Pada
tiap-tiap kepergian, akan selalu ada kekosongan yang ditinggalkan.
Celah-celah yang sempat terisi tidak serta merta tertutup seketika
setelah ditinggalkan pemiliknya. Pada tiap-tiap kepergian, akan selalu
ada alat pemutar waktu otomatis di dalam kepala pemilik kenangan yang
kadang dengan sedikit memaksa menyeretnya untuk tenggelam dalam kolam
memori. Aku tahu itu. Kau tahu itu. Tidak pernah ada yang mudah untuk
menghadapi kepergian. Tidak pernah.
Ada
hukum alam dalam satu hubungan. Bahwa pihak yang lebih kuat yang akan
meninggalkan terlebih dahulu. Bahwa pihak yang lebih lemah harus rela
menunggu waktu datang untuk menghapus lukisan-lukisan peninggalan yang
tertempel disegala sisi dinding ruang. Begitu katanya. Atau justru harus
benar ikhlas jika lukisan-lukisan itu tidak bersedia dihapus dan
memaksa menjadi dekorasi ruangan yang tidak diinginkan.
"Bukan
aku seharusnya yang bersikeras berdiri di sisimu. Aku tidak punya hak
menghalangimu bergerak dari hidupmu saat ini. Kita harus saling
melepaskan. Saling meninggalkan. Sebelum melukai satu sama lain." Begitu
keputusanmu. Keputusan sepihak yang semena-mena, menurutku.
Langkah kaki kepergianmu menggema di ujung jalan setapak. Langkah kaki kepergianmu aku hitung dalam hati sampai lelah. Langkah kaki kepergianmu meninggalkan jejak yang kemudian hilang dihembus angin. Sedang aku mengecil di ujung jalan lainnya, berusaha bertahan dari langkah kakimu yang menjauh namun perlahan menusuk hati. Semakin jauh semakin menusuk tajam.
Ditinggalkan adalah perkara menguatkan diri dari semua benda disekitarku yang membicarakanmu. Ditinggalkan adalah perkara menjadi tuli untuk setiap berita tentangmu. Atau ditinggalkan adalah perkara melenyapkan semua jejak tentangmu. Tapi aku bisa apa? Aku bisa apa ketika ruang kosong yang tercipta setelah aku melenyapkan segalanya tetap saja berbicara tentangmu?! Ketika pigura-pigura yang kupecahkan tetap berteriak namamu.
"Pergilah. Kamu layak mendapatkan cinta yang baru." Bisikmu terakhir kali. Seperti sudah terlalu lelah berkata-kata.
Kakiku tidak bersedia beranjak kemanapun. Tidak bersedia dilangkahkan kemanapun meski bersikeras kau dorong pergi.
Aku percaya, hati memilih caranya sendiri untuk bertahan hidup. Untuk baik-baik saja. Memintaku menunggumu adalah salah satu cara untuk membuat hati bertahan hidup. Memintaku menggantungkan harap bahwa kau akan kembali adalah cara hati menjadi baik-baik saja.
Sebab itu, dititik ini aku menunggumu. Ditemani waktu yang terombang-ambing ketidakpastian.
0 comments:
Post a Comment