Pages

Tuesday, September 20, 2016

Aku ini...

Aku ini pelari maraton
Yang seolah lari menjauh darimu
Lari terengah-engah
Pincang dimakan lelah
Dan lupa bahwa garis akhir pelarian adalah tempat yang sama dengan titik awal

Aku ini pemimpi yang gila
Yang seolah lari menjauh darimu
Memilih dibuai malam mimpi
Habis ditelan gelap yang pekat
Dan tak sadar bahwa ada pagi yang akan mengembalikanku pada nyata

Aku ini pengendara
Yang seolah lari menjauh darimu
Sibuk mencari tempat singgah
Tersesat ditemani peta kumal teronggok di kursi penumpang
Dan tak tahu bahwa akhir perjalananku adalah tempatmu berpijak





Ini aku, yang pergi, tapi berakhir padamu.




           
Picture: https://id.pinterest.com/pin/397653842074335350/

Wednesday, January 6, 2016

Mengalirlah, Untuk Hidupmu

Dari sekian banyak teman wanita yang pernah aku kenal, kamu lah yang entah aku tak tau atau memang kamu sulit ditebak. 

Sudah ku temui wanita dengan berbagai latar dan seluk beluk, tapi kamu memang berbeda. Aku tak tau, ntah aku yang memang kurang tajam dalam penglihatan, atau memang dirimu yang sengaja menjadi samar, agar semua tetap pada keadaan seperti biasanya.
 
Aku tau, di dalam dirimu sebenarnya mengalir berliter-liter air kehidupan yang suatu saat nanti akan kamu berikan semuanya kepada orang yang tepat. Ntah, suatu waktu itu pasti akan datang. Kamu, tenang dalam pikiran dan perbuatan. Bagaikan air, yang tak pernah bisa ditebak kemana arusnya. Dari hilir ke hulu atau sebaliknya. Padahal semua tau, air selalu mengalir dari yng tinggi ke tempat rendah. Tapi bukan itu, bukan itu yang aku tuliskan disini. Melainkan arus, arus airmu. Arus kehidupanmu, kemana akan kau muarakan? Ke lautan luas, atau hanya ke sebidang petak tanah sawah, kecil memang, tp mungkin sangat berarti untuk kelangsungan hidup seseorang. 

Hadirmu yang melepaskan dahaga, menyejukkan, dan kadang berbahaya jika dalam jumlah besar, sepeti banjir bandang.
 
Tetaplah seperti air, sejuk dalam sentuhan, hangat dalam seduhan kopi, dan penghilang lelah ketika mandi. Bermuaralah kemana pun kamu mau, karna engkau air. Yang bebas mengalir kemana saja. 


Written by: Hendrik Nova Adiyatma 

***

Tulisan dari seorang teman tentang saya (kipiknya). Sekarang saya tahu kenapa laki-laki ini disebut Raja Kipik oleh adek bontot saya.

Berhujanlah kata-kata, kawan. Sebab lewat mereka, kamu tahu hakikat kemerdekaan yang sebenarnya.

Saturday, January 2, 2016

day 6# - untuk Via dan ruang biru

Selamat malam, Kesederhanaan.

tidak, aku tidak akan menyapa si Kesederhanaan. aku tidak akan bicara dengan sang Kesederhanaan. aku akan langsung bicara denganmu, Via.


aku mau kamu tau, aku rindu ruang birumu. ruang biru dan hampir semua biru. warna bodoh. bodoh karena kamu lah yang menyukainya. aku rindu isinya dan sekitarnya, kecuali pemiliknya. karena kamu harus tau, aku semacam membutuhkanmu. aku butuh kesederhanaanmu untuk menghentikanku menjadi Sang Berlebih. aku butuh kecukupanmu untuk menyumbatku mengeluh. aku butuh positifmu untuk mengalihkan negatifku.


aku butuh ruang birumu. bukan untuk menyaksikan salju vulkanik jatuh dari langit pertama kali seumur hidup, tapi untuk membunuh waktu bersamamu. sebenarnya kamu teladan paling baik untuk segalanya. aku tak tau akan dimana lagi mengenal sosok yang mampu selalu baik baik saja dalam menjalani hidupnya. entah dimana lagi ada sosok yang punya segalanya tapi mampu berlaku biasa saja, sekaligus sosok yang saat tak memiliki mampu berlaku seperti segalanya telah terpenuhi.


aku mau ruang birumu. bukan untuk menumpang koneksi internet, tapi untuk mendengar kalimat-kalimat yang selalu bodoh keluar dari mulutmu. kalimat jenaka, dan kenapa kamu tak menjadi pelawak atau sekedar pembodoh saja? aku tak tahu bagaimana jalan pikirmu. bagaimana jalan rasamu. bagaimana otakmu, bagaimana hatimu. tapi bolehkah aku meminjam dan mengopi sedikit? walaupun aku tau otakmu secadas underoath dengan IQ ratusan berpangkat dua, aku masih tak paham. aku tak paham bagaimana kamu bisa tenang saat berpapasan dengan apapun. atau mungkin hanya tampak tenang? kalau begitu paling tidak beritahu aku bagaimana caranya tampak selalu tenang. dan baik baik saja.


