Pages

Monday, February 7, 2011

Irama Dalam Pendar Cahaya

"Tememin aku ke taman bukit ya?" Ajaknya saat sore tadi.
"Ngapain?"
"Lagi pengen. Temenin ya?" Tanyanya ulang dan kubalas dengan anggukan kecil.

Aku tau, kalimat tersebut bukanlah sebaris jawaban. Kalimat tersebut lebih pantas disebut sebagai pintu yang menutup permasalahannya. Kalimat tersebut adalah batas wilayah dimana aku bisa ikut serta dalam hidupnya. Kalimat tersebut adalah garis batas.

Suasana malam di kota ini didampingi awan langit yang sepertinya tertarik merasakan gegap gempita individu ketika mencari keberadaan bahagia dan tawa. Paling tidak, di sudut kota ini, Taman Bukit. Taman yang mempersilahkan sang awan langit menularkan sedikit rasa dinginnya di tengah hangat individu yang berbahagia.

Aku dan dia memilih duduk pada satu cafe dengan pemandangan kota sebagai beranda. Dia diam, begitupun dengan ku. Dia memandang kota yang samar tertutupi kabut putih, sedang aku memandang dia. Mencoba menerka pikiran apa yang mendiami otaknya tapi tak pernah tersampaikan lewat ucapnya padaku. Memang terlalu sering seperti ini. Dan aku selalu gagal dalam menerka. Hingga aku pun tau, aku hanya perlu duduk dan diam. Sampai dia bosan dimakan sepi. Atau jengah dimakan tatapanku. Kemudian, kita pulang tanpa ada yang dibagi denganku kecuali rasa penasaran.

Sang awan langit perlahan menarik diri dari gemerlap kota seiring dengan detik yang mengitari angka di sekelilingnya. Perlahan pemandangan itu datang. Pendar cahaya dari kota terlihat jelas tanpa tersamarkan oleh sang putih. Gegap gempita individu yang menikmati malam semakin jelas. Tapi dia tetap saja dalam diamnya. Penglihatannya tetap saja terpaku pada beranda kota malam ini. Aku tetap saja duduk. Di sampingnya.

"Inget aku pernah bilang apa tentang lampu kota dari sini?" Ucapnya menghapus hening dan ku balas dengan anggukan.

Dia memandang pendar cahaya yang disuguhkan oleh kota sebagai beranda dari cafe di Taman Bukit ini layaknya suatu irama. Layaknya suatu irama, setiap bagian memiliki perbedaan porsi saat disajikan. Tidak terlalu indah jika hanya disajikan satu persatu. Karena semua dalam kesinambungan. Dan akan indah dalam suatu kesatuan.

"Jadi kenapa kamu selalu terpaku melihat hal yang kamu anggap irama itu?" Tanya ku tidak mengerti.

Aku memang tidak bisa menjadi seperti lelaki ini. Kepekaan indera penglihatannya yang kemudian disalurkan ke hati dan di alirkan ke otak untuk kemudian di proses menjadi baris, bait, atau paragraf yang disajikannya ke dunia nyata memang tidak pernah bisa ku miliki. Dan jujur saja, otakku harus melumat dengan keras untuk tiap kata hasil pemrosesan indera nya tersebut. Meski akhirnya dia selalu berhasil membuat mulutku berdecak kagum pada hasilnya. Dan memoriku dengan bangga mengingat untuk kemudian diputar ulang kembali.

Menurutnya hidup itu seperti ini. Seperti pendar cahaya yang disajikan saat ini. Indah. Karena tersajikan seperti kesatuan. Seperti irama. Menurutnya bagian hidup itu tidak indah. Hanya seperti melihat satu titik lampu. Hanya ada kata terang, gelap, atau terkadang remang-remang. Menurutnya, kesatuan hidup lah yang indah dimana terang, gelap atau remang-remang berada pada porsinya masing-masing dan menjadi satu kesatuan. Lagi-lagi seperti irama. Beranda kota ini membantu otaknya dalam memproses hidup. Pendar cahaya itu membuat dia memilih untuk memandang hidup dalam posisi yang sama seperti ketika dia memandang pendar-pendar cahaya tersebut. Memandangnya sebagai satu kesatuan dan bukan per bagian. Masalah dalam hidup adalah bagian gelap dari lampu dan dia tau akan ada banyak terang yang mengikutinya.

"Terus? Kenapa kamu harus selalu ditemani?"

"Kamu duduk disini adalah tanda bahwa aku tidak sendiri. Tanda bahwa ada terang yang harus kuperjuangkan untuk bersandingan dengan gelap atau remang-remang. Kamu duduk disini sebagai pengingat alasan kenapa aku berjuang."


30 Januari 2011
-Cafe Hantu, Batu Night Spectacular, Malang-

0 comments:

Post a Comment