Pages

Wednesday, January 2, 2013

Rel Pertemuan Semu

Reska

Kamu. Masihkah rela menengadahkan kepala pada langit malam untuk melihat sebaran cahaya kecil diantara gelap pekatnya? Bagaimana dengan malam nanti? Kurasa malam nanti, langit tak mampu menyajikan apa-apa kehadapan mu. Kecuali ribuan percikan cahaya warna warni yang memang dijanjikan menyala disaat yang sama. Barangkali bintang mu sembunyi di balik kabut asap hasil dari setiap pecikan itu. Masihkah kamu akan bersedia duduk lama pada loteng yang selalu memelukmu tiap malam, malam ini?

Hari ini, penghuni dunia akan ada dalam euforia yang sama. Aneh memang. Hanya untuk mengganti kalender lama yang sudah mulai lusuh di pojok rumah saja, mereka rela untuk repot-repot membuat rencana. Menukar pundi-pundi uang dengan terompet atau petasan yang tiba-tiba menjamur menjadi aksesoris pinggir jalan yang dijual.

"Kamu selalu saja sinis tentang semua hal yang menjadi euforia bagi semua orang." Komentarmu.
"Bukan sinis. Aku hanya heran dengan sikap orang yang latah." Aku membela diri.
"Biarkan saja. Toh, mereka senang dengan kelatahan mereka. Sama dengan kamu yang senang dengan arah berlawanan-mu."
"Bukan berlawanan arah, hanya saja merasa tak perlu untuk menghebohkan segala hal dengan berlebihan."
"Sudahlah. Kamu memang selalu seperti itu." Kamu menyudahi perdebatan.

Kamu mungkin tahu aku membenci tanggal ini. Selalu. Kamu mungkin tahu sejak fajar tadi aku sudah memaki matahari karena tak bersedia meloncatkan diri. Sehingga tetangga depan rumah pun sudah memulai meniupkan terompet yang menurutku miskin nada itu. Yang kamu tidak tahu, aku lebih membenci tanggal ini di tahun ini. Sebab atap langit kita berbeda. Sebab dinding kita adalah puluhan kota. Sebab memoriku merekam kepergianmu pada tanggal ini, di tahun lalu. Sebab sejak itu, kamu tak ada. Menghilang. Aku benci karena banyak sebab.

"Lo yakin mau nyamperin dia?" Tanya temanku. Dan hanya kubalas dengan menunjukkan karcis kereta yang menempel pada tangan kananku. "Bukannya lo bakalan tambah BT disana? Itu bukan tipe kota yang bakalan lo suka." Lanjutnya.
"Gue disana cuma semalem. Pagi gue balik. Jadi, gue nggak harus suka sama tu kota buat sampe disana nanti malem." Jawabku.
"Kalo lo kesana, lo harus janji datengin dia. Nyatain apa yang selama ini cuma lo biarin hidup di hati lo. Ini udah setaun, kalo lo nggak bisa juga, gue ragu lo laki-laki atau bukan." Ucapnya sambil menyelipkan kertas dengan dua baris tulisan. Suatu alamat.

Matahari mulai meredam sinarnya. Keretaku sore ini. Menurut jadwal, aku akan sampai di kotamu pukul 23.32 WIB. Kereta musim tahun baru. Mungkin seharusnya aku menamakannya seperti itu. Beberapa anak kecil meniup terompetnya disusul dengan omelan dari orangtua mereka. Di depan pintu kereta beberapa pedagang tidak lagi berteriak berbagai merek minuman atau makanan tetapi berganti dengan meneriakkan perlengkapan tahun baru. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.

15 menit sebelum terompet-terompet ditiupkan dengan brutal dan tanpa peraturan. 15 menit sebelum percikan cahaya warna-warni mengganti posisi bintang. 15 menit sebelum teriakan-teriakan sedikit buta nada menguadara. Aku sampai pada stasiun kotamu. Dengan secarik kertas berisi dua baris tulisan di kantong celana jeans. Aku keluar menelantarkan diri dipinggiran jalan dekat stasiun yang merupakan pusat kota ini dan disulap menjadi lautan manusia. Benar saja, beberapa menit kemudian terompet, kembang api, petasan dan segala hal bermusim tahun baru mengkolaborasikan diri menjadi kolaborasi abstrak dan dimainkan dengan tidak manusiawi. Di tengah malam.

Pandanganku terpaku, melihat ribuan percikan cahaya dilemparkan pada langit. Adakah kita melihat percikan yang sama? Carik kertas itu masih setia kubiarkan tertidur dalam saku celanaku. Barangkali hanya ini yang aku inginkan. Merasa bahwa kita satu langit. Dinding antar kita menipis. Bahwa aku dan kamu memiliki probabilitas untuk memandang cahaya yang sama. Aku tak butuh dua baris dalam saku ini. Begini saja sudah cukup. 

Pukul 02.00, lautan manusia menyurut. Malam mulai kembali normal selayaknya malam yang seharusnya. Aku kembali ke dalam stasiun. Menunggu kereta kepulanganku. Pukul 07.00 pagi nanti.

Di kotamu, aku akan menulis....
Aku cinta.

Gea

Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukmu, bukan? Euforia yang dinikmati dan dinanti banyak manusia di muka bumi ini adalah satu hal yang tidak pernah kamu nikmati. Satu hal yang seringkali kamu maki. Ah, aku masih mengingat bagaimana setiap tanggal ini aku harus mendengar rentetan panjang kicauanmu.

Euforia ini tidak membuatku membenci prgantian kalender. Meskipun setiap malam ini, langit yang tak pernah absen aku pandangi harus terkontaminasi sebaran cahaya warna-warni yang dilemparkan banyak orang. Tidak, aku tidak pernah membenci euforia ini. Pun tidak juga menyukainya. Setidaknya aku merasa tidak perlu menambah-nambahkan makianmu.

"Kamu mau kesana?" Tanya sahabat yang menemaniku sejak di kota ini.
Aku mengangguk yakin. "Udah pesen tiket dari kemarin-kemarin. Besok pagi langsung balik kok. Nggak bolos kantor."
"Terus mau ngapain kalau cuma langsung balik? Gunanya apaan?"
"Nggak tahu. Rasanya hanya ingin ada di kota itu saja." Sampai saat ini akupun tidak tahu apa tujuanku untuk datang ke kota itu dimalam nanti. "Dia benci euforia macam ini. Aku rasa aku harus disana untuk sekedar merasa mendengarkan rentetan kicauan makian darinya."
Disini, langit warna warni. Apa kamu melihatnya? Terompet yang kamu bilang miskin nada itu berbunyi berkali-kali. Apa kamu mendengarnya? Mungkin tidak, karena kamu jelas-jelas mencintai keberlawanan arahmu. Pukul 23.00 tadi, aku sampai di kota kita. Sedikit berharap kita berbagi pemandangan yang sama. Di kota yang sama. Stasiun ini musim tahun baru. Sekali saja, tenggelamlah bersama euforia ini. Agar aku merasa kamu ada. Disampingku. Sebab aku tak tahu alasan aku membunuh beratus-ratus kilo untuk berada di kota kita dengan pakaian kantor yang masih lengkap, selain sekedar ingin merasa bahwa tangan-tanganmu memelukku.

Aku kembali ke dalam stasiun setelah langit mulai pekat kembali. Pukul 05.00 nanti, akan ada kereta kepulangan yang menjemputku.

Di kota kita, aku akan berbisik....
Aku cinta.