Pages

Monday, October 28, 2013

Lembaran Kuyup Di Tengah Bising Perdebatan

Semesta punya banyak kehidupan. Hanya saja, seringkali manusia lupa atau mungkin sengaja melupakan hingga bisa berlagak sebagai pemeran utama, sedang pada nyatanya semua manusia juga figuran. Sedang pada nyatanya, kehidupan mereka hanya satu dari sekian banyak tumpukan skenario yang sama-sama usang. Sama-sama lusuh. Tertimbun semesta.

Banyak yang lupa. Bahkan warna pun punya kehidupan, ketika merah dan biru tidak lagi menjadi pemeran utama tetapi harus rela menyatu, melebur demi menjadi violet. Menjadi figuran. Samar dari pandangan. Tak banyak yang ingat. Tak banyak.

Pada salah satu lembaran lusuh dari tumpukan skenario, terbaca perdebatan disana. Tentang lelaki dan perempuan. Lelaki dan perempuan yang sedang berebut tahta kesakitan. Bersikeras menjadi yang paling sakit diantara keduanya. Menganggap masing-masing dari mereka adalah tokoh utama yang sedih dan pedihnya layak dilihat.

"Akulah yang paling sakit. Aku yang dua kakinya harus menapak pada dua perahu berbeda karena tak bisa memilih. Aku!" Ucap lelaki itu.
"Lalu bagaimana denganku? Kau pikir menjadi bayang-bayang adalah impianku? Kau pikir enak menjadi seorang yang selalu berusaha tak terlihat? Pura-pura tak ada!" Wanita itu melawan.
"Aku tahu. Tapi paling tidak mengertilah posisiku barang sedikit."
"Mengerti posisimu yang bisa mengambil untung dari dua perahu? Posisi seperti itu yang kau sebut paling sakit, ketika posisimu justru yang paling bisa menyakiti?"  Tawa sinis tergambar pada wajah wanita itu.
"Bukan seperti itu! Aku bukannya tak mau memilih tapi tak mampu! Kau pikir aku tega menyakiti wanita yang selama ini justru menjadi salah satu orang yang menjagaku? Lalu, kau pikir aku bisa meninggalkanmu keika kau menjadi keinginan hati?!"

Bersikeras lelaki itu bertaruh bahwa ia yang paling sakit. Dia yang harus menjaga keseimbangan dirinya agar kedua perahu itu tidak oleng, terbalik. Agar dia juga tidak kuyup oleh air laut karena dua perahu tersebut memutuskan membuangnya. Berkali-kali pula lelaki itu menganggap ialah yang memiliki luka paling banyak, sebagai kompensasi melindungi dua wanita. Dia percaya, dia dikutuk Tuhan untuk memiliki memar yang banyak karena sempat terlalu tamak. Maka dia pun bersedia menjadi yang paling sakit. Maka dia pun tak pernah rela jika wanita itu menganggap dirinya paling sakit ketika dia merasa dia lah yang pantas sakit.  "Aku yang paling luka." Begitu ucapnya.

Tak lelah wanita itu berdebat bahwa ia yang paling banyak menangis sampai dia kekeringan. Sampai kemarau. Sampai miskin air. Karena dia lah yang harus menjelma menjadi hantu. Yang harus menjadi pengemis pinggiran jalan. Tak terlihat atau tak dilihat. Ia harus menjaga lelaki itu dan dirinya sendiri agar orang tak sinis melihat mereka. Lebih baik membuat orang tak menyadari kehadiran mereka dibanding harus dilirik sinis. Begitu pikirnya. Dia tahu, Tuhan sudah murka karena dia mengambil milik orang lain tanpa permisi. Dia pencuri. Maka dia pun percaya dia lah yang paling sakit. "Aku yang menangis sampai kering." Begitu katanya.

"Kau enak! Ketika kau memutuskan melepas salah satu, kau masih bisa berpegang pada satu yang lain! Sedang aku? Ketika kau memutuskan melepasku, aku bisa apa selain mengapung sendiri diatas kapal dan buta arah!" Wanita itu mengamuk.
"Menurutmu begitu? Menurutmu aku bisa dengan mudah melepas salah satu? Kalau mudah, sudah daridulu aku lakukan! Kau tidak pernah terpikir jika kalian melepasku, aku kuyup dimakan laut?!" Balas lelaki itu dengan nada tak kalah tinggi.

Satu lembaran pada tumpukan skenario itu terus berdebat. Berisik. Menggema. Tanpa mereka sadar, ada lembaran lain pada tumpukan itu. Tak hanya lusuh dan usang tapi juga basah. Hampir sobek. Ada wanita lain disana sedang menggenggam payung. Berusaha melindungi lembaran skenarionya agar tak basah dari hujan air matanya sendiri. Tapi gagal. Wanita yang sebenarnya telah lama menempati tahta kesakitan tanpa perlu berdebat. Sebab ia yang terkhianat tapi tetap mencoba percaya. Ia yang tahu tapi harus berpura bodoh. Ia yang rela tapi belum juga ikhlas. Ia yang berusaha bahagia tapi tak bisa berhenti menangis.

Barangkali, wanita ini tokoh utama dalam cerita. Tapi dilupakan oleh lelakinya sendiri dan dianggap figuran. Yang sedih dan pedihnya tidak perlu dilihat. Barangkali, dia wanita yang lembar skenarionya tak boleh sobek demi jalannya sebuah cerita.

Wanita ini menggenggam erat ujung payungnya. Agar tak sobek lembar skenario oleh air matanya. Agar bisa selesai sebuah cerita. Barangkali ujungnya adalah tawa dia dan lelakinya. Tanpa ada tokoh wanita lain. Barangkali.


gambar diambil dari: www.merdeka.com