Pages

Saturday, February 19, 2011

Salam Hangat, Kemewahan Ranu Regulo

Inilah kemewahan mu. Kemewahan yang dihadirkan dalam satu kesederhanaan. Inilah yang kau pilih sebagai bagian dari perjalanan mu. Inilah yang kau pilih sebagai santapan mu. Inilah yang kau pilih sebagai tirai penutup akhir perjalanan mu.

Pijakan ku dimulai pada titik tanah ini. Titik tanah yang berujung pada sang mahapuncak. Anggaplah aku bodoh karena menggiring kaki di tempat ini. Anggaplah aku gila karena menuntun hati mengiyakan keinginan mencari keindahan yang sering kau gambarkan pada kanvas percakapan kita. Tapi disinilah aku. Tepat pada tempat yang selalu kuhindari. Tempat yang mengharuskan kerelaan untuk ku telan dalam hati, agar tak merasa terlalu sakit. Terlalu kehilangan.

Tempat ini seperti dilukis dengan sempurna. Dengan campuran warna terbaik dalam tekstur kanvas paling tepat. Aku memang tak henti berdecak kagum untuk sang objek yang tertangkap oleh indera penglihatan ku. Ladang yang mampu menahan diri untuk tetap berada pada tempatnya meski dalam derajat kemiringan yang hampir mustahil menjadi tempat pijakan. Tempat ini seperti menjadi tempat persinggahan saat awan merindukan tanah. Saat awan sedang tidak bersedia berada di atas.

Biarkan sedikit aku ceritakan padamu. Walaupun aku tau kau jelas-jelas lebih mengenal tempat ini daripada aku. Kau jelas-jelas telah mencerna segala hal disini secara perlahan sekian lama. Tapi biarkan aku sedikit bercerita dan membenarkan pernyataan mu dulu. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam kasur mewah mu disini. Begitupun dengan ku sekarang. Kasur berupa lapisan tanah. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam kehangatan disini. Begitupun dengan ku sekarang. Kehangatan yang timbul dari himpitan 6 orang dalam tenda. Kau benar, kau memang selalu tidur dalam rumah mewah mu disini. Begitupun dengan ku sekarang. Rumah yang bukan terbuat dari susunan batu bata, tapi justru dari sebuah bahan parasut. Kau benar, kau memang selalu memiliki kesempatan mempunyai halaman indah disini. Bagitupun dengan ku sekarang. Halaman yang bukan hanya diwarnai oleh hijau, tapi juga dihias oleh danau. Kau benar, kau memang selalu dikelilingi sang akrab disini. Begitupun dengan ku sekarang. Akrab yang hadir ditengah nama keasingan, benar-benar asing, tapi ternyata mampu diikat oleh sang akrab menjadi satu kesatuan. Kau benar, disini selalu seperti menjadi sebuah keluarga. Bahkan untuk mereka yang asing. Kau benar dalam segala hal tentang tempat ini. Kau memang juara dalam melukiskannya dengan kata. INI, KEMEWAHANMU. Dan sekarang, ini menjadi kemewahanku.

"Apa alasan mu mencintai gunung?" Tanyaku.
"Mencintai gunung itu berarti bersedia menelan habis konsekuensi." Ucapmu dulu. "Kau tau itu sulit, bahaya dan melelahkan, tapi tetap saja tak mampu menahan kaki untuk menghentikan langkahnya agar sampai pada puncak keindahan."
"Dan kau memilih menerjang konsekuensi untuk keindahan itu?"
"Hidup selalu seperti itu, sayang. Segala keindahan memiliki konsekuensi. Dan ini adalah salah satu caraku menjalani hidup. Pagar konsekuensi itu yang menjadikan keindahan gunung berharga. Sama sepertimu, yang mampu membuatku yakin untuk menelan habis konsekuensi."

Ini adalah percakapan terakhir sebelum akhirnya kau benar-benar pergi tanpa akan kembali. Sebelum akhirnya puncak dari segala konsekuensi kecintaan mu pada gunung mampu merenggut keberadaan mu dariku. Sebelum akhirnya aku harus mengolah rasa menjadi zat-zat kerelaan melepasmu.

Kau benar, segala keindahan memiliki konsekuensi. Dan aku pun menelan habis konsekuensi untuk kecintaan yang kujatuhkan padamu.


-Salam hangat, Ranu Regulo. Tetaplah dalam kemewahanmu.-

0 comments:

Post a Comment