Beberapa purnama telah terlewat sejak percakapan kecil kita tentang zona abu-abu. Tentang keragu-raguan. Tentang ketidakpastian. Beberapa lembar lukisan langit jingga telah terlewat sejak kita tidak lagi tentang kita. Ribuan embun pagi hari pun telah terlewat sejak aku dan kamu memiliki garis dan cerita yang telah kita tulis sendiri-sendiri. Dan aku masih tetap memandang bahwa dunia ini hanya ada dua pilihan. Bukan tiga.

Untukmu, aku sudah menggoreskan deret namamu pada kertas hitam dengan tinta warna hitam. Untukmu, aku sudah menyiapkan dan meletakkanmu di tempat sampah memori untuk sedikit mengesampingkanmu dari rekaman ingatan ku. Untukmu, aku sudah mematikan rasa. Untukku, semua tentangmu sudah ku pastikan. SEMUA.

Hingga pagi ini datang dengan ramah. Mengetuk dengan pelan dan mengantarkan hangat seperti yang biasa dia lakukan. Tak ada yang berbeda. Sampai aku duduk di warung sederhana. Sendiri. Dan tak berapa lama ada sosok yang dulu sempat sangat aku kenal. Suara yang sangat akrab dengan telingaku, kamu. Tapi tidak lagi sendiri. Dan segala hal menjadi kabur. Abu-abu.

Aku mengalihkan pandangan. Mencari tempat mataku menatap, apa saja asal bukan kamu. Aku mempercepat mengosongkan piring dihadapanku. Meminimalisir waktu untuk tidak berlama-lama berada disini. Aku berusaha tak terlihat, minimal olehmu. Dan sedikit perasaan lega karena aku terlewat darimu. 

Tiba-tiba, ponselku berbunyi.

Sendiri aja?

Iya.

Ooh. Selamat makan.

Dan aku tak yakin lagi untuk membalasnya.

"Indra." Aku memanggilmu sesaat setelah membayar pesanan. Sekedar mencoba baik-baik saja.
"Ris. Sendiri aja?" Kaget. Atau mungkin tepatnya pura-pura kaget. Kamu mengulang pertanyaanmu persis seperti pesan singkat yang tadi kubaca. Gugup. Gagu. Dan sama-sama tersenyum kaku.
"Iya. Duluan ya?" Aku mencoba tersenyum paksa. Kepadamu dan wanita disebelahmu.
"Iya. Hati-hati." Jawabnya yang hanya kubalas dengan senyuman.

Aku terduduk di dalam mobil. Diam. Membiarkan detik-detik berjalan. Otakku membuatmu ada dalam daftar yang kutulis di atas lembar kanvas hitam. Tapi degup jantung tak beraturan tadi, membuatmu menjadi abu-abu. Aku ragu-ragu. Mencoba mencari dimana kamu sebenarnya tapi tak juga bisa kupastikan. Siang ini, langit abu-abu. Guntur berteriak. Awan memecah isinya. Aku tak juga bergerak.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi kembali.

Ini hujan. Jangan ngebut-ngebut. Nama Indra lagi-lagi tertera sebagai pengirim.

Iya. Kamu semoga langgeng sama dia.

Seandainya kamu yang ada disini sekarang. Sayangnya, kamu tak pernah bisa aku tebak. Tak pernah bisa ku pastikan. 

Tubuhku gemetar. Aku lunglai. Tapi mencoba menyalakan mobil dan bergegas pergi dari tempat ini. Menjauh. Menjauhkan bayangmu.





Keragu-raguan ini menakutiku. Kanvas milikmu, abu-abu.



"Sebab kamu disana. Menjadi daerah abu-abu ditengah hitam dan putih. Menjadi satu kemungkinan yang tak kunjung bisa dipastikan."