Pages

Monday, March 28, 2011

"...... Dan Nyatanya Menyayangimu ,,
Adalah Satu-satunya Hal Yang Tidak Membutuhkan Alasan .."


#edisigombal ..
"Kamu, adalah jawaban baik ,,
bahkan untuk pertanyaan buruk sekalipun .."


inspired by: a film

Friday, March 25, 2011

Kepada Pemilik Masa lalu

Kamu pemilik masa lalu. Masa yang memang kamu bentuk menjadi positif, berwarna dan berkisah. Aku sadar untuk itu. Dan aku tidak sedang dalam keadaan mengelak kehadiranmu di masa itu. Takkan pernah. Untuk tiga tahun atau mungkin justru lebih dari itu, Terimakasih.

Aku telah sampai di masa sekarang. Masa yang tidak lagi sama dengan masa yang menjadi milikmu dulu. Masa yang dalam setiap paragrafnya tak ada ada lagi namamu, atau kisahmu. Ini sudah menjadi hal yang berbeda. Buku-buku hidupku bukan lagi mengisahkan kamu. Kamu sudah terjilid dengan rapi dan kusimpan pada rak buku kehidupan ku yang hanya akan kubacakan ketika aku sedang ingin mengenang atau ketika orang bertanya tentangmu. Tapi, kamu sudah selesai. Kamu sudah tamat.

Tulisan ini bukan dalam rangka menghadirkan kamu kembali. Masamu telah habis. Aku hanya sedang kembali mengingatkan aku sendiri. Mengingatkan akhirmu. Lalu bagaimana dengan tamparan seseorang yang membuatku seperti orang tolol? Tamparan yang mengatakan bahwa kamu masih tetap ada. Kamu masih tetap hidup. Tidak hanya tersimpan. Aku bahkan tak pernah sadar semua itu. Aku harus bagaimana? Bagaimana cara mengakhiri hal yang bahkan tak sadar aku jalani? Aku percaya aku telah meletakkanmu pada rak buku itu. Entah di bagian mana. Atas, bawah, kanan atau kiri. Tapi kurasa aku sudah menyimpanmu dengan aman. Pasti. Lalu bagaimana caranya menjilid buku kisahmu saat ini? Saat aku bahkan tak tahu dan tak ingat kapan menuliskannya. Apa lagi yang harus kujilid?

Kamu harus berakhir. Berakhir dengan total. Karena seperti kataku tadi, kamu hanya menjadi pemilik masa lalu. Dan aku bukan orang yang hidup di masa lalu. Aku tak  bisa menjilidmu sekarang, karena bahkan untuk mengingat apa yang kutuliskan di masa sekarang tentangmu saja aku tak lagi mampu. Aku tak bisa mengakhirimu. Karena aku bahkan tak tahu kapan aku menjalaninya. Jadi, bagaimana kalau kamu saja yang tahu diri dengan semuanya? Kamu bisa mengakhiri dirimu sendiri. Kamu bisa menjilid kisahmu sendiri. Aku akan menyediakan tempat di rakku. Kamu hanya perlu berjalan dan membiarkan dirimu tersimpan disana. 

Aku tidak menyalahkan mu. Ini juga bukan maumu. Mungkin kamu memang sudah terlalu jauh berjalan dulu. Hingga sampai pada lorong ketidaksadaranku. Dan lorong itu yang tetap mengingatmu. Tapi kita harus mengakhiri semua. Benar kan? Maka, silahkan berjalan ke akhirmu. Silahkan memulai perjalanan untuk keluar dari lorong ketidaksadaranku. Tak apa jika harus melewati ruangan sadarku sejenak. Tak apa jika hanya dengan cara itu kamu selesai. 

"Berakhirlah. Aku sudah baik-baik saja."

Gadis Kecil dan Ayah

Cinta untukmu bukanlah seperti cinta pada orang lain. Cinta untukmu itu berarti mencintai dalam diam dan bukan dengan kata. Cinta untukmu itu berarti berbentuk tindakan. Cinta untukmu itu akan selalu berbentuk cinta dari anak kecil. Sederhana. Sesederhana Kau mengekspresikan segalanya. Sesederhana aku membuktikannya.

Cerita tentang kita, entah harus berapa banyak yang harus kutuliskan. 20 tahun lebih bukanlah waktu yang sedikit untuk dikisahkan. 20 tahun. Ternyata sudah selama ini kau memperjuangkan segalanya untukku. 20 tahun yang cukup sulit ya? Kau ternyata adalah orang hebat yang mampu bertahan selama 20 tahun ini, dan kurasa untuk 20 tahun kedepan kemudian 20 tahun kedepan lagi. Sampai aku berada pada titik tidak mampu mengisahkan lagi segala hal tentang kita, Kau tetaplah sosok hebat.

Jadi harus ku awali dari mana kisah kita? Bagaimana kalau tentang Kau yang selalu terlambat menyadari bahwa aku bukan lagi ada dalam kategori anak kecil? Ya. Saat semua orang mengatakan bahwa aku sudah besar dan pantas untuk dilepas di kota yang lain, Kau justru mengatakan dengan lantang bahwa aku masih terlalu kecil. Atau ketika semua orang menyatakan dengan jelas bahwa sebentar lagi mungkin akan ada upacara pernikahan yang harus kau adakan, Kau justru sibuk mempersiapkan lanjutan sekolah ku. Atau ketika semua orang menanyakan pasangan padaku, Kau sibuk menyuruhku kuliah. Atau ketika banyak orang merencanakan untuk bekerja pada usia 22 tahun, sedang Kau justru mengatakan aku masih terlalu kecil untuk bekerja. Dan usia 20 tahun ternyata tetap saja Kau pandang sebagai angka yang masih pantas disebut kecil. Entah pedoman mana yang Kau anut. Sampai sekarang akupun masih kurang mengerti.

20 tahun yang lalu, aku masih dalam gendongan mu. Dan saat ini seharusnya aku tidak lagi berhak mendapatkan gendongan, bukan? Kau tidak lagi muda. Aku bukan lagi bayi. Kau sudah mulai menua. Sedang aku dalam tahap pendewasaan. Pada nyatanya, aku tetap saja masih dalam gendongan mu. Meski dalam kuantitas yang berbeda. Jadi, apa itu berarti aku masih saja dipandang kecil? Saat ini, aku memandang foto mu yang mencium ku saat aku masih bayi. Kupikir, ciuman itu takkan pernah ada lagi. Kupikir ciuman itu hanya dianugrahkan untuk bayi-bayi mungil saja. Nyatanya, masih tetap ada ciuman itu untuk aku yang berusia 20 tahun. Lagi-lagi, apa ini karena Kau yang selalu memandang ku masih dalam sosok anak kecil? 

Paa, kisah ini ada bukan karena aku benci. Kisah ini ada bukan karena aku tak suka. Kisah ini justru kisah paling indah yang kurasa pantas untuk kupamerkan. Untuk ku ceritakan. Entah apa maksud dari segala tindakan mu, tapi biarlah aku menganggap ini adalah cara mu menyayangi ku. Biarlah aku menganggap ini adalah caramu menunda kedewasaan ku, agar Kau tak terlalu cepat melepaskan tanggung jawab mu atas aku. Biarlah aku menganggap ini adalah caramu untuk tetap memiliki gadis kecil mu dulu.

Maaf untuk segala hal yang kubantah atau harapan mu yang ku pupuskan. Maaf untuk tuntutan yang terlalu besar saat berhadapan dengan mu. Maaf untuk sayang yang tak pernah terucap. Maaf untuk kesulitan yang kuhadirkan. Atau kehadiran yang membuatmu bingung. Maaf untuk sikap kritis yang terlalu tajam. Maaf untuk perjalanan yang mungkin kurang Kau kehendaki.

Terimakasih untuk bertahan sampai pada titik ini. Terimakasih untuk keberadaan mu. Terimakasih untuk segala perjuangan. Terimakasih untuk usahamu. Terimakasih untuk kisah yang dulu sering kau ceritakan. Terimakasih untuk pengorbanan. Terimakasih untuk prioritas yang Kau ciptakan untuk keluarga. Terimakasih untuk pelajaran hidup yang sering Kau gambarkan. Terimakasih untuk hal-hal terbaik yang selalu Kau coba untuk dihadirkan. Terimakasih untuk kebanggaan yang tetap ada meski aku tak pernah sesuai dengan ekspektasi mu.

Aku masih akan tetap menjadi gadis kecil mu, Paa. 

Hati, Cukuplah Berhati-hati

Apa kabar, Hati? Baik-baikkah? Kurasa masih akan baik-baik saja. Atau mungkin hanya berpura-pura baik? Baik ataupun tidak, ku rasa kamu masih akan tetap bertahan pada tempatmu, bukan? Anggaplah segalanya baik-baik saja dan kalaupun tidak, aku tahu kau adalah aktris yang terlampau canggih untuk memerankan peran baik-baik saja. Kau mampu terlihat baik-baik saja ketika segala hal berubah menjadi buruk. Aku tahu. Dan aku berterimakasih untuk itu.

Sekarang, lepaskanlah sejenak topeng kebaikan mu. Dan sedikit jujurlah padaku. Pada aku yang notabene adalah pemilikmu. Bukankah ini sudah terlalu lama? Terlalu lama membentengi dirimu dengan susunan batu bata yang bahkan kau bangun tanpa menyediakan pintu ataupun jendela. Seperti tak rela membuat celah, tak rela membuka atau tak rela dihancurkan.

Jangan membela diri. Aku sudah tahu. Aku tahu apa yang kau alami untuk kemudian memutuskan berdiam diri dalam benteng yang kau bangun. Tapi ini sudah terlalu lama. Kau sudah cukup lama melindungi dirimu sedemikian rupa. Menutup segala kemungkinan untuk memasukimu, menghalau kesedihan bahkan sebelum dia sampai pada berandamu. Ya, aku memang sedang memahami bentuk perlindungan mu. Dan aku mengharapkan hal yang sama darimu. Untuk memahami kau, aku, logika dan sekitar kita.

Ini bukan hanya tentangmu. Tentang melindungimu. Tapi ini tentang keseluruhanku. Dan keseluruhanku meminta mu untuk sedikit membuat celah. Sedikit saja, dan kita hanya akan membiarkan celah itu melebar perlahan. Tidak sulit, bukan? Setidaknya, biarkan benteng mu memiliki pintu dan jendela. Kau harus melihat hal-hal yang selama ini tertutupi. Atau kau pilih untuk menutupi. Kau harus melihat bahwa masih banyak warna yang mampu melapisi dinding mu. Kau harus tahu bahwa hijau tidak hanya ada pada halaman belakang mu, tapi juga pada taman yang ada di depan mu. Kita akan belajar. Belajar bagaimana menghias mu. Jadi, rubahlah benteng mu meski hanya sedikit. Tidakkah kau lihat kekosongan yang dengan jelas mengisimu? Dengan gagah mendampingimu?

Berhentilah ketakutan akan kehancuran. Hancur bukanlah hal yang patut untuk ditakuti. Kau harus ingat bahwa kau akan tetap mampu baik-baik saja bahkan ketika segala hal berubah menjadi buruk. Kau akan mampu merekonstruksi ulang dirimu bahkan ketika kau hancur. Kau pemilik kekuatan. Maka hancur bukanlah hal yang layak untuk ditakuti.

Hiduplah sebagaimana seharusnya kau hidup. Hati, kau hanya perlu berhati-hati. Bukan menutupi.

Thursday, March 17, 2011

"Rasa Ini Tertahan,,
Namun Justru Semakin Hebat Bertahan .."

Friday, March 4, 2011

Akhir Skenario

Mengapa tak kau akhiri saja bila pada akhirnya tetap saja menyakitkan? Mengapa tak kau akui saja bahwa tak ada lagi nama ku dalam lembar kamus hidupmu? Hingga pada akhirnya takdir membawa ku pada kisah yang telah ditentukannya. Pada skenario terapih yang dipersiapkannya. Hingga pada akhirnya aku melihat mu melingkarkan pelukmu pada seorang wanita dengan sayang, dan itu bukan aku.

"Aku melihatnya. Aku melihat wanita itu." Ucapku padanya beberapa hari setelah kejadian yang mengharuskan indera penglihatanku menangkap sang objek. Usahaku berhasil. Usaha untuk tidak terlihat rentan. Usaha untuk terlihat tenang, seolah segala hal memang telah kupersiapkan sebelumnya.
"Wanita?" Ucapmu sedikit kaget.
"Ya. Wanita yang kau pilih sebagai sandaran tanganmu. Lalu bagaimana dengan kita?" Aku masih menahan hati yang meronta. Aku masih menahan air yang tertahan pada pelupuk mata. Aku masih meyakini, aku mampu baik-baik saja. Dan aku masih mengharapmu menentang pernyataan ku.
Kau sedikit menunduk. Menatapku. Lekat. Entah apa yang kau cari. Entah apa yang kau pandang dalam air wajah ku. Dan kau berkata lirih "Maaf."

Itukah? Hanya itukah? Hanya kata maaf yang harus ku definisikan sendiri?! Aku mengharap penentangan mu. Atau kalaupun memang segalanya benar, aku mengharap kau memaksa ku mendengarkan rentetan panjang kalimat penjelasan mu. Aku membalas menatap mu. Nanar. Meski tak menangis. Aku hanya benar-benar ingin menatap mu. Mengamati mu. Menatap lelaki yang membuat ku merajut harapan didepan mata, hingga akhirnya menghalangi pandangan. Hingga mengaburkan realita.

"Maaf." Ulangnya lagi. "Kau boleh marah, kecewa, benci atau memukul ku kalau kau rasa semua itu perlu. Tapi, Maaf."

Tidak. Ini tidak lagi tertahan. Pertahanan ku pecah sudah. Bendungan yang kuciptakan pada mataku akhirnya pecah juga. Dan membiarkan airmata mengaliri wajah dengan lunglainya. Ya! Aku memang ingin membenci mu. Namun, hati seperti menutup rapat ruang yang menjadi milik mu. Hati seperti melindungimu dari benci yang ingin kuciptakan. Cukup, aku hanya tak mampu lagi mengisahkan. Entah apakah ini definisi yang kau maksud dengan benci atau bukan. Aku hanya tak mampu lagi menuliskan lembar-lembar skenario yang telah kupersiapkan untuk menoreh tentang kita.

"Pergilah. Aku tak mungkin mampu bertarung dengan hati."