Pages

Sunday, June 8, 2014

Seutas Janji Yang Terpenuhi dan Yang Teringkari

Janji.

Satu kata tersebut kumasukkan dalam kategori kata yang kubenci. Kata sederhana itu mampu menyulapmu serupa orang penuh hutang dengan debt collector yang akan mengejarmu dengan setia, lebih setia daripada kekasihmu. Atau mengubahmu seperti terdakwa pengadilan yang berhak dituntut jika tidak terpenuhi janjimu. Lebih parah lagi, ketika kata tersebut ternyata membuatmu menjadi seorang pengharap tidak rasional yang entah sengaja ataupun tidak mengikat kaki pada janji itu sendiri. Tak bersedia pergi kemanapun. Irasional. Bahkan justru mampu membuatmu menjadi seorang pemberi harapan yang menggantung orang lain hanya dengan seutas benang tipis. Sekali lalai, orang lain terluka.

Janji adalah kata yang sederhana. Terlalu sederhana. Hingga tak sadar kita akan dampaknya. Hingga segala kehati-hatian dikesampingkan. Sebab terlalu mudah dia diucap. Maka, aku membencinya. Sengaja kupenjarakan kata tersebut pada kerongkongan paling dalam. Aku kunci yang kuncinya sengaja ku buang ke sembarang sudut. Ah. Tapi aku tak tahu, mantra apa yang kamu gunakan sampai aku terhipnotis. Aku tak tahu, cara seperti apa yang kamu lakukan untuk menemukan kunci itu dan memberikannya padaku.

"Aku akan pergi." Katanya.
"Sampai kapan?" Begitu responku. Sejujurnya aku membenci responku sendiri. Untuk apa menanyakan sampai kapan?! Toh intinya kau akan pergi juga.
"Belum tahu. Belum bisa dipastikan. Tapi, bisa aku minta satu hal?" Ragu-ragu kau lontarkan pertanyaan itu. Ragu pula aku untuk mengangguk.
"Tunggu aku. Berjanjilah."
"Kamu tahu sendiri, aku tak pernah berjanji."

Ah! Permintaan itu sungguh keterlaluan. Kau meminta kata yang aku kurung dan kubenci -sejak aku paham atas konsekuensi dari kata itu- untuk muncul ke permukaan percakapan kita. Lalu, janji macam apa itu? Ketika aku bahkan tak tahu akan sampai kapan. Ketika kau sendiri tidak bisa memberikan garansi apapun untuk kembali. Ini ide gila!

"Kau tahu alasan aku tak pernah mau berjanji atas apapun? Karena masing pihak akan merasa terbebani. Karena masing pihak akan saling mengharap. Karena masing pihak bisa saja saling melukai. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sama sekali tidak mudah." Ucapku memberi alasan.

Ada jeda diam disini. Lama. Lama, sampai dingin menyergap sebab kita berdua, namun sendiri. Dalam pikiran masing-masing.

Kemudian akhirnya kau memecah keheningan.

"Yang aku tahu, dengan janjimu aku punya alasan untuk kembali pulang. Sebab aku butuh alasan untuk pulang. Sebab aku butuh pulang. Untuk alasan itu, tak bisakah kamu membuat sedikit perkecualian? Sekali sepanjang usiamu. Sekali."

Aku kalah. Seutas janji terikrar. Kau janji akan kembali, aku janji untuk menanti.

***

Sudah dua tahun lebih sejak kepergianmu. Hari ini, banyak sekali orang disini. Banyak sekali. Di rumahku. Sebagian besar memakai baju hitam. Sebagian lagi, bernuansa gelap. Hanya sedikit yang menggunakan warna sedikit cerah. Doa dan ucapan duka cita bergantian diucapkan oleh para tamu. Ayat-ayat Tuhan dibacakan sejak pagi tadi. Ada air muka sendu yang berusaha ditegarkan. Ada juga air mata yang pasrah dijatuhkan. Ada kata maaf yang diucapkan dari pihak keluargaku kepada tamu yang datang. Banyak sekali. Maaf yang diatasnamakan aku. Meski aku sendiri tidak ingat kapan aku pernah menitipkan maaf-maaf itu untuk disampaikan oleh keluargaku.

Dari sekumpulan orang yang ada disini, aku menangkap sosokmu. Meski jauh, aku bisa memastikan itu kau. Hanya saja, air mukamu tidak bisa kupastikan. Tidak jelas. Raut itu, entah apa maksudnya. Tatapan kosong tapi berisi. Tahu tujuan tapi hilang arah. Aku gagal menerka.