aku merindukan ruangan biru bodohmu. bukan hanya rindu helai rambut berserakan, tapi semua isinya dengan nyanyianmu beserta pilihan lagu yang selalu idiot dengan raut wajah paling polos. dan kamu. sungguh. aku rasa aku akan butuh itu selamanya. apakah aku bisa? sepertinya aku akan butuh bicara denganmu selamanya. apa bisa? aku akan butuh berbagi, bercerita, bertanya, dan bahkan berteori denganmu selamanya, seseringnya. apa mungkin? aku tak tahu akan dengan cara apa lagi aku menemukan orang yang mampu memproses dan menerima informasi apapun. APAPUN! sistem saraf pusatmu memang ksatria. akan seperti apa lagi aku mengenal orang yang mampu mendengar dan memahami apapun bentuk aksara. kepribadianmu memang raja.


sesungguhnya aku tak perlu menulis surat. aku bahkan sudah pernah menulis surat cinta penuh gombalan untukmu. toh kamu sudah tau dan kapanpun aku bisa menyampaikan langsung padamu. tapi aku rasa kamu pantas di abadikan dalam satu bentuk berbeda. dan inilah seadanya. bersenang-senang lah dalam liburanmu. karena kami disini juga bersenang-senang tanpamu dan akan segera membuatmu iri. salam untuk Lombok, anggap saja dari Defri yang rindu pulang walau sesungguhmya salam itu dariku untukmu.





Selamat malam, Via. 


source: http://cobacekajadulu.blogspot.co.id/2011/01/day-6-untuk-via-dan-ruang-biru.html

Note:
tulisan pertama dan terakhir dari adik bungsu yang selalu menjadi yang paling muda untuk apapun. bahkan perkara "pulang" kepada Sang Maha Pencipta pun tetap saja yang paling muda. kamu "pulang" terlalu cepat, bon. semoga kamu senang bisa bermain lebih lama. Amin.

Yang Tidak Bersedia Beranjak

Pada tiap-tiap kepergian, akan selalu ada kekosongan yang ditinggalkan. Celah-celah yang sempat terisi tidak serta merta tertutup seketika setelah ditinggalkan pemiliknya. Pada tiap-tiap kepergian, akan selalu ada alat pemutar waktu otomatis di dalam kepala pemilik kenangan yang kadang dengan sedikit memaksa menyeretnya untuk tenggelam dalam kolam memori. Aku tahu itu. Kau tahu itu. Tidak pernah ada yang mudah untuk menghadapi kepergian. Tidak pernah.

Ada hukum alam dalam satu hubungan. Bahwa pihak yang lebih kuat yang akan meninggalkan terlebih dahulu. Bahwa pihak yang lebih lemah harus rela menunggu waktu datang untuk menghapus lukisan-lukisan peninggalan yang tertempel disegala sisi dinding ruang. Begitu katanya. Atau justru harus benar ikhlas jika lukisan-lukisan itu tidak bersedia dihapus dan memaksa menjadi dekorasi ruangan yang tidak diinginkan.

"Bukan aku seharusnya yang bersikeras berdiri di sisimu. Aku tidak punya hak menghalangimu bergerak dari hidupmu saat ini. Kita harus saling melepaskan. Saling meninggalkan. Sebelum melukai satu sama lain." Begitu keputusanmu. Keputusan sepihak yang semena-mena, menurutku.  
 
Langkah kaki kepergianmu menggema di ujung jalan setapak. Langkah kaki kepergianmu aku hitung dalam hati sampai lelah. Langkah kaki kepergianmu meninggalkan jejak yang kemudian hilang dihembus angin. Sedang aku mengecil di ujung jalan lainnya, berusaha bertahan dari langkah kakimu yang menjauh namun perlahan menusuk hati. Semakin jauh semakin menusuk tajam.

Ditinggalkan adalah perkara menguatkan diri dari semua benda disekitarku yang membicarakanmu. Ditinggalkan adalah perkara menjadi tuli untuk setiap berita tentangmu. Atau ditinggalkan adalah perkara melenyapkan semua jejak tentangmu. Tapi aku bisa apa? Aku bisa apa ketika ruang kosong yang tercipta setelah aku melenyapkan segalanya tetap saja berbicara tentangmu?! Ketika pigura-pigura yang kupecahkan tetap berteriak namamu.

"Pergilah. Kamu layak mendapatkan cinta yang baru." Bisikmu terakhir kali. Seperti sudah terlalu lelah berkata-kata.

Kakiku tidak bersedia beranjak kemanapun. Tidak bersedia dilangkahkan kemanapun meski bersikeras kau dorong pergi.

Aku percaya, hati memilih caranya sendiri untuk bertahan hidup. Untuk baik-baik saja. Memintaku menunggumu adalah salah satu cara untuk membuat hati bertahan hidup. Memintaku menggantungkan harap bahwa kau akan kembali adalah cara hati menjadi baik-baik saja.

Sebab itu, dititik ini aku menunggumu. Ditemani waktu yang terombang-ambing ketidakpastian.