Pages

Friday, January 13, 2012

Nada

Sebab nada kita pernah menyatu. Padu. Meski pada akhirnya kita bernyanyi masing-masing.

Monday, January 2, 2012

Kemarau



Musim kita kemarau. Kita telah mengering sepanjang kemarau dan tak juga berusaha mengejar air. Namun debu kita menari indah di tengahnya. Berlari ke segala arah untuk sekedar berbisik pada lembaran-lembaran daun tentang indah kita. Persetan dengan derai hujan yang tak kunjung datang. Atau dengan orang-orang yang berteriak marah pada matahari. Karena aku menemukan oase ku.

Aku ini pecinta hujan, dulu. Karena hujan adalah tentang mendramatisir segala hal. Karena setiap derai hujan menceritakan banyak hal. Karena dingin hujan menajamkan indera. Sebelum akhirnya kisah kita ditulis oleh kemarau dan jemari kita bertatut dalam lengkungan sinar matahari. Dan aku menjadi jauh lebih mencintai kemarau. Kemudian belajar bahwa debu kemarau pun bisa menceritakan banyak hal.

Kemarau membiarkan kita menyelami setiap lekuk kota. Berdua. Dengan kendaraan beroda dua yang mungkin jauh dari kesan mewah. Kemarau mengijinkan kita duduk di tengah taman kota dengan daun kering yang satu persatu menjejak tanah. Selanjutnya mempersilahkan kita mencicipi es krim pinggiran jalan dan bertukar rasa satu sama lain. Mengeratkan kita.

Kemarau kita habis. Musim kita berakhir. Kisah kita bukan lagi tentang menyelami lekuk kota atau duduk di taman. Bukan lagi tentang melihat lembaran daun yang menjejak tanah. Tapi ternyata aku tak lagi peduli lagi tentang musim apa saat ini. Atau musim mana yang lebih aku cintai. Karena kamu adalah musim. Satu musim yang tidak memiliki siklus. Satu musim yang tak berganti.

“Sudah kutulis kamu dalam debu kemarau. Sebelum akhirnya hujan menjadi penutup.”