Pages

Wednesday, February 1, 2012

Bersama, Sakit

Seharusnya kita berhenti menulis, karena aku tahu kita lelah. Tangan kita sudah bergetar hebat kelelahan menulis hal-hal yang selalu sama tapi mungkin tidak lagi berarti. Otak kita sudah habis membisu mendikte kata-kata yang harus kita jelmakan menjadi kisah. Tidakkah kau sadar kita sudah terlalu memaksa?

Hidup adalah tentang pilihan. Kita memilih untuk bersama. Dan pilihan itu bersandingan dengan resiko jiwa yang kelelahan. Tidakkah kau bosan untuk selalu berteriak-teriak mengeluh pahit? Aku bosan. Dan sejujurnya aku ingin berhenti. Aku ingin diam. Aku ingin berlari menjauh. Tidakkah kamu sadar bahwa kebersamaan ini tidak lagi semenyenangkan harapan kita?


Tenggorokan kita mengering. Air kita habis. Dan kita tak punya apapun lagi untuk melepas dahaga kita. Jangankan dahaga, untuk sekedar membasahi tenggorokan pun tak ada. Kita sudah terlalu lama menyakiti diri sendiri. Menyayat hati. Mematikan segala rasa, hingga tubuh mati rasa. Harus berapa banyak kaca yang pecah untuk membuat kita berhenti berpura-pura tuli? Harus berapa banyak bagian tubuh yang tersayat agar kita berhenti mematikan rasa?


Sayang, kita telah banyak terluka. Tetapi tetap mencoba berdiri menantang. Bukankah kakimu pun bergetar hebat kelelahan? Kita harus bersandar. Kita harus menghela nafas. Berhentilah membuat diri kita terkoyak habis. Sayang, biarkan jiwa kita menguapkan lelah, menghapuskan sakit. Sebentar saja. Sebelum akhirnya kita dibalut luka. 


Karena ternyata kita tidak cukup kuat untuk saling melepaskan.


0 comments:

Post a Comment