Pages

Sunday, September 25, 2011

Setidaknya Kau ..........

Kita tahu bentangan jalan ini tidak layak untuk dilewati. Jalan ini terlalu tandus, nyaris tak ada tumbuhan untuk sekedar menjadi tumpuan ditengah tapak setiap langkah. Nyaris tak ada bangunan untuk menjadi tempat persinggahan, atau paling tidak menjadi tempat bersandar untuk melepas sedikit lelah dan peluh yang terus menerus mengeluh. Aku hampir kehilangan akal. Aku hampir kehilangan arah. Dan tak tau apa-apa lagi selain ingin duduk diam dan berhenti.

Sudah terlalu banyak pagi kita lewati. Dari pagi yang sekedar biasa saja sampai pagi yang menurutku luar biasa. Sudah terlalu banyak senja yang kita arungi. Dan kita selalu tahu, perjalanan ini akan panjang. Hanya saja kita kurang paham. Terlebih aku. Ah, memang banyak yang aku tahu. Tapi semuanya mengerucut ketika dalam proses memahami. Kita, terlebih aku, tahu persis bahwa harus berjuang, tapi tak paham bagaimana harus berjuang. Kita tahu jalan yang harus ditempuh, tapi tak paham bagaimana cara menempuhnya. Begitulah. Sedangkan jalan ini menuntut kita untuk memiliki pemahaman yang tinggi.

Menyerah. Seharusnya begitu. Ketika kita tak paham apapun, maka sebaiknya menyerah sebelum akhirnya menyiksa diri sendiri. Mungkin akan lebih banyak jalan untuk tidak bertahan, hanya saja aku masih ingin bertahan. Lebih tepatnya, aku ingin kita bertahan. Ya. Aku bertahan untuk tetap sampai di seberang jalan. Tempat kau berdiri tegak. Dan kau bertahan untuk menanti, menatap, tetap berada disana. Setidaknya kau hanya perlu berkata "semua akan baik-baik saja". Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya kau hanya perlu tersenyum. Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya kau hanya perlu terus menatap. Dan aku tahu apa yang aku perjuangkan. Setidaknya tetaplah berada di seberang jalan sana. Tetaplah berada dalam pandanganku. Maka aku rasa aku mampu untuk tetap menelan jingga senja ditengah bentangan jalan ini, untuk bertahan.

Setidaknya aku tahu, kita punya jingga senja untuk dinikmati bersama. Nanti.

Wednesday, September 14, 2011

BATAS

Batas itu samar. Tipis. Dan hampir transparan. Batas antara ruang, ruang benar dan salah. Batas antar dua dunia, dunia waras dan tidak waras. Kau mungkin takkan pernah tahu bahwa dua hal yang jauh berbeda bisa saja tertukar atau mungkin sulit untuk kau bedakan. Ketika kau selalu berusaha mencari pembenaran dari kesalahan. Atau ketika segala hal yang benar mampu kau putar menjadi salah. Ketika hidup dalam ketidakwarasan ternyata menjadi mudah dan hidup dalam kewarasan menjadi hal yang menyiksa. Kau takkan pernah tahu.


Kenapa tidak batas itu setegas dinding? Hingga aku tak perlu meraba untuk memahami keberadaannya. Kenapa tidak batas itu sejelas fisik? Hingga aku mampu membedakan dengan pasti. Kenapa harus batas itu sehalus selaput? Mengecoh langkah kemudian menipu pandangan.


Dunia ini tidak waras dan sudah seharusnya aku berbalik. Tapi hidup dalam ketidakwarasan ternyata menjadi lebih mudah. Tak perlu rasionalisasi. Tak ada menganalisis. Dan yang terpenting, tak perlu memikirkan orang lain. Hanya aku. Cukup. Ruang ini salah dan sudah seharusnya aku keluar. Tak urung keluar, aku justru mencari pembenaran untuk tetap berada disini.


Kau takkan pernah tahu hati terkadang mengaburkan realita, memperjelas mimpi, dan mampu tetap bertahan hidup seperti itu. Kau takkan pernah tahu aku tak memahami apapun lagi untuk tetap mencinta.