Perlahan langkahmu mendekat. Pada keluargaku. Pada petiku.

"Disa minta maaf. Untuk janji yang tidak sempat ditepati. Dia menitipkan ini." Susah payah ibu mengucapkan kalimat singkat itu padamu. Ada getar disana. Getar sebab ingin terlihat tegar. Sepucuk kertas itu diberikan padamu.

Tidak ada ucapan duka cita darimu. Tidak seperti tamu lain. Tidak pula ada ucapan doa darimu. Tidak sepatah katapun. Berlalu begitu saja setelah menerima sepucuk kertas itu. Duduk diantara banyak tamu, tapi terlihat sendiri. Diam. Dengan sepucuk kertas yang sama sekali tidak kau buka. Hanya tatapan lurus ke depan, tapi tidak terlihat menatap apapun.

Ada penyakit yang menemaniku tak lama sejak kau meninggalkan kota ini. Tak hanya menemani, ternyata ia pun menggerogoti. Sayangnya, tubuhku tidak cukup kuat untuk melawannya. Aku rasa tubuhku terlalu cepat menyerah. Untuk satu janji yang pernah aku ucap, aku ingin menepatinya. Satu-satunya janji yang pernah terikrar. Yang pernah terlontar. Tapi penyakitku tidak mengijinkan.  Seandainya, kau pulang lebih cepat. Barangkali aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku bisa menepati janjiku. Barangkali aku bisa pergi darimu tanpa harus menitipkan maaf pada ibu.

Aku tidak pandai berjanji, bukan? Satu-satunya janji yang kau minta, tidak juga aku lunasi. Sebab pada akhirnya, kau pulang setelah aku mengingkari janji. Setelah aku tidak bisa menanti. Kertas itu, tidak kunjung kau buka. Dan kau sama sekali tak berniat membukanya. Haruskah aku yang membacakan? Meski tak terdengar olehmu.

Maaf untuk tidak menanti. Terimakasih karena kembali.

Terlalu singkat sepucuk kertas itu untuk seorang yang telah mengingkari janji. Aku ingin menulis lebih banyak. Hanya saja, penyakitku menghilangkan beberapa persen fungsi tanganku. Pada dua kalimat itu saja, aku harus berdoa lebih banyak pada Tuhan agar bisa terbaca tulisanku olehmu.

Pada langkahmu, aku lekat. Pada setiap jejak kaki yang kau buat, aku mendampingi. Untuk tebusan sebuah janji yang aku ingkari.


Source: http://popcultureaddictlifeguide.blogspot.com

Thursday, February 27, 2014

Ada Yang Janggal Pada Hutan Kenanganmu

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Hampir tak ada gugur daun disini.
Kemana kau sembunyikan?
Atau memang kau larang pohon-pohon ini melepas sedikit beban mereka?
Agar tak terbaca kenanganmu oleh siapapun.
Termasuk kau.

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Kudengar pohon-pohon ingin berbicara padamu.
Tapi kau seolah tuli.
Kudengar daun-daun itu rindu jatuh, luruh pada tanah.
Rindu kau baca sebelum habis menyatu dengan bumi.
Tapi lagi-lagi kau seolah tak tahu.

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Pada kotak kaca tepat di tengah hutan.
Daun kenangan serupa kertas yang dirobek menjadi penghuninya.
Kelabu pekat melekat pada lembaran-lembaran daun itu.
Apa yang coba kau kurung?
Apa yang coba kau elak?

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Ketika aku merasa kenangan itu terlalu kuat untuk kau lepas.
Terlalu sakit untuk kau ingat.
Hingga mati-matian kau kurung dalam kotak kaca.
Agar tak terjamah oleh tangan namun tetap kau lihat.
Meski kau tolak.

Ara, tak ada yang salah dengan kelabu kenanganmu.
Sudah terlalu banyak kejanggalan disini.
Luruhkan saja.
Biar pohon melepas daun yang ingin jatuh untuk kau baca.
Kemudian hilang menjelma pupuk.
Biar pecah kotak kaca itu dan berhamburan kelabu milikmu.
Berhamburan dimakan angin.

Sebab, tak ada yang lebih bahagia.
Tak ada yang lebih bahagia dibanding menerima semua.

Wednesday, February 26, 2014

Sepucuk Surat Teruntuk Han

source: http://bhindthepen.com

Han, sungguh aku meminta maaf. Sebab surat ini akhirnya kutulis untukmu, meski belum kuputuskan akan memberikannya padamu atau tidak. Saat ini, aku hanya merasa aku harus mengalirkan semua. Harus. Kalau tidak, barangkali aku akan meledak serupa bom rakitan para teroris. Aku harus menuliskannya, meski entah akan kau baca, kusimpan, kukubur sampai kau menemukannya ketika rambut kita telah sama-sama memutih atau barangkali aku bakar seketika setelah selesai kutulis.

Jujur saja, aku masih berpikir bagaimana cara memulainya. Bagaimana cara menceritakan kisah yang aku pikir takkan pernah aku kisahkan, dulu. Terlebih padamu. Rajutan tinta ini, sungguh aku tidak tahu harus memulainya darimana. Sebab dulu, sempat aku berpikir akan menyimpan memori ini dalam absurdnya ingatan. Rahasia yang hanya dapat kubaca sendiri sampai otakku habis dimakan pikun. Tapi aku harus menuliskannya. Harus. Sebelum mati aku dihimpit sesak yang mendesak.

Han, kau sering kali bertanya doa apa yang aku kirimkan dengan pos kilat kepada Tuhan di setiap tahun tanggal kelahiranku. Kemudian, aku selalu mengatakan padamu bahwa doa itu rahasia orang yang berdoa dan Tuhan. Tidak boleh diberitahukan siapapun kalau ingin dikabulkan. Tetapi sampai saat ini, doaku belum dikabulkan, Han. Barangkali doaku sedang mengantri terhimpit dikerumunan doa-doa lain. Semoga doa itu tidak pingsan atau bahkan mati sebelum sampai ke pangkuan Tuhan. Maka, aku akan memberitahumu. Doaku. Yang setiap tahun selalu kau tanyakan. Aku akan mengatakan pada Tuhan bahwa ini akan menjadi rahasia Kita bertiga. Hanya bertiga. Aku, Tuhan, dan kau.

"Aku ingin mencintai Han. Sama seperti aku mencintai anak-anak kita ........................."

Selalu seperti itu setiap tahunnya. Selalu. Dalam 5 tahun terakhir. Sekarang kau tahu kan kenapa aku tidak pernah mau memberitahumu? Karena harusnya tidak perlu ada doa seperti itu. Seharusnya aku sudah cinta sejak tali pernikahan ini mengikat kita. Sejak janji sehidup semati menjadi kontrak tak terpatahkan. Atau bahkan seharusnya jauh sebelum itu.
 
Pernah dengan sukarela aku menjatuhkan rasa pada lelaki, sebelum dirimu. Aku menemukan benih diantara kami dan memutuskan untuk menanam benih itu dalam hati masing-masing tanpa tahu jenis dari benih tersebut. Kupikir barangkali itu benih mawar, lily atau mungkin justru benih pohon besar dan kuat. Dan kau tahu? Sialnya aku mengetahui apa jenis benih tersebut setelah menikah denganmu. Ilalang. Benih itu ilalang. Ilalang yang meski kurusak seperti apapun akan tetap bersikeras tumbuh. Yang meski kubiarkan tanpa air dan pupuk tetep mampu bertahan. Benih semacam itu, Han. Benih yang aku kutuk setiap hari. 

Benih itu pernah membuatku meminta pada Tuhan untuk mempertemukanku dengannya kembali, dan Tuhan mengiyakan permintaanku. Kau ingat, saat kita merayakan hari jadi pernikahan yang ke-3 bersama anak kita? Saat itu aku bertemu dengannya, Han. Ya. Lelaki yang menghampiri kita, berjabat tangan denganmu dan kusapa dengan gagu itu. Masih sangat kuingat bagaimana aku menahan lari jantung yang tiba-tiba menjadi hiperaktif. Masih kuingat senyum dipaksaan yang aku berikan sambil berdoa semoga kau tidak menyadarinya. Sejak saat itu aku tahu, aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Sebab benih itu masih terlalu kuat. Terlalu banyak. Dan aku belum menemukan cara untuk membasmi semuanya.

Kita akan baik-baik saja, Han. Aku akan membuatnya baik-baik saja. Percayalah, akan ada saatnya aku menemukan hati yang pernah kujatuhkan padanya. Dan aku janji, setelah aku menemukan hati itu seketika itu pula aku akan langsung memberikannya padamu. Aku akan menemukan benih kita. Benih untuk memenuhi lahan rasa yang kupunya agar tak ada tempat lagi bagi ilalang. Aku akan berdoa lebih keras lagi pada Tuhan.

"Aku ingin mencintai Han. Sama seperti aku mencintai anak-anak kita. Barangkali sama seperti aku mencintainya."

Seperti itu, berulang-ulang.