Pages

Thursday, February 27, 2014

Ada Yang Janggal Pada Hutan Kenanganmu

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Hampir tak ada gugur daun disini.
Kemana kau sembunyikan?
Atau memang kau larang pohon-pohon ini melepas sedikit beban mereka?
Agar tak terbaca kenanganmu oleh siapapun.
Termasuk kau.

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Kudengar pohon-pohon ingin berbicara padamu.
Tapi kau seolah tuli.
Kudengar daun-daun itu rindu jatuh, luruh pada tanah.
Rindu kau baca sebelum habis menyatu dengan bumi.
Tapi lagi-lagi kau seolah tak tahu.

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Pada kotak kaca tepat di tengah hutan.
Daun kenangan serupa kertas yang dirobek menjadi penghuninya.
Kelabu pekat melekat pada lembaran-lembaran daun itu.
Apa yang coba kau kurung?
Apa yang coba kau elak?

Ada yang janggal pada hutan kenanganmu.
Ketika aku merasa kenangan itu terlalu kuat untuk kau lepas.
Terlalu sakit untuk kau ingat.
Hingga mati-matian kau kurung dalam kotak kaca.
Agar tak terjamah oleh tangan namun tetap kau lihat.
Meski kau tolak.

Ara, tak ada yang salah dengan kelabu kenanganmu.
Sudah terlalu banyak kejanggalan disini.
Luruhkan saja.
Biar pohon melepas daun yang ingin jatuh untuk kau baca.
Kemudian hilang menjelma pupuk.
Biar pecah kotak kaca itu dan berhamburan kelabu milikmu.
Berhamburan dimakan angin.

Sebab, tak ada yang lebih bahagia.
Tak ada yang lebih bahagia dibanding menerima semua.

Wednesday, February 26, 2014

Sepucuk Surat Teruntuk Han

source: http://bhindthepen.com

Han, sungguh aku meminta maaf. Sebab surat ini akhirnya kutulis untukmu, meski belum kuputuskan akan memberikannya padamu atau tidak. Saat ini, aku hanya merasa aku harus mengalirkan semua. Harus. Kalau tidak, barangkali aku akan meledak serupa bom rakitan para teroris. Aku harus menuliskannya, meski entah akan kau baca, kusimpan, kukubur sampai kau menemukannya ketika rambut kita telah sama-sama memutih atau barangkali aku bakar seketika setelah selesai kutulis.

Jujur saja, aku masih berpikir bagaimana cara memulainya. Bagaimana cara menceritakan kisah yang aku pikir takkan pernah aku kisahkan, dulu. Terlebih padamu. Rajutan tinta ini, sungguh aku tidak tahu harus memulainya darimana. Sebab dulu, sempat aku berpikir akan menyimpan memori ini dalam absurdnya ingatan. Rahasia yang hanya dapat kubaca sendiri sampai otakku habis dimakan pikun. Tapi aku harus menuliskannya. Harus. Sebelum mati aku dihimpit sesak yang mendesak.

Han, kau sering kali bertanya doa apa yang aku kirimkan dengan pos kilat kepada Tuhan di setiap tahun tanggal kelahiranku. Kemudian, aku selalu mengatakan padamu bahwa doa itu rahasia orang yang berdoa dan Tuhan. Tidak boleh diberitahukan siapapun kalau ingin dikabulkan. Tetapi sampai saat ini, doaku belum dikabulkan, Han. Barangkali doaku sedang mengantri terhimpit dikerumunan doa-doa lain. Semoga doa itu tidak pingsan atau bahkan mati sebelum sampai ke pangkuan Tuhan. Maka, aku akan memberitahumu. Doaku. Yang setiap tahun selalu kau tanyakan. Aku akan mengatakan pada Tuhan bahwa ini akan menjadi rahasia Kita bertiga. Hanya bertiga. Aku, Tuhan, dan kau.

"Aku ingin mencintai Han. Sama seperti aku mencintai anak-anak kita ........................."

Selalu seperti itu setiap tahunnya. Selalu. Dalam 5 tahun terakhir. Sekarang kau tahu kan kenapa aku tidak pernah mau memberitahumu? Karena harusnya tidak perlu ada doa seperti itu. Seharusnya aku sudah cinta sejak tali pernikahan ini mengikat kita. Sejak janji sehidup semati menjadi kontrak tak terpatahkan. Atau bahkan seharusnya jauh sebelum itu.
 
Pernah dengan sukarela aku menjatuhkan rasa pada lelaki, sebelum dirimu. Aku menemukan benih diantara kami dan memutuskan untuk menanam benih itu dalam hati masing-masing tanpa tahu jenis dari benih tersebut. Kupikir barangkali itu benih mawar, lily atau mungkin justru benih pohon besar dan kuat. Dan kau tahu? Sialnya aku mengetahui apa jenis benih tersebut setelah menikah denganmu. Ilalang. Benih itu ilalang. Ilalang yang meski kurusak seperti apapun akan tetap bersikeras tumbuh. Yang meski kubiarkan tanpa air dan pupuk tetep mampu bertahan. Benih semacam itu, Han. Benih yang aku kutuk setiap hari. 

Benih itu pernah membuatku meminta pada Tuhan untuk mempertemukanku dengannya kembali, dan Tuhan mengiyakan permintaanku. Kau ingat, saat kita merayakan hari jadi pernikahan yang ke-3 bersama anak kita? Saat itu aku bertemu dengannya, Han. Ya. Lelaki yang menghampiri kita, berjabat tangan denganmu dan kusapa dengan gagu itu. Masih sangat kuingat bagaimana aku menahan lari jantung yang tiba-tiba menjadi hiperaktif. Masih kuingat senyum dipaksaan yang aku berikan sambil berdoa semoga kau tidak menyadarinya. Sejak saat itu aku tahu, aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Sebab benih itu masih terlalu kuat. Terlalu banyak. Dan aku belum menemukan cara untuk membasmi semuanya.

Kita akan baik-baik saja, Han. Aku akan membuatnya baik-baik saja. Percayalah, akan ada saatnya aku menemukan hati yang pernah kujatuhkan padanya. Dan aku janji, setelah aku menemukan hati itu seketika itu pula aku akan langsung memberikannya padamu. Aku akan menemukan benih kita. Benih untuk memenuhi lahan rasa yang kupunya agar tak ada tempat lagi bagi ilalang. Aku akan berdoa lebih keras lagi pada Tuhan.

"Aku ingin mencintai Han. Sama seperti aku mencintai anak-anak kita. Barangkali sama seperti aku mencintainya."

Seperti itu, berulang-ulang.