Pages

Friday, April 8, 2011

Terbaik Tidak Mampu Menjadi Baik

Lelaki itu duduk ditemani kopi di sebuah resto. Mengenakan setelan kemeja flanel berwarna biru tua dengan celana jins yang setia melekat melapisi kakinya. Rapi, bersahaja. Tak perlu waktu yang lama untuk menilai bahwa dia adalah lelaki pintar dengan pekerjaan mapan yang sudah dimiliki. Aku berani bertaruh ada banyak wanita yang tak rela hanya meliriknya bahkan mungkin mereka akan berlomba mendapatkannya. Aku sedang memandangnya. Melihatnya yang secara tidak sengaja berada pada satu resto yang sama dengan ku. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Beruntung bagi wanita yang mampu berada disisinya.

Akulah wanita beruntung itu. Akulah yang mendampingi lelaki itu. Akulah yang mampu menghalau dan memupuskan harapan wanita-wanita lain yang ada disekitarnya. Akulah yang membuat wanita-wanita itu hanya mampu memandang tanpa mendekati. Akulah yang beruntung. Tyo, namanya. Entah bagaimana caranya dia memutuskan menghadirkan ku dalam hidupnya. Entah apa yang membuatnya meyakini akulah yang pantas mendampingi. Mungkin saat itu dewi fortuna sedang mengasianiku, hingga akhirnya memutuskan untuk menumpahkan segala keberuntungan yang dia miliki untuk dijatuhkan padaku. Untuk akhirnya menghadiahi ku lelaki yang bahkan melebihi khayalanku. Seperti menghadirkan kandidat terbaik yang dimilikinya. Banyak ucapan selamat teruntai. Banyak pujian terajut. Aku memang beruntung.


Melepas keberadaannya akan dianggap sebagai hal bodoh yang dilakukan. Bagaimana mungkin melepas lelaki yang menjadi kandidat terbaik? Bagaimana mungkin menghapus lelaki yang bahkan berpegang kepercayaan bahwa segalanya adalah aku? Benar bodoh jika melepasnya. Kemana lagi akan ada lelaki yang bersedia mengedepankan segala urusanku? Tapi nyatanya aku memilih untuk bodoh. Pikiranku melayang pada 1,5 tahun yang lalu.


"Tyo, maaf. Aku sudah tak bisa."
"Kenapa? Ada yang salah denganku?" Lelaki itu menuntut.
"Bukan. Kesalahan bukan ada padamu."
"Jadi? Kenapa kamu justru memilih lepas?"
"Karena kamu terlalu baik. Memaksa diri disampingmu seperti menuntut ku menjaga segala hal. Menjaga agar semuanya baik."
"Aku tak pernah memintamu untuk melakukan semua itu."
"Aku tahu. Aku benar tahu. Akulah yang menuntut diriku sendiri. 2 tahun mencoba segala hal agar tetap sempurna. Sekarang aku lelah. Kehabisan tenaga."
"Apa lagi yang kau cari? Segalanya telah coba kuberikan. Apa lagi yang kau minta?"
"Aku tak membutuhkan segalanya. Nyatanya aku membutuhkan seadanya. Maaf." Aku bersegera meninggalkan dia. Sebelum lebih banyak protes atau usaha menahan atas aku.


Aku memilih bodoh. Berada dengannya memang menyenangkan, tapi tak pernah benar-benar senang. Dengannya selalu ada senyum. Tapi tak pernah sanggup tertawa. Tidakkah kau tahu bahwa itu jauh lebih menyulitkan? Lelaki itu masih duduk hanya ditemani kopi, masih tak menyadari kehadiranku. Aku masih berada ditempat yang sama. Tempat yang sama, sudut yang berbeda. Tidakkah kau sadar, bahwa jarak ini jauh lebih baik?


Ketika yang terbaik tidak mampu menjadi baik.
Aku tak membutuhkan segalanya. Aku membutuhkan seadanya.

0 comments:

Post a Comment