Pages

Monday, January 24, 2011

Aku, Takut, Masa Depan

"Ketakutan"

Kata itu muncul bukan pada suatu sosok atau suatu benda. Kata itu muncul untuk satu hal kemisteriusan hidup berbentuk abstrak. Satu hal yang menggantung didepan mata, namun tetap saja tak tertangkap dengan jelas. Bahkan terkadang, berbentuk pun tidak. Masa depan.

Masa depan, perlahan kau akan tertatap seiring dengan detik waktu yang memutuskan untuk terus menerus bergerak. Tapi jujur saja, aku tidak siap menghadapi mu. Bukan. Bukan tidak siap. Hanya saja, BELUM siap. Aku pernah meminta waktu untuk sedikit berkompromi dengan ku. Untuk berkompromi dengan ketakutan ku. Tapi ternyata kesepakatannya adalah dia harus tetap berada di kecepatan ini.

Sekarang, aku ingin meminta mu memisahkan diri dengan waktu. Tidak melekat seperti ini. Tidak berjalan seperti ini. Aku ingin meminta mu menjalani jalan mu sendiri, hingga aku paling tidak bisa menghentikan mu sebentar sekedar untuk mempersiapkan diri menatap mu. Aku selalu mengucap bahwa aku benci waktu. Tapi sebenarnya aku hanya membenci mu. Membencimu, masa depan. Karena kau selalu bersifat abstrak, kau selalu tertutup. Kau hanya mampu teraba, tapi tak mampu tergenggam Kau hanya mampu terbayang, tapi tak mampu terlihat. Itu kau. Dan sayangnya, kau dan waktu selalu bergerak bergandengan. Sehingga dengan terpaksa akupun membenci waktu.

Lalu, kesadaran menamparku. Tamparan kecil memang. Tapi mampu membuatku tersadar. Kalaupun kau dan waktu berpisah dan berjalan sendiri, maka kau bukan lagi bernama "masa depan". Dan waktu? Entah akan menjadi apa dia. Entah apa yang bisa dia bawa untuk dihadirkan dalam sela-sela detiknya. Kurasa, dia memang hanya mampu membawa mu, masa depan. Dan sepertinya, aku akan semakin bodoh jika kalian benar-benar memutuskan untuk memisahkan diri.

Pada akhirnya, aku akan tetap takut padamu dan waktu. Jadi, paling tidak, bisakah kau meminta waktu untuk menghilangkan "ketakutan" itu? Percayalah, aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengusir ketakutan. Tapi sepertinya, gagal dengan sangat baiknya. Aku menaruh harapan besar pada waktu. Kalau dia dipercaya bisa menyembuhkan luka, maka setidaknya aku berhak percaya bahwa dia juga mampu mengusir ketakutan bukan?

Aku akan menatapmu masa depan. Aku akan berjalan dengan baik ke arahmu, meski masih ditemani ketakutan. Biar saja, toh aku akan tetap berjalan menghampirimu!

0 comments:

Post a Comment