Pages

Tuesday, May 8, 2012

Pas de Titre

Aku harap kita memiliki kamus yang sama. Kamus untuk memaknai perilaku, agar tak ada yang salah paham. Aku harap kita memiliki standarisasi yang sama, agar tak ada yang terlalu berharap. Tapi bukankah hidup butuh dinamika?

Aku harap kita bisa memaknai detail-detail ini bersama. Sehingga paling tidak, tak ada lebih banyak detik yang terbuang untuk mengira-ngira makna dari setiap jengkal perilaku kita. Tapi kita tak punya banyak waktu yang bersedia melonggarkan diri untuk kita habiskan bersama. Apalagi untuk menyediakan diri bagi kita berdua untuk mengartikan tiap sentimeter gerak yang kita lakukan. Tidak, waktu tidak bersedia untuk itu.

Mungkin kamus kita berbeda bahasa atau mungkin kita yang berbeda dalam memahami. Aku bosan meraba. Aku bukan murid pramuka yang bisa dengan lancar membaca sandi-sandi morse yang kau buat. Sebenarnya aku lebih suka menjadi buta, setidaknya kau mungkin akan mengirimkanku huruf braille sehingga aku hanya perlu membaca tanpa harus lagi kesulitan menafsirkan. Bukannya menjadi orang normal yang seakan-akan seperti makhluk bilingual dan dapat dengan mudah menebak-nebak bahasa isyarat yang kau ciptakan. 

Rasa-rasanya asaku terlalu menggantung tinggi, atau justru kamu yang meninggikan, sampai-sampai aku kelelahan mendongak. Bagaimana jika kita koyak saja asa itu, biar menjadi serpih meski tetap bertahan menggantung di atas sana? Akan mustahil menarik kembali asa tersebut untuk jatuh ke pelukan tanah padahal salah satu dari kita menahan keberadaannya untuk tetap menggantung. Tinggi. Baiknya biarkan saja dia terkoyak diatas sana, agar dia mengerti arti dari gores-gores luka sebenarnya. Dan menikmati sakit sebagai santapannya. Dengan begitu, dia tahu benar kemana dia harus berpijak. 

Karena mengucap harap untuk menjadi makhluk abadi di satu hati adalah sia-sia, sementara kau telah memiliki penghuni tetap hati sedang aku hanya bagian dari taman bermain.

0 comments:

Post a Comment