Pages

Friday, March 4, 2011

Akhir Skenario

Mengapa tak kau akhiri saja bila pada akhirnya tetap saja menyakitkan? Mengapa tak kau akui saja bahwa tak ada lagi nama ku dalam lembar kamus hidupmu? Hingga pada akhirnya takdir membawa ku pada kisah yang telah ditentukannya. Pada skenario terapih yang dipersiapkannya. Hingga pada akhirnya aku melihat mu melingkarkan pelukmu pada seorang wanita dengan sayang, dan itu bukan aku.

"Aku melihatnya. Aku melihat wanita itu." Ucapku padanya beberapa hari setelah kejadian yang mengharuskan indera penglihatanku menangkap sang objek. Usahaku berhasil. Usaha untuk tidak terlihat rentan. Usaha untuk terlihat tenang, seolah segala hal memang telah kupersiapkan sebelumnya.
"Wanita?" Ucapmu sedikit kaget.
"Ya. Wanita yang kau pilih sebagai sandaran tanganmu. Lalu bagaimana dengan kita?" Aku masih menahan hati yang meronta. Aku masih menahan air yang tertahan pada pelupuk mata. Aku masih meyakini, aku mampu baik-baik saja. Dan aku masih mengharapmu menentang pernyataan ku.
Kau sedikit menunduk. Menatapku. Lekat. Entah apa yang kau cari. Entah apa yang kau pandang dalam air wajah ku. Dan kau berkata lirih "Maaf."

Itukah? Hanya itukah? Hanya kata maaf yang harus ku definisikan sendiri?! Aku mengharap penentangan mu. Atau kalaupun memang segalanya benar, aku mengharap kau memaksa ku mendengarkan rentetan panjang kalimat penjelasan mu. Aku membalas menatap mu. Nanar. Meski tak menangis. Aku hanya benar-benar ingin menatap mu. Mengamati mu. Menatap lelaki yang membuat ku merajut harapan didepan mata, hingga akhirnya menghalangi pandangan. Hingga mengaburkan realita.

"Maaf." Ulangnya lagi. "Kau boleh marah, kecewa, benci atau memukul ku kalau kau rasa semua itu perlu. Tapi, Maaf."

Tidak. Ini tidak lagi tertahan. Pertahanan ku pecah sudah. Bendungan yang kuciptakan pada mataku akhirnya pecah juga. Dan membiarkan airmata mengaliri wajah dengan lunglainya. Ya! Aku memang ingin membenci mu. Namun, hati seperti menutup rapat ruang yang menjadi milik mu. Hati seperti melindungimu dari benci yang ingin kuciptakan. Cukup, aku hanya tak mampu lagi mengisahkan. Entah apakah ini definisi yang kau maksud dengan benci atau bukan. Aku hanya tak mampu lagi menuliskan lembar-lembar skenario yang telah kupersiapkan untuk menoreh tentang kita.

"Pergilah. Aku tak mungkin mampu bertarung dengan hati."

0 comments:

Post a Comment