Pages

Tuesday, January 4, 2011

Menunggu, Satu sudut

"Berhentilah. Kau sudah cukup lelah."

Percayalah, aku selalu berharap kalimat tersebut mampu menjadi nyata. Tapi keyakinan hati nyatanya masih terlampau kuat menahan asa, asa yang bahkan  tak pernah ku ketahui waktu kedatangannya. Sungguh, aku bukan wanita hebat. Sungguh, aku tidak cukup kuat. Sungguh, aku pun ingin mengakhirinya.

"Berapa lama kau sanggup menunggu? Ini bukan dongeng. Akhirilah."

Aku tak pernah tau jawaban dari pertanyaan itu. Pernah aku mencoba berhenti dan pergi, tapi pada akhirnya urung juga. Dia benar. Mereka semua benar. Ini bukan dunia dongeng. Ini bukan dunia dimana menunggu dipastikan akan menjadi akhir yang patut dirayakan. Sepenuhnya aku sadar, Tapi kesadaran ternyata tak cukup membuat ku cukup sadar menyelesaikannya. Aku tahu ini bukan dongeng, aku pun tak berharap demikian. Dia bukan dongeng. Kisah ini bukan dongeng. Dan aku tak pernah rela ini menjadi dongeng.

Aku pernah berkeyakinan bahwa mengejar itu melelahkan. Mengejar untuk suatu hal yang kau tau pasti bahwa itu sia-sia. Tapi sekarang, aku lebih berkeyakinan bahwa menunggu jauh lebih melelahkan. Menunggu membuatku tak pernah tau dimana keberadaan objek ku. Menunggu, membuatku terpaku pada satu sudut hanya untuk menunggu dia kembali. Tanpa peduli apa dia akan kembali. Aku menunggu. Dan itu melelahkan.

"Untuk apa semuanya? Untuk apa kau memendam lelah? Dia bahkan tak memberi petunjuk untuk kembali. Kau sia-sia."

Aku tau! Aku tau! CUKUP! Aku tau aku sia-sia. Biarlah, karena hanya dengan cara ini aku menjalani hidup. Biarlah aku lelah, karena dengan cara ini aku kuat. Biarlah aku menunggu hal yang bahkan tidak lebih nyata dari fiksi. Untuk satu hal yang ku ketahui, aku tak lagi menunggu untuknya, tapi juga untukku. Untuk aku yang bertahan sampai pada titik ini. 

"Biarlah dia jadi kenangan. Tidakkah itu cukup? Aku sahabatmu, bagaimana mungkin aku terus melihatmu seperti ini? Ini sudah cukup. Ini cukup untuk dikenang."

Masalahnya segala hal tentangnya tak pernah mampu kusebut kenangan. Dia mengalir. Ya, aku yang mempertahankannya untuk tetap mengalir. Aku yang membuatnya mengalir. Karena dia memang bukan untuk sekedar dikenang. Dia lebih dari itu. Dan aku masih mampu menunggu. Aku masih mampu terpaku pada satu sudut. Aku belum mau menyerah.

4 comments:

Anonymous said...

dia memang bukan untuk sekedar dikenang. Dia lebih dari itu.

endingnya, jlep!
ngena banget kk :D

salam kenal

Novia Irianti said...

makasiih bayu !

salam kenal juga ..
moga-moga seneng baca-baca isi blog nya ya .. :)

shintya diana said...

ka via :D inget saya ? hehe.

saya banget ini artikelnya T-T

Novia Irianti said...

masih donk sin ....
lagi ngalamin yang kayak gini ???
cup cup cup ....
semangat yaaa ??!!! :)

Post a Comment