Kepadamu, aku ingin menyelipkan secarik kenangan yang akan
menggariskan senyum ketika kau baca. Yang akan membuatmu sedikit melamun
ditengah waktumu menyesap pahit kopi. Atau mungkin yang akan berkelebat saat kau
berada di sekitar teman terbaikmu.Di masa depan. Kenanglah kita. Dalam ingatan
terbaikmu dan dengan senyum paling bahagia.
“Jalan yuk!” Ajakku dari seberang telepon mu.
“Mau kemana?” Jawabmu.
“Nggak usah banyak nanya. Jemput aja dulu, ntar baru aku kasih tau mau
kemananya.”
“Dih? Ni anak ……”
Telepon sengaja segera kututup sebelum terlalu lama mendengar banyak
alasan darimu dan segera menggantinya dengan mengirim pesan singkat.
Buruan mandi! Abis itu jemput
aku. Oke? Jangan kelamaan, keburu siang.
Brisik! Iya, bentar.
Aku mengenalmu dengan baik. Sangat baik. Dan itu membuatku tahu
bagaimana cara menanganimu. Sebut saja seperti itu. Meski dengan banyak omelan,
toh kau pun akan datang juga akhirnya.
“Mau kemana sih? Pagi-pagi udah ribut.” Tanyamu ketika berada didepan
rumah ku.
“Keliling kota. Kita tourist-day
ya?” Aku mencetuskan ide gilaku. Meskipun sebenarnya tidak terlalu gila.
“Gila! Mau ngapain sih?!”
“TOURIST-DAY! Udaaah, ikutin
aja sih. Pokoknya kita keliling kota dan aturannya cuma satu, berlagak jadi
turis. Titik.” Jelasku sambil menekankan
kata ‘turis’.
“Male…….”
“Ayok buruan berangkat, keburu panas.” Paksaku sambil mendorongmu
keluar dari halaman rumah.
Inilah salah satu hal yang akan aku masukkan dalam amplop mungil
berwarna biru muda yang nantinya akan kau miliki. Berlibur. Menjadi turis di
kota sendiri. Menelusuri jalan yang
mungkin setiap hari kita susuri. Berdua. Mengabadikan momen dalam sebuah
jepretan kamera di depan bangunan khas kota ini yang mungkin sudah bosan kita
lihat. Menyecap makanan pinggir jalan
yang lagi-lagi telah kita lewati berkali-kali. Tapi disinilah kita. Melakukan
hal-hal yang biasa dengan cara yang tidak biasa.
“Dapet darimana ide kayak gini?” Kamu membuka percakapan ketika kita
menapak langkah di salah satu jalan di kota ini.
“Dari sini.” Jawabku sambil menunjuk kepala. “Kita nggak mungkin punya
waktu untuk liburan sama-sama keluar kota. Jadi, kita harus bisa liburan
sama-sama di kota sendiri.” Lanjutku.
Kamu tertawa terbahak-bahak. “HAHAHAHA. Dalam rangka apaan?” Tanyamu
lagi setelah berhasil menghantikan tawamu.
“Nggak ada. Di masa depan nanti, belum tentu kita punya waktu buat
liburan sama-sama. Jangankan liburan, ketemu aja mungkin udah susah.”
“Emang kamu mau kemana?” Ada garis khawatir di wajahmu. Terlihat.
Meskipun aku tau kau berusaha menyembunyikannya.
“Belum tau. Tapi kemanapun aku, kamu. Dimanapun kita, disini atau di
tempat lain. Kita akan punya kehidupan masing-masing, kan?”
“…”
“Makanya itu, kita harus liburan sama-sama. Sebelum kehabisan waktu.”
Ucapku sambil tersenyum.
Ada banyak tawa yang kita gantung di sepanjang perjalanan kita hari
ini. Ada banyak warna yang kita gariskan. Ada banyak celoteh yang kita rekam
dalam-dalam di kaset memori. Ada banyak gambar yang terabadikan. Hari ini.
“Aku udah pernah bilang kan kalo kamu teman terbaikku?” Kali ini aku
membuka pembicaraan di sela-sela kita menyantap makan.
“Iya.” Jawabmu singkat.
“Dan kamu juga tahu kalau aku menganggapmu lebih dari teman terbaik.” Lanjutmu.
Aku terdiam. Aku sudah tau kalimat ini akan kembali terucap. Aku hanya
menjawabnya dengan anggukan kecil. Sangat kecil. Aku bahkan ragu kamu melihat
anggukanku atau tidak.
“Dan?” Tanyamu.
“Kamu tetap teman terbaik, van.”
Lagi-lagi ada senyum kecilmu disana. Tulus. “Iya, aku tahu.”
Kalau rasa mampu menerima permintaan, aku memilih untuk meminta rasa
agar mengalir menjadi satu dengan aliran rasa paling tulus yang kau miliki. Setidaknya
menurutku. Tapi rasa tidak memiliki kebaikan semacam itu, dia lebih memilih
mengalir ke arah manapun yang ia kehendaki. Sebenarnya, diam-diam aku
mengirimkan doa pada Tuhan, meminta agar Tuhan bersedia menjungkirbalikkan
perasaanku untukmu. Tapi sepertinya malaikat tidak bersedia mengamini, sehingga
doaku pun tidak terkirim. Mungkin tersangkut di gumpalan awan sana. Atau
mungkin doa itu hanya berputar di langit-langit kamarku. Entahlah.
“Thanks ya?” Ucapmu setelah mengantarku ke depan pintu rumah.
“Aku yang makasih. Kan aku yang ngajak tadi.”
“Iya. Sama-sama makasih kalau gitu.”
Aku tersenyum. “Van, aku mau kamu mengingatku se-menyenangkan ini. Itu
saja.”
“Selalu, ren.” Jawabmu sambil tersenyum dan mengusap kecil kepalaku.
“Bye. Lain kali kita liburan lagi. Semoga masih ada waktu.” Pamitmu.
Secarik kenangan hari ini, aku masukkan dalam amplop mungil berwarna
biru. Seperti kataku tadi, akan aku kirimkan segera dan aku selipkan dalam
butiran memorimu. Kusisipkan tawaku disana, berharap tawa itu akan menular
padamu.
Jika esok, waktu menyembunyikan kita berdua, maka temui aku dalam
kenanganmu